Bakal Sering ke Sini nih

Exploite the Experience

Salah satu tantangan mengajar mata kuliah yang bersifat terapan adalah menyodorkan studi kasus sebagai ilustrasi dari teori yang ada. Hal ini sudah saya alami sejak semester lalu saat mengajar Literasi TIK di prodi Sistem Informasi. Kebetulan memang semester lalu saya juga mengajar mata kuliah Teori Bahasa dan Automata yang sangat teoretis sehingga terasa perbedaannya. Di TBA saya tidak perlu banyak mengumbar studi kasus penerapan SI/TI, namun di LiTIK saya harus mengumpulkan stok kisah-kisah nyata untuk diangkat sebagai bahan ajar.

Semester ini situasinya bisa dibilang lebih menguras persiapan terkait studi kasus yang tiga kali lipat. Mata kuliah Literasi TIK kembali saya ajar, kali ini di prodi Teknik Industri, ditambah Sistem Informasi dan Perencanaan Strategis Sistem Informasi. Saya harus pandai-pandai menyusun skenario mau berbagi cerita apa saya. Sebagai catatan, saya ditantang menjelaskan ekosistem organisasi di dunia kerja pada mahasiswa tahun ke-3 dan ke-4 pada matkul Sisfo dan PSSI. Padahal mereka sendiri hanya mengenyam 4-6 pekan di dunia kerja berstatus Geladi ataupun Kerja Praktik. Artinya saya perlu mengatur ritme agak secara perlahan menyeret mereka ke dalam paradigma dunia manajemen organisasi dunia kerja. Sebisa mungkin saya menggunakan studi kasus yang sederhana dengan sesekali menyimulasikan percakapan di dunia kerja. Tampaknya saya perlu belajar teknik public speaking macam standup comedy tapi versi agak serius.

Terkait stok studi kasus, alhamdulillah sya terbantu dengan pengalaman di dunia kerja sejak tahun 2013. Pengalaman di PAJ Group selaku programmer, analyst, dan sesekali project administrator, sangat membantu. Pun pengalaman nge-proyek bareng di Arkadia itu juga memberi masukan tentang betapa dinamisnya ekosistem organisasi terkait pengelolaan SI/TI. Dan tak lupa bekal 3 semester di MTI Fasilkom UI turut mewarnai pengetahuan saya, baik "genoside" di kelas maupun "romusha" di S*buck. Tentu sya harus patuh aturan dalam meramunya. Ada fenomena yang bisa diutarakan begitu saja, ada yang harus anonim, ada pula yang tidak boleh diceritakan sama sekali. Saya harus cerdas memilih dan mempertanggungjawabkannya.

Harapan saya sederhana, mahasiswa bisa mudah mencerna dan bisa belajar di hari nanti.

Review of SPIS 1st Session



Pekan pertama perkuliahan PSSI di Fakultas Informatika, Universitas Telkom alhamdulillah berjalan lancar. Ini adalah pertama kalinya saya mengajar mata kuliah yang 'nggak terlalu IF' setelah sebelumya matkul Teori dan Bahasa Automata. Jelas bukan mata kuliah yang mudah karena mata kuliah ini didominasi bahasa khas anak prodi manajemen yang barangkali terlalu 'absurd' untuk diterjemahkan ke dalam jargon-jargon ilmu komputer. Baiklah, itu tugas saya untuk menerjemahkannya ke dalam berbagai analogi dan studi kasus yang lebih konkret.


Saya berangkat dari gagasan perkembangan perilaku manusia yang sangat kental dengan pengaruh SI/TI belakangan ini. Contoh dalam pendidikan, keuangan, hingga kriminal saya paparkan dengan mengacu beberapa poin yang pernah pak Riri Satria kemukakan dalam salah satu presentasi di Slideshare. Paparan di awal ini bertujuan memberikan gambaran bahwa bisnis, sebagai aktivitas manusia, sangat erat kaitannya dengan SI/TI. Maka organisasi, harus menyadari bahwa SI/TI perlu diatur agar memberikan benfit yang sesuai tujuan bisnisnya. Selanjutnya, saya beralih ke tinjauan teoretis mengenai definisi jargon-jargon yang bakal sering digaungkan selama perkuliahan. Bahkan definisi SI dan TI saya ulas kembali untuk mengantisipasi salah paradigma sedari awal.


