Review Star Wars VIII: "Suprising Jokers"

Working title pada edisi kedelapan Star Wars tidak direvisi, masih tetap The Last Jedi. Judul di atas hanyalah simpulan pribadi atas alur cerita yang sangat mengejutkan dari lakon ini. Secara pribadi pula, asaya mengapresiasi alur cerita yang ditawarkan film ini. Saking kecenya alur cerita tersebut, justru sangat jarang yang mengomentari kualitas gambar, kecanggihan teknologi maupun urusan teknis lainnya. Hampir semua fokus membicarakan urusan alur cerita.

Film ini secara umum mengisahkan nasib kaum Rebelion yang diburu dan ditumpas oleh New Order. Eksistensi New Order benar-benar di ujung tanduk setelah satu demi satu pesawat dan tentaranya dimusnahkan secara tragis. Sedikit bocoran, di akhir film, hanya tinggal sekitar 10-20 orang saja jika tidak salah lihat. Keterbatasan energi serta peralatan tempur menjadi biang masalah yang harus diakali dengan strategi kabur dari satu lokasi ke lokasi lain. Di tengah nasib yang kian terhimpin, sosok Rey disibukkan dengan perantauannya ke tempat persembunyian Luke Skywalker. Rey bermaksud meminta Luke 'turun gunung' menghadapi agresi New order sekaligus belajar tentang Jedi. Sedikit demi sedikit bakat 'tanpa sebab' Rey sebagai 'pewaris' Jedi semakin kuat. Di saat itulah, konflik pribadi Kylo Ren dengan Luke. Terlepas dari sosok Rey yang masih jadi diri, sesungguhnya eksistensi Luke dan Kylo Ren jauh lebih signifikan.

Bukan rahasia lagi bahwa Kylo merupakan anak 'durhaka' yang menyingkirkan ayahnya sendiri, Han Solo. Bukan rahasia pula bahwa ini Kylo bergabung dengan Snoke yang berpihak pada Dark Side. Tapi di episode ke-8 inilah kita akan dihadapkan pada asal-usul pembelotannya terhadap Luke. Bahwa, sah-sah saa jika ada yang 'ber-fatwa' bahwa Luke punya kontribusi atas eksistensi mesin pembunuh. Ini pulalah yang mendorong Luke mengasingkan diri.

Dua sosok ini yang saya maksud sebagai 'jokers' pada judul di atas. Kylo menjadi sosok yang penuh kejutan lewat dua adegan yang sangat menguras imajinasi penonton. Pertama ketika dirinya ragu-ragu untuk menembak kokpit pesawat Rebelion. Padahal dirinya sudah tinggal tekan 'enter' hehee, namun wajah ibunya yang terbayang ada di kokpit tersebut mengurungkan niatnya. Memang pada akhirnya kokpit ditembak hancur oleh pasukan New Order lainnya. Tapi, setidaknya adegan ini mengindikasikan sifat belas kasihan yang masih dipunyai Kylo. Adegan kedua sangat cadas, yaitu saat dirinya mengudeta Snoke dalam sebuah momen dramatis. Awalnya dirinya diplot sebagai algojo untuk mengeksekusi Rey. Dengan penyamaran untuk membanti Rey, ternyata dirinya melakukan 'telepati' untuk mengendalikan lightsaber lain yang ada di samping badan Snoke. Ambruk tanpa bisa terselamatkan, Kylo berhasil menyingkirkan Snoke yang selalu memandang inferior dirinya. Si 'joker' ini ternyata bukan bermaksud membela Rebelion, apalagi menyelamatkannya. Justru dirinya bermaksud menata ulang pemerintah lewat kekuatan baru. Koalisi pun sempat dijajakinya dengan mengajak Rey, hanya saja ditolak olehnya, mungkin karena Rey sudah keburu teken kontrak sebagai kader di partai lain, eh.