Terakhir, saya memberikan beberapa pancingan untuk mengilustrasikan pentingnya PSSI. Lagi-lagi, saya dituntut mampu mengumpulkan beragam studi kasus untuk menyeret para mahasiswa memahami 'makhluk' yang bisa jadi baru mereka jumpai keberadaannya sekian tahun mendatang saat mereka naik pangkat di organisasinya. Tidak masalah, siapa tahu ada sebagian dari mereka malah 'beruntung' memperoleh kesempatan menerapkan ilmu ini lebih dini.


 

One afternoon in Bandung

Ekspektasi untuk Luis Milla

Pelatih impor kembali dipercaya menukangi Timnas Indonesia. Adalah Luis Milla, suksesor Alfred Riedl di level senior sekaligus U-23. Profil beliau relatif menjanjikan sebagai orang yang dianggap bertanggung jawab atas sejumlah prestasi Timnas Spanyol di level junior. Bekal sebagai mantan pemain FC Barcelona, Real Madrid, dan Valencia menjadi indikasi bahwa dia memang kenal dengan sepakbola sejak lama. Pertanyaan yang tidak mudah dijawab, "Apakah modal itu cukup?"

Menjadi arsitek timnas Indonesia bukanlah hal yang mudah. Sejak era 2000-an hingga 2016 gangguan ekosistem persepakbolaan Indonesia kerap menghantui kinerja pelatih timnas. Kasus ketua federasi dipenjara, dualisme kompetisi, dualisme federasi, dualisme timnas, pembatasan kuota pemain tiap klub, intervensi penentuan skuad, berubah-ubahnya format kompetisi, durasi pelatnas yang singkat, hingga pembekuan federasi merupakan penyakit yang membuat nama-nama seperti Ivan Kolev, Rahmad Darmawan, Manuel Blanco, dan juga Riedl, bisa dikatakan stress. Situasi yang jelas (setahu saya) tidak pernah terjadi di Spanyol ataupun negara-negara lain di Eropa. Dalam hal  ini, Luis Milla belum teruji sepenuhnya walau tidak juga bisa disebut Milla tidak akan bisa mengatasinya. Barangkali tekanan media, tuntutan masyarakat, hingga kemungkinan sikap indisiplin pemain menjadi ancaman yang biasa dihadapi Milla.

Milla dituntut juara di dua kompetisi, SEA Games 2017 dan AFF 2018. Target muluk yang sebetulnya antara gila dan wajar. Disebut gila karena dari Wikipedia pun kita sudah bisa tahu bahwa prestasi maksimal yang pernah diraih hanyalah dua kali medali emas SEA Games, itu pun 1987 dan 1991. AFF malah konsisten dengan 5 kali runner up. Artinya ekspektasi ini tidak didukung histori yang menunjukkan tradisi bagus Indonesia di kompetisi tersebut. Jelas berbeda ketika Brazil, Italia, ataupun Jerman mencanangkan juara Piala Dunia. Atau bahkan Thailand dan Singapura yang mengoleksi 5 dan 4 kali juara AFF. Namun hal ini juga wajar karena di sisi lain mengindikasikan betapa "haus"-nya Bangsa Indonesia untuk berbuka "puasa". Siapa sih yang tidak getir menjadi spesialis juara dua?

Sebetulnya dengan histori yang ada, Milla tidak dibebani target yang mustahil. AFF misalnya yang menyimpan getir 5 kali runner up. Di sisi lain hal itu membuktikan bahwa Indonesia memiliki daya saing untuk mendobrak hegemoni Thailand, Singapura, dan Vietnam. Insiden 2004 dan 2010 ketika sebelum final sangat dominan dan diunggulkan ataupun  kisah heroik 2016 ketika menjadi "juara sementara hingga menit ke-30 final kedua memberi sinyal bahwa ada mental yang harus dibenahi. Di sinilah Milla dituntut menjadi nahkoda yang bisa mengkokohkan optimisme agar insiden 0-3 di Bukit Jalil 2010 ataupun 0-2 di Rajamangala tidak terulang.

Mampukah?

Jepretan tentangnya

Mengapa Ilmu Ikhlas

Hidup itu sederhana
Jadi orang baik yang melakukan hal baik untuk tujuan baik
Orang yang baik, hal yang baik, dan juga tujuan yang baik akan selalu diuji keikhlasannya

Pasti ada saja yang di luar rencana
Pasti ada saja lelah yang kita merasa kurang terhargai oleh sesama manusia
Pasti ada saja 'langit' di atas 'langit' yang kita huni
Pasti ada saja bisikan setan untuk kufur
Baik itu sebagai individu, istri/suami, ibu/ayah, anak

Obatnya [menurut saya yang hanya butiran terigu] yang mujarab adalah ikhlas sebagai pengignat buat apa sih hidup itu
Kadang ketidakikhlasan kerap menggugurkan nilai ibadah dalam keseharian kita

Happy Together with Family

Meraki

Meraki itu ...
Tidak melulu realita sejalan rencana
Namun pada kesigapan menyalami tiap risiko
Dan menautkan asa walau masih gulita

Meraki itu ...
Sadar durasi di bumi tak pernah lama lagi
Lantas jemari menarikan hitungan langkah
Derap strategi untuk gapai efisiensi

Meraki itu ...
Tidak terikat pada kesal dalam tunaikan yang wajib
Melainkan berdansa atas suka cita
Sebagaimana Gibran berujar 'sebar benih penuh kemesrahan, hingga panen tiba kita tuai kegirangan'


SPIS this Semester

Kejutan di awal tahun syamsiyah ini adalah kesempatan berbagi ilmu tentang Perencanaan Strategis Sistem Informasi di prodi S1 Teknik Informatika. Persis kesempatan ini hadir di pinggir waktu registrasi. Allah punya rencana unik yang memang penuh kejutan dan ujung-ujungnya 'menagih' seberapa kita ber-khusnudzon atas skenario-Nya yang penuh misteri.

Dulu saya diajar oleh bu Shaufiah feat pak Erda Guslinar saat S1, kalau tidak salah di tahun 2011. Sempat pula menerapkannya dalam proyek magang plus SNATI bareng bu Angelina Prima Kurniari. Saat 2014 dimana jenjang S2 mengembleng saya, pak Zainal Arifin Hasibuan lah yang mendorong say amengkiritisi konsep ini dibantu mas Imam Maliki dan mas Faris. Alhamdulillah teoritis di kuliah diganjar kesempatan mempraktikkan secara detail di dunia kerja saat proyek bareng Pak Yudho Giri Sucahyo. Semoga bekal tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik



Semester ini tidaklah mudah karena saya tidak sekedar 'ngomong' di kelas. Saya juga musti menyiapkan materi dengan berbagai referensi akademik. Jelas hal yang sulit dengan keterbatasan waktu serta amanat baru 'menemani tesis istri' hehee, tapi optimislah bahwa ada kemudahan di balik kesulitan. Target saya dalam mengajar mata kuliah ini sederhana, yaitu menyampaikannya dengan bahasa yang 'membumi'. Ini bukan target yang mudah karena PSSI merupakan mata kuliah yang tidak begitu kental unsur informatikanya, bahkan agak berbau manajemen. Bagi anak prodi Sistem Informasi, tantangan ini mungkin relatif ringan tapi tidak dengan mahasiswa Informatika/Ilmu Komputer. Apalagi jika mahasiswanya lebih akrab dengan istilah agregasi, VoIP, RAID, NDFA, algoritma ini itu hehee.

Bismillah

Menulis Paper itu tidak pernah Mudah

Sebagaimana judul di atas...
Memang tidak mudah untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas, apalagi jika didorong dalam bentuk paper. Banyak dan memang akan selalu ada ganjalan yang menguji konsistensi kita. Itu baru urusan memproduksi tulisannya lho. Belum lagi jika harus mengurusi "dapur" alias birokrasi ke institusi, registrasi ke penyelenggara, reservasi ke penyedia akomodasi. Mau seberapa pun pengalaman yang ada, tantangan akan terus membuntutit. Tinggal yang pertanyaan sejauh mana kita bisa mengendalikan tantangan yang ada, terutama strategi menulis dan juga mengelola tenggat waktu.