Joker kedua adalah 'penghuni permanen' film Star Wars dari episode IV s.d.VII, yaitu Luke Skywalker yang semakin menua. Jika eksistensinya di episode VII sebatas penanda akhir episode, maka di episode ini dirinya menjadi sosok yang menggebrak lewat 'permainan' yang sangat di luar dugaan. Tentu kita tahu bahwa hampir di setiap episode ada sosok Jedi yang gugur dengan berbagai cara, salah satunya Obi Wan Kenobi yang membiarkan dirinya tertebas pedang Darth Vader, agar Luke dkk bisa kabur. Di episode VIII ini, peran tersebut diisi oleh Luke yang membiarkan para Rebelion tersisa. Dirinya bertarung satu lawan satu dengan Kylo. Sepintas pola lama bersemi kembali, namun di akhir film terungkap bahwa yang bertarung dengan Kylo bukanlah Luke yang riil. Dirinya adalah versi virtual dari Luke yang masih enggan beranjak dari planet persembunyiannya. Teknik virtualisasi ini pulalah yang mengakhiri riwayat Luke. Dirinya sirna bersamaan dengan dikuasainya ilmu Jedi oleh Rey. Ya, Rey-lah suksesor Jedi yang baru dan satu-satunya yang tersisa.

Review Ayat Ayat Cinta 2

Film ini identik dengan sosok Fahri, pemuda religius yang menjadi sosok teladan walau memang agak utopis di era saat ini. Penghafal Al Qur'an, menjadi akademisi terkemuka di universitas ternama Skotlandia, bergelimang harta namun dermawan, mampu berpikir bijak dalam membedakan antara Zionisme dengan pemeluk agama Yahudi, mampu loyal terhadap istri, dan lain-lain. Apa ada, ya bisa jadi. Kalau di sekitar saya sih hanya di beberapa aspek. Jangan tanya diri saya yang ah sudahlah hehee...

Film ini tanpa disengaja muncul di saat yang sangat tepat dengan semakin 'populer'-nya negara Israel di Indonesia lantaran kebijakan presiden Amerika Serikat yang menetapkan Yerusalem sebagia ibu kota Israel. Entah kebetulan atau tidak, yang apsti novel aslinya dibuat jauh sebelum kasus heboh ini terjadi walau kontroversinya negara Israel sudah sedari dulu melanda Indonesia. Bagi saya pribadi, justru isu per-Israel-an jauh lebih menarik dibahas ketimbang lika-liku cintanya Fahri yang sudah macam kelok sembilan.

Pemeluk agama Yahudi tidak sama dengan gerakan Zionisme
Pesan ini tidak dimuat dalam trailer-ya, justru permintaan salah seorang perempuan Skotlandia untuk dinikahi oleh Fahri. Entah mengapa, tapi bagi saya [lagi] ini merupakan sebuah pernyataan tegas yang menjadi pesan mendidik bagi masyarakat Indonesia. Kita memang terlanjur 'memukul rata' antara keduanya. Padahal Zionisme merupakan gerakan 'ekstrimis' ambisius yang hanya sebagian dari pemeluk Yahudi. Ada pemeluk Yahudi yang ikut serta sebagai anggota ataupun pendukung Zionisme, tapi ada pula yang tidak. Terlepas dari bagaimana kacaunya politik di Timur Tengah, kita dituntut berbuat baik kepada sesama manusia walau dia penganut Yahudi. Dalam film ini dikisahkan bagaimana Fahri sangat baik terhadap seorang nenek yang jadi  tetangganya walau beliau Yahudi. Bahkan Fahri membantu mengantarkannya ke sinagog dengan batas yang jelas, hanya sampai pagar. Si nenek pun 'tahu diri' dengan tidak membenci Fahri walau ada umat Yahudi terhasut untuk memusuhi Islam. Sebuah pesan moral tentang kerukunan hidup antar-agama.

Sentuhan Modern Garden by the Bay


Mengunjungi taman malam hari tentu hal yang agak 'absurd'. Penerangan jadi faktor yang membuat kita heran jika diajak wisata ke taman pada malam hari. Tapi justru dengan penerangan yang memadai, sebuah taman bisa berfungsi hingga 24 jam, bahkan makin bernilai kece. Garden by the Bay menyuguhkan taman buatan yang memadukan alam hijau serta tata ruang berbasis teknologi. Alhasil, sejumlah pohon buatan menjulang dengan berbagai 'pretelan' lampu. Lampu ini agak berlomba-lomba memikat mata lewat irama-irama musikal. Sebuah kreativitas yang membuat mata betah memandang dan badan enggan beranjak dari lokasi. Bagi yang membawa keluarga, tentu suasana romantis bakal kental. Namun, sebagai catatan saja, kemahiran fotografi agar bisa mengahsilkan foto yang bagus dituntut di sini.