Dari sisi kemasan, kuantitas 4 s.d. 6 halaman menjadi tantangan tersendiri selain tentunya ukuran gambar dan tabel yang perlu siasat agar tersampaikan dengan memadai. Urusan bahasa juga tidak pernah kalah penting. Karena itulah banyak penyelenggara mencantumkan evaluasi bahasa saat menentukan penerimaan paper. Pengalaman saya, website thesaurus menjadi situs yang akrab dibuka. Tujuannya sederhana, kita bisa mencomot terminologi yang lebih beragam. Dari sisi substansi? Wah lebih rumit lagi...

Data mungkin tersedia gamblang, pun dengan tinjauan pustaka. Tapi "meramu" mereka menjadi sajian yang layak baca dan mudah dipahami tidaklah mudah. Jangankan menyinggung kecanggihan metode yang dipakai, sajian bagian inti madalah dan tujuan penelitian saja kadang sering membuat kita kalap. Padahal dua hal ini seharusnya bisa disuguhkan dengan nyaman terlepas apapun latar belakang pembacanya.

Well, waktu terus berputar sesuai arah jarum jam. Tenggat waktu kian membayangi selama sepekan ke depan. Walluhualam dengan hasil, fokus kita selaku peng-ikhtiar, fokus itu dulu saja.

Provinsi ke-35 itu [Kemungkinan] Sulawesi Timur

Status Kalimantan Utara selaku provinsi termuda kemungkinan akan ditanggalkan tidak lama lagi. Penyebabnya tentu sederhana, ada provinsi baru di Indonesia. Dan yang akan menjadi 'adik' dari 24 provinsi yang ada nantinya adalah Sulawesi Timur, sebuah kawasan baru yang mekar dari Sulawesi Tengah sebelah Timur.

Isu pemekaran ini bukanlah sesuatu yang baru, bahkan jauh labih menggebu dibandingkan isu munculnya provinsi baru di Madura dan Cirebon. Hanya saja faktor Pulau Sulawesi yang relatif jauh dari 'telinga' media nasional memuat tidak banyak yang membahasnya. Padahal, dari sisi legalistas, usulan pemekaran ini sudah 'diketuk palu' oleh DPRD Sulawesi Tengah serta tinggal menunggu pengesahan pemerintah pusat melalui undang-undang. Kondisi serupa pula yang terjadi saat pengesahan Kalimantan Utara.

Enam kabupaten/kota di Sulawesi Tengah akan mejadi area Sulawesi Timur nantinya, yaitu Kabupaten Banggai, Banggai Kepulauan, Banggai Laut, Morowali, Morowali Utara dan Tojo Una-una, baca di tauran ini. Kabupaten Banggai disebut-sebut akan didapuk menjadi ibu kota provinsi. Walau demikian, pemekaran ini masih menyimpan 'bara' berupa potensi kecemburuan oleh kabupaten/kota yang tidak dibawa 'mekar'. Memang dari berbagai media, ada kabupaten yang diisukan 'kecewa' lantaran tidak menjadi 'paket pemekaran' lantaran di saat penggodokan isu cenderung 'keukeuh' harus menjadi ibu kotanya.

Pemekaran sendiri memiliki pro maupun kontra. Ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, budaya, hingga politik, selalu saja ada plus maupun minusnya. Tentu kita tidak bisa serta merta berharap pembangunan pasca-pemekara bisa sepesat Banten ataupun Bangka-Belitung. Alih-alih berkembang, tidak jarang kabupaten/kota yang relatif baru dimekarkan justru terperangkap dalam perebutan dominasi kekuasaan. Beruntung memang hal ini sangat jarang terjadi dalam konteks pemekaran provinsi, namun tetap saja ada ancaman mengintai. Kembali lagi ke rencana pemekaran Provinsi Sulawesi Timur ini nantinya. Modal apa yang bisa menjadikan provinsi 'bungsu' ini bisa mengejar pembangunan 'kakak-kakaknya', minimal bisa menyamai pesatnya infrastruktur dan layanan pemerintahan diantara 5 provinsi lainnya di Pulau Sumatera. Sektor pariwisata barangkali bisa menjadi alternatif yang tidak salah untuk digali sebagaimana Sulawesi Tenggara yang belakangan kerap dibanjiri wisatawan lewat Wakatobinya.

Semoga nantinya Sulawesi Timur bisa berkembang lebih baik lagi

4 Tahun dan Migrasi Posisi

4 tahun harus menjalani fase wajib berupa sidang Tugas Akhir yang alhamdulillah berbuah manis. Kini seiring kalender berganti, ya walaupun saya belum mengantongi kalender tahun 2017 hehee, ekosistem kini berubah. Saya menjalani salah satu profesi saya sebagai pengajar, insyaAllah juga pendidik di kampus ini. Kampus yang dulu biru muda kini berganti kulit dan papan nama menjadi merah marun. Duo pembimbing saya, bu KAL dan APK kini sedang melanglang buana di dunia doktoral.

Ada juga Margasari di Sini

Masih "Ampuh" kah Website?

Beberapa hari lalu, saya berkesempatan silaturahim dengan Bang Bilhasry Ramadhony, senior di Informatika IT Telkom. Kebetulan beliau merupakan "pakar" pengembangan website serta strategi pemasaran di duia digital. Berhubung latar pendidikan sesama informatika dan masih konsistensi di bidang TIK, khususnya bisnis digital, maka tidak aneh diskusi kami mengalir deras tentang bagaimana membangun nilai bisnis melalui strategi digitalnya. Barangkali jika bukan karena agenda masing-masing, obrolan kami bisa panjang kali lebar kali tinggi.

Salah satu pertanyaan saya lontarkan kueang lebih tentang seberapa laku dan efektifkah website dibandingkan social media (dalam arti memiliki fan page atau jenis akun socmed lainnya). Pertanyaan yang buntutnya panjang sih sebetulnya. Kenyataannya banyak pelaku bisnis digital memilih membuka akun di media social serta "gerai" di marketplace alih-alih menggelar website sendiri. Saya sendiri melihat hal tersebut karena di social media dan marketplace sudah ada pembaca atas konten yang kita unggah. Dalam hal ini, website mengalami kekurangan lantaran harus adanya "pemantik" agar bosa dikunjungi. Namun sudut pandang lain doutarakan oleh  Bang Bil.

Fleksibilitas dalam mengembangkan proses bisnis, inilah yang menurut beliau menjadi kunci website bakal terus didaulat sebagai media dalam bisnis digital. Dengan bergamnya proses bisnis antara pelaku yang satu dengan lainnya, maka berbeda pula pengoperasian dan fitur yang dipunyai. Untuk skala tertentu, website mampu menyuguhkan alternatif  dalam pengembangan dan otomatisasi proses bisnis. Belum lagi tren kecepatan akses inernet yang semakin baik, bukan tidak mugnkin teknologi di internet bakal lebih jor-joran bakal membuat fitur-fitur futuristik.

Ragam-makna Baiturohman

Masjid ini pertama kali saya lihat di buku Pendidikan Agama Islam, persisnya SD. Saat itu saya takjub dengan lengkungan kubahnya. Barangkali faktor kultur Jawa yang lebih jamak dengan model limas alih-alih kubah. Saat itu, saya juga penasaran ujuran masjid ini berapa alias kapasitasnya. Maklum pula karena masjid terbesar yang singgahi hingga lulus SD hanya di Margasari dan Balapulang. Seiring waktu saya tahu bahwa masjid ini terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dikenal pula sebagai Serambi Mekah.

Jujur, saya hanya pernah berharap mengunjungi masjid Baiturrohman ini sebagai penjelajah nusantara. Namun Allah menghendaki skenario lain dimana Januari tahun 2015 silam saya memasuki masjid ini bersama orang tua saya serta calon keluarga saya pasca-khitbah. Di momen itulah saya terperangah menyaksikan anggunnya masjid dengan digdaya yang masyaAllah. Praktis saya teringat pula bahwa masjid ini adalah salah satu titik paling disorot saat tsunami 2004 silam lantaran menjadi lokasi orang menyelamatkan diri karena relatif tinggi dan kokoh. Ya, masjid ini termasuk saksi bisu bagaimana Allah mengingatkan Aceh danpemerintah pusat Indonesia tentang makna damai. Sat di dalam masjid, saya membayangkan bagaimana suasana sekitar 10 tahun lalu. Mencekam? Tentu, bahkan berhari-hari masjid ini menjadi pusat pengungsian sembari banyak orang tua berharap menemukan anak mereka di sini selamat.