Mangtrepnya Museum Nasional Singapura

Museum biasanya dianggap sebagai tempat yang terlalu kuno dan kurang menarik untuk dikunjungi. Museum juga kerap diasosiasikan dengan ruangan gelap dengan berbagai meja dimana berbagai barang sejarah diletakkan begitu saja. Tapi, Museum Nasional Singapura ini berbeda. Gedung berarstektur kuno memang menjadi topeng dari luar. Namun, suasana terang justru diumbar dari meja registrasi. Polesan modern menyengat saat ruang demi ruang saya kunjungi. Bicara kecanggihan, sebetulnya museum ini tidak canggih-canggih amat, lebih tepatnya efektif. Beberapa lokasi lebih banyak mengolah model pencahayaan serta animasi untukmendramatisir suasana.




Dari sisi konten, ada dua bagian dari museum, yaitu bagian sejarah serta bagian temporer. Pada bagian sejarah, kita akan disuguhi berbagai pernak-pernik yang mendeskripsikan betapa sejarah negara ini yang sangat berliku. Masa dimana Singapura menjadi rebutan kerajaan-kerajaan [yang kini menjadi wilayah] Malaysia dan Indonesia dilanjutkan era kolonial Belanda hingga bagian pendudukan Jepang. Malah era pendudukan Jepang 'dipropagandakan' sebagai era tersuram Malaysia, entah mengapa, rasa-rasanya di Indonesia biasa saja. Era awal kemerdekaan, integrasi ke Malaysia, hingga akhirnya memisahkan dari Malaysia dideskripsikan dengan detail. Singapura memang mengalami pergolakan status kenegaraan yang dinamis pasca berakhirnya era kolonial Inggris.

Sentuhan modern sebetulnya tidak terlalu mendominasi museum ini. Hanya saja, sebuah ruangan [yang sayangnya saya lupa namanya] menjajakan atraksi video animasi tiga dimensi. Terpukau, saya kagum dengan konsep dan implementasinya. Diceritakan suasana hutan dalam model akustik, termasuk juga pencahayaan dan suaranya. Sebagai klimaks, sebuah atraksi benda-benda langit turun bakal menghipnotis kita, apalagi dengan ruangan yang mempersilakan kita berbaring menatap langit.

Emas Kokohnya Masjid Abdul Gaffar


Sebetulnya saya ke masjid ini dalam sebuah ketidaksengajaan. Tapi Allah memang punya rencana baik sehingga saya berkesempatan menapaki sebuah bangunan yang menjadi simbol kedaulatan beragama umat muslim di Singapura. Alhamdulillah.

Corak kuning dan hijaunya agak unik karena menjadi wujud asilmilasi budaya melayu dengan india. Kedua budaya tersebut memang kerap menggusung warna kuning dan hijau dalam berbagai arsitektur dan juga kegiatan budaya. Lokasi masjid ini memang dekat dengan kawasan Little India, bahkan sebagian besar yang sedang sholat dan mengaji di situ [saat saya mampir] adalah orang India. MasyaAllah...

Dijemur Teriknya Fort Canning Park


Dalam bahasa Inggris, 'fort' berarti benteng. Jelas bukan wisata yang asyik untuk berfoto ria. Tapi lain urusan jika yang ingin dinikmati adalah sisi sejarah sekaligus arsitektur. Awalnya saya membayangkan seuah benteng besar layaknya benteng-benteng yang ada di Pulau Ternate dan Tidore. Tapi sayang dugaan saya ternyata meleset. Justru situs ini sekarang menawarkan wisata olah raga lewat kontur berbukit-bukit serta perdunya pohon. Baiklah, anggap saja ini situs untuk memperpanjang catatan berjalan kaki saya tiap nge-backpacker.

Portrayed Arts in Changi Airport


Konon ini adalah salah satu bandara yang disebut-sebut terkece. Karena saya tidak punya pengalaman yang banyak, ya sudahlah, saya tidak akan membahasnya. Tapi, saya harus mengakui bahwa bandara ini menyediakan banyak ruang-ruang kece. Ada banyak spot yang diisi dengan kreativitas, mulai dari seni patung, pertamanan, dekorasi, mainan, dll. Kalau saya tidak salah, di Indonesia itu hanya Bandara Sepinggan di Balikapapan yang mampu menyaingi dari sisi luas dan kreativitas. 