Rona masjid ini tidak banyak berubah lantaran "stabilnya" situasi politik dan sosial di Aceh kini. Damai dan mendamaikan, itulah bangunan tersohor ini di mata saya, refleksi dari terjemahan baiturrohman dalam Bahasa Indonesia. Malah, di masjid ini pula saya dan mertua saya melangsungkan ijab kabul.

The Day about Rings and these finger

Nulis Gratis di Tripadvisor

Sejak Oktober 2016 lalu, saya mulai menulis artikel yang bersifat non-formal ini Tripadvisor. Kebiasaan ini dipicu oleh tiga hal yang saling berkaitan. Pertama, saya suka menulis. Kedua, saya 'berhutang' banyak atas informasi yang disuguhkan oleh web ini dalam mencari lokasi objek wisata di kota-kota yang saya jelajahi. Ketiga, saya kebetulan punya pengalaman mengunjungi beberapa objek wisata. Ketiganya mendorong saya ikut 'urunan' atas pengalaman saya, memang tidak banyak sih, yang semoga bisa menularkan semangat berbagi pengetahuan.

Sebetulnya menulis di sini tidak dipungut biaya, namun tidak juga diganjar apresiasi finansial. Praktis hanya pengakuan berupa 'badge' virtual yang menjadi 'hibah' atas kontribusi tulisan/ulasan yang saya maupun kontributor lain berikan. Apakah hal ini fair. Kembali lagi tujuan website ini, motif tiap orang menulis, serta gambaran ekosistem ini dalam 'kolam' yang lebih luas, dan tentunya hitung-hitungan faktor XYZ. Faktor XYZ ini meliputi berapa besar force yang dikeluarkan untuk menghasilkan tulisan, standar peulisan yang disyaratkan, tingkat keketatan untuk ditayangkan, serta risiko atas kesalahan isi. Jika melihat jangka pendek, konsep 'sukarela, sebagai penghalus frase 'tidak dibayar' relatif wajar. Namun untuk jangka panjang, hal ini tentu kurang bijak. Penyebabnya sederhana, inovasi apa yang membuat kontributor saat ini bisa loyal.

Barangkali jika ekosistem bisnis Tripadvisor mau berdaya saing, maka mereka perlu 'memelihara' kontributor agar tetap memproduksi konten yang berkualitas. Termasuk di dalamnya adalah memberikan 'hadiah'. Hadiah ini tidak melulu berupa uang cair, karena proses serah terimanya sangat panjang plus urusan administrasi macam pajak dan tentunya perbedaan kurs. Saya malah melihat 'kado' berupa voucher perjalanan/transportasi hingga objek wisata lebih bisa diterapkan. Faktor utamanya jelas, 'kado' ini sesuai dengan kegemaran para kontributornya.

Di luar itu, Tripadvisor juga perlu berpikir mengenai strategi-strategi lainnya agar bisa 'survive'. Sejarah membuktikan ketika sebuah media tidak berinovasi maka dirinya akan terjungkal oleh dinamisnya selera pasar. Ya, perlu diingat bahwa manusia itu akan mudah bosan. Karena pembacanya manusia, dan juga kontributornya manusia, maka Tripadvisor perlu menyusun strategi jangka panjang yang inovatif.

Ada yang Salah dengan Kita

Manusia adalah insan yang senantiasa diuji. Ada kalanya ujian itu pahit, ada eranya juga ujian itu terbungkus manis. Ujian dari Allah inilah yang menjadi 'filter' untuk membedakan mana yang taat di jalan-Nya serta mana yang kufur dari-Nya. Saking baiknya Allah, kita sebetulnya kerap disodori "kisi-kisi" dalam menghadapi ujian-Nya. Bahkan ujian yang Allah limpahkan sebetulnya menilai proses yang kita jalani, tidak semata hasil. Sebagai umpama saat kita akan menjelang seleksi masuk perguruan tinggi, ini juga ujian dari Allah. Setelah semua ikhtiar dikerahkan ternyata kita tidak lolos. Padahal kita sudah menerapkan segala amalan sunah, termasuk sholat hajat serta puasa sunnah. Dari sisi hasil tes masuk tersebut kita tetap saja gagal. Namun dari sisi proses, kita terhitung sebagai pemenang jika segala ikhtiar itu diniatkan ibadah yang ikhlas, kita juga khusnudzon menerima hasilnya.

Dalam kenyataan menjalani ujian, kita akan berhadapan dengan ancaman yang tidak gampang, yaitu kekhusyuan dalam sholat. Sholat merupakan ibadah rutin yang selalu diincar oleh setan. Mereka tidak gentar dengan seberapa rutin sholat kita. Mereka tidak menyerah saat takbir sudah dilafalkan. Karena mereka mengincar aspek kualitas sholat kita, yaitu kekhusyuan. "Celah" inilah yang terus digempur dengan berbagai topeng, termasuk topeng kebajikan. Akan ada saja topik yang dibisikkan setan kepada manusia. Urusan ini belum selesailah, list to do nanti apalah, hingga keinginan mengomentari bacaan imam, astaghfirullah.

Padahal kekhusyuan sholat adalah ciri orang beriman sebagaimana dipaparkan pada Al-Mu'minūn ayat 1 dan 2
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.
  (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya."

Jadi, apakah salah setan yang konsisten dengan jobdesc-nya menggoda manusia? Kita perlu introspeksi diri. Jangan-jangan niat sholat kita masih di level kejar setoran alias yang penting sholat biar ga dosa. Jangan-jangan wudhu kita sebagai persiapan sholat pun asal-asalan. Jangan-jangan sholat kita masih dikotori perilaku tidak terpuji lainnya seperti ghibah dll. Jangan-jangan kita masih memprioritaskan duniawi daripada kepentingan habluminallah kita.

Sebuah peringatan, terutama bagi penulis

Bienvenue AFCON2017 Gabon

Kompetisi multinasional pertama di tahun 2017 ini adalah Piala Afrika yang dikenal lewat jargon AFCON dengan tuan rumah Gabon. Sayangnya tidak ada stasiun televisi di Indonesia yang menayangkannya, jadi silakan cari info bagaimana streaming untuk menontonnya. Nah kira-kira bagaimana peta persaingannya ya hehee... Ohya, AFCON tahun 2017 ini merupakan gelaran ke-31 dengan juara bertahannya adalah Pantai Gading. Menariknya AFCON ini tidak seperti Euro ataupun Piala Asia yang dihelat 4 tahun sekali. AFCON dipertandingkan putaran finalnya 2 tahun sekali alias seintens Piala AFF, bahkan ada babak kualifikasinya lho. Tentu faktor penggabungan kualifikasi AFCON dengan kualifikasi Piala Dunia zona Afrika menjadi alasan mengapa timnas-timnas di Afrika sana sempat menggelar turnamen satu benua dua tahun sekali.

Ada 16 negara peserta AFCON2017 dimana separuh diantaranya pernah menyandang predikat sebagai juara AFCON masa silam, yaitu Mesir, Kamerun, Tunisia, Pantai Gading, Maroko, Aljazair, Ghana, dan RD Kongo. Tuan rumah Gabon malah belum pernah meyicipi gelar juara hingga tahun 2015 lalu. Apakah mereka berpeluang menjadi raja di tahta stadion mereka, menarik disimak. Praktis satu-satunya nama yang bakal menjadi gacoan Gabon adalah striker Dortmund, Pierre-Emerick Aubameyang. Banyak klub yang naksir berat dengan predator ganas di Bundesliga ini. Di luar dirinya, sulit menerka siapa pemain andalan mereka lainnya. Artinya tuan rumah memegang bom waktu berupa ketergantungna pada satu pemain. Catat pula bahwa sejak tahun 2000, hanya Frederic Kanoute asal Mali dan Emanuel Adebayor yang sama sekali tidak bisa mencantumkan gelar juara Piala Afrika di CV-nya, sementara itu para peraih gelar pemain terbaik Afrika lainnya sudah pernah mereguk trofi tersebut walau tidak selalu di tahun mereka meraih prestasi individu tersebut.