Ada-Ada saja Rupa-Rupa di Raffles Sites


Agak bingung juga sebetulnya fungsi aneka rupa ini apa. Kalau ditengok dari fungsi operasional, sebetulnya rupa-rupa ini tidak punya peranan dalam operasional maupun strategis. Namun, dari sisi estetika rupa-rupa ini merupakan penyejuk mata. Keunikannya menjadi sesuatu yang berharga dan bisa jadi malah memberi inspirasi. Jangan lupa bahwa spot-spot ini merupakan kesempatan bagi para seniman, khususnya perupa, untuk mengekspresikan karya-karya mereka. Kurang bangga apa coba bagi para pembuatnya. 

Asian Civilization Museum


Arsitektur kuno lagi-lagi disajikan bagi mereka yang lewat. Saya tidak tahu persis berapa orang yang memang berencana ke museum ini, tapi saya sendiri termasuk kategori yang memang berniat ke sini karena saya berharap memperoleh gambaran yang luas mengenai bagaimana peradaban di Asia ini berkembang. Sekedar informasi, Asia merupakan benua yang sangat beragam kulturnya, sulit membayangkan semuanya mampu 'ditampung' di sebuah gedung. Wallahualam.

Dari sisi konten, sebetulnya hipotesis saya tersebut memang terbukti. ACM, singkatan museum ini, tidak mampu menghadirkan panorama yang holistik alias menyeluruh atas peradaban Asia yang sangat luas dan majemuk tadi. Tapi bukan berarti ACM gagal, ini hanya faktor keterbatasan lahan. Sebetulnya apa yang jadi aset mereka saat ini pun sudah patut dikategorikan memadai. Bagi orang Indonesia sendiri, konten tentang Indonesia di ACM sangat sedikit. Kalau yang ini bisa disebut sebagai kekecewaan yang wajar. Ya, iyalah, Indonesia itu sangat beragam dan [hampir] mustahil mencupliknya dengan proporsional. Bagaimana dengan konteks ke-Asia-annya, ya idem sih. Jujur kurang detail, tapi tidak berarti tempat ini mengecewakan. Sekali lagi, ini urusan keterbatasan lahan saja. 

Kemarin Kemalaman, Sekarang Mendung =_=


Dua hari sebelumnya, saya sudah ada di lokasi ini. Dengan objek yang dibidik sebagai latar belakang yang sama dengan kesempatan sebelumnya. Tapi dasar manusia yang kurang puas hehee, suasana gelap lantaran petang dan malam hari membuat gambar kurang tajam. Alhasil meluncurlah ke kawasan Marina hanya untuk foto dengan 'studi kasus' serupa. Namun, tantangan lain menghampiri. Mendung dan hujan seolah menjadi rintangan pada kesempatan ini. Hmmm, baiklah, setidaknya fotonya 'sedikit' lebih jelas.

20under45, an Elegant Exhibition for Contributors


Pameran ini sangat elegan. Kalau dari sisi apa yang ditampilkan sebetulnya standar. Mengapa standar, ya alasannya tidak banyak miniatur arsitektur bangunan yang ditampilkan. Yang membuatnya elegan adalah penyajiannya yang berupa balok-balok tinggi berisi foto si desainer/arsitek serta cuplikan foto-foto atau gambar karya beliau. 

Saya menangkap bahwa penyajian elegan ini bertujuan untuk menunjukkan orang-orang yang telah berkontribusi bagi pembangunan kota/negara Singapura. Harus diakui, ketika kita mengunjungi sebuah tempat adalah sulitnya mencari tahu siapa arsiteknya. Di pameran ini, pengunjung dapat mengetahui siapa 'sutradara' di balik kecenya bangunan-bangunan ikonik di Singapura. Termasuk pula jembatan Henderson Waves yang dua hari sebelumnya saya susuri malam-malam.

Dari sisi kenegaraan, tentu pameran ini merupakan apresiasi yang sangat layak. Siapa sih warga negara yang tidak bangga ditayangkan seperti ini. Kalaupun ada kekurangan, rasanya akan lebih bagus jika di tiap balok tersebut disisipkan akun media sosialya.