Luapan gembira skuad Mesir setelah melengkapi rekor hattrick gelar juara AFCON di tahun 2010
sumber bbc.co.uk

Diantara 8 negara yang pernah juara, ada nama besar Mesir yang seolah ingin memperbaiki reputasi sebagai tim paling berbahaya di AFCON. Maklum, mereka adalah kolektor trofi AFCON terbanyak dengan 7 kali juara, malah tiga diantaranya dilakukan secara beruntun. Memperbaiki, ya memperbaiki. Mereka harus merehalibitasi nama baik mereka lantaran hattrick gagal lolos putaran final 2012, 2013, dan 2015 padahal sebelumnya mereka baru saja menuntaskan juara tiga kali beruntun 2006, 2008, dan 2010. Kini mereka patut mengandalkan Mohamad Salah yang bermain bagi AS Roma. Namun sosok ini tentu bakal kelabakan di tengah situasi 'asingnya' AFCON bagi para pemain timnas lantara 6 tahun vakum. Jangan lupa bahwa Mesir saat ini bukan favorit diantara negara-negara CAF. Ya, Mesir bukanlah bagian dari tren sepakbola kekinian Afrika. Status mereka sebagai peserta pertama Piala Dunia di luar Amerika dan Eropa sekaligus juara pertama AFCON, walau di edisi pertama hanya diikuti 3 tim saja, terasa garing. Terakhir kali mereka berpartisipasi Piala Dunia adalah tahun 1990, lebih tua dari usia saya malah. Hanya di level klub, Mesir bisa sedikit membusungkan dada lewat Al Ahly dan Zamalek. Di luar itu Mesir tidak diunggulkan, buktinya sederhana, dari pengumpulan poin saat drawing grup, Mesir menempati ranking 12 dari 16 negara alias pot ketiga. Memprihatinkan bukan. Kita lihat bagaimana Mesir meloloskan diri dari kepungan Ghana, Mali, dan Uganda/

Jika Mesir adalah legenda yang diragukan, maka Pantai Gading adalah penguasa paling uptodate. Mereka tampil konsisten sejak tahun 2006 serta berstatus sebagai langganan rutin Piala Dunia, khususnya tiga gelaran terakhir. Dibandingkan Mesir yang hanya identik dengan Salah, maka Pantai Gading puny alternatif yang lebih beragam, mulai dari Yaya Toure, Kolo Toure, Gervinho, Eric Baily, hingga Salomon Kalou. Bahkan, mereka secara konsiste selalu mengirimkan pemain mereka masuk tiga besar pemain terbaik Afrika sejak 2003 hingga 2015 kecuali 2008. Malahan, Yaya Toure mengamankan peringkat satu dari 2011 s.d. 2014. Tak heran jika mereka menempati ranking 2 saat pengumpulan poin menjelang drawing. Jika Gabon yang peringkat 1 diabaikan lantaran status tuan rumah, maka Pantai Gading adalah peringkat pertamanya. Bisakah Pantai Gading mengikuti jejak Mesir, Ghana, dan Kamerun yang pernah mempertahankan gelar juara. Entah, namun peluang mereka terbuka lebar, syaratnya mereka harus menyingkirkan Maroko, Togo, dan RD Zaire terlebih dulu.

Sang juara bertahan, Pantai Gading
sumber naijaspleen.com

Satu lagi negara yang ingin saya bahas, yaitu Aljazair. Bukan karena faktor SARA, namun ada sosok Riyad Mahrez yang bisa dibilang sebagai pemain Afrika paling 'moncer' di klubnya tahun 2016, setidaknya dengan parameter trofi Liga Inggris. Ya, pemain ini bahkan mampu menyeruak di jajarna top-23 pemain terbaik dunia. Apalagi Riyad Mahrez secara individu telah menyabet gelar pemain terbaik Afrika versi BBC. Hanya saja pasca trofi Liga Inggris tersebut namanya langsung meredup gegara labilnya permainan Leicester musim ini. Menarik untuk disimak apakah dirinya bisa membuktikan diri berprestasi di level timnas.

Karena Bahasa Prancis merupakan bahasa resmi di Gabon, maka saya ucapkan Bienvenue AFCON2017 Gabon.

Urban Rtistic in FlyOver Antapani