Outstanding Screenshot from SG City Gallery


Belum selesai decak kagum saya atas cetak biru kota/negara Singapura, saya malah direcoki miniatur serupa dalam versi yang lebih riil. Bisa dilihat di gambar yang sebelah tengah, kece kan. Hampir semua bangunan ikonik, termasuk objek pariwisata dimunculkan di situ dengan ukuran yang nyaris presisi. Dari sini, kita bisa memahami bahwa sejauh ini negara/kota Singapura mengalami perkembangan pesat dikarenakan tata wilayah yang teratur. Apalagi jika dibandingkan dengna miniatur yang di lantai 1. 

Tak hanya miniatur, entah berapa bilik galeri yang dihidangkan sebagai wadah pengetahuan mengenai sepak terjag penataan wilayah tersebut. Pengunjung akan menyadari bahwa pencapaian seperti ini bukanlah sulap sekejap. Ada jerih payah dari sekian dekade untuk merangkak-rangkak dari era 70-an. 

Flood of Inspiration in URA

Hari pertama saya berada di Singapura, sebetulnya saya tanpa sengaja nyaris mampir ke tempat ini. Hanya saja libur keagamaan serta situasi yang masih terlalu pagi membuat gedung ini masih tutup. Ya sudah kalau sempat hari terakhir saya berkunjung ke mari. Entah mengapa ada bisikan kalau tempat ini layak dan kudu dikunjungi. Alhasil saya rencanakan sekitar 2 jam di sini. 

Ternyata dua jam nyaris kurang lantaran tempat ini menampilkan berbagai pameran yang kece banget. Salah satunya cetak biru [walau warna dasarnya kuning hehee] negara/kota Singapura di masa mendatang. Memang tidak detail, tapi sudah cukup merepresentasikan bagaimana pemerintah Singapura serius menata wilayahnya.

Nasionalisme yang kok Lucu

Sepak bola Indonesia kembali menyoroti pola pikir ketua PSSI. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, seorang ketua PSSI bermaksud memagari pemain Indonesia agar tidak mengadu nasib ke negeri tetangga. Alasannya terus terang agak mengada-ada dan sebetulnya pun kurang masuk di akal. Dalam salah satu kesempatan, beliau menegaskan bahwa akan ada sanksi berupa pencoretan bagi pemain yang nekat bermain di luar negeri. Frase 'pengkhianat bangsa' pun sempat terlontar sebagai intepretasi jika ada pembangkangan atas keputusan beliau. Tentu saja ini kita sedang membicarakan kasus transfer Ilham Udin Armain dan Evan Dimas Darmono. Saya berpikir bahwa ada yang lucu dari pola pikir ini.

Jelas sebuah keputusan yang aneh ketika menyangkut pautkan nasionalisme dengan bermain di luar negeri. Bisa dibayangkan berapa banyaknya pemain Brazil dan Argentina yang tidak nasionalis jika kit amemakai pola pikir tersebut. Kenyataannya, justru banyak pemain kedua negara itu merantau ke negara lain, khususnya ke Eropa agar dilirik pelatih timnas, bermain dengan seragam timnas, ujung-ujungnya membawa harum negaranya. Bahkan tidak perlu jauh-jauh, pemain senior atau bahkan yang sudah pensiun, semisal Bambang Pamungkas, Ponaryo Astaman, Hamka Hamzah, Elie Eiboy, Ilham Jayakesumah, Victor Igbonefo, hingga Robby Darwis adalah pemain yang bermuka dua, tidak nasionalis tapi kok nasionalis juga.

Nama-nama tadi, dan tentunya masih banyak lagi, punya rekam jejak yang bagus dan punya kontribusi bagi timnas. Bahkan saya tidak pernah mendengar mereka mangkir dari panggilan timnas . Tentu saja di lua dualisme tahun 2011-2012 lalu. Bahkan di saat sebagian pemain senior dipagari 'PSSI tandingan', Bambang tetap nekat membela timnas. Nah, sekarang dua pemain yang saya sebutkan di paragraf pertama. Apakah keduanya punya rekam jejak mangkir dari timnas, setahu saya tidak. Bahkan kedua pernah menyumbangkan trofi Piala AFF U-19. Dan jika bicara subjektif, gelar itu digapai tidak pada masa jabatan ketua PSSI sekarang yang mana masih mandul trofi.

Jika memang kekhawatirannya adalah kedua pemain mangkir, ya sudah bicara secara personal. Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan bermain di luar negeri. Jika potensi mangkirnya dikarenakan jadwal liga di negara sebelah, ya sudah bicarakan dengan klub secara baik-baik, bukan tiba-tiba memagari pemain yang sudah tanda tangan kontrak. Macam tidak pernah belajar hukum/etika pekerjaan profesional saja.

Jika alasannya adalah kedua pemain ini menuju kompetisi yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia, hmmm. Rasanya ini lebih lucu. Argumentasi ini sempat dilontarkan sekjen PSSI ketika disinggung mengapa pemain yang merantau ke Thailand tidak dipermasalahkan. Beliau menyebutkan kompetisi di Malaysia 11-12 dengan Indonesia. Jujur saya tidak sependapat dengan beliau. Jika dari sisi antusiasme penonton dan jumlah kontestan, memang Indonesia unggul dari Malaysia. Tapi jangan lupa bahwa, beberapa tahun lalu sudah berhasil menggebrak kompetisi regional lewat Johor Darul Takzim yang juara Piala AFC. Apa perlu saya bandingkan dengan Indonesia yang [maaf sekali maaf] mendaftaran klub ke kompetisi regional saya telat [ya walau itu bukan di masa kepengurusan sekarang].

Saya sepakat jika salah satu indikasi nasionalisme adalah mau tidaknya dipanggil untuk seleksi/laga/pelatihan timnas. Tapi jika ukurannya bermain di luar negeri, apapun kompetisinya, saya tidak sependapat. Semoga pihak-pihak terkait bisa menentukan solusi yang tepat dan wajar.

#ICIT2017 #2ndDay


Jika tidak ada agenda mendesak yang banget-banget, saya mengupayakan hadir menyimak di hari ataupun sesi lain di sebuah seminar/konferensi. Niatnya sederhana, memperkaya wawasan sekaligus memperluas pertemanan. Memang, kewajiban presentasi sudah tuntas, tapi ada 'bonus' yang menjadi kesempatan berkembang di luar 15 menit yang wajib kita 'ngoceh' itu. Begitu pula di ICIT ini, kebetulan Allah memberi saya kesempatan hadir nyaris penuh kecuali agenda lain yang lebih wajib, dan memang wajib sih, yaitu sholat Jumat. Dan ternyata di hari kedua ini, saya banyak memperoleh banyak wawasan, inspirasi, dan tentunya relasi baru.

Hari kedua ini, saya terus terang tidak punya tujuan pasti mau menonton siapa ataupun topik mana. Bahkan, saya baru mengecek jadwal dalam di depan ruangan, bukan contoh yang patut ditiru nih. Oh ternyata relasi baru asal Mahindra, yaitu Paranihith, ada presentasi. Saya sempatkan untuk menyimak presentasinya. Sangat percaya diri dan berkualitas. Mantap jayalah, apalagi beliau hampir lulus jenjang sarjananya. Jelas pencapaiannya yang kece. Ada pula Mr. Mohammed Alhassan Enagi, sosok rendah hati asal Cape Town, Afrika Selatan. Ternyata topik yang beliau bawakan [pojok kanan bawah] terkait dengan Enterprise Architecture. Wah, terdengar menarik [baca 'menarik kembali kenangan pahit susah payah tugas PSSI' hehee]. Apa yang beliau paparkan terus terang punya irisan dengan bidang riset saya, walau tidak menjadi fokus utama tahun mendatang. InsyaAllah saya sempatkan untuk mempelajari detail risetnya.

Sosok di pojok kiri bawah adalah Mr. Gurdal Ertek. Beliau dosen di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Uni Emirab Arab, walau dari namanya pasti banyak yang mengira beliau satu negara dengan Arda Turan. Kebetulan beliau merupakan moderator di sesi presentasi saya kemarin. Dari cara membuka presentasi kemarin saja, saya terkesan karena beliau menyampatkan berbincang singkat berupa menyapa satu demi satu peserta dalam bahasa asalnya. Sebelum presentasi pun kami sempat berbincang beberapa topik yang menarik. Orangnya supel dan sangat mau mendengarkan opini orang dalam berdiskusi. Karena itulah saya sempatkan juga untuk menyimak bagaimana cara beliau presentasi. Sejujurnya yang beliau presentasikan tidak terlalu menonjol [sorry Sir hohoo], tapi hal ini dikarenakan cara penyampaiannya yang sangat interaktif dan elegan [tapi tidak berlebihan]. Hal ini tentu membuat saya [dan barangkali pendengar lainnya juga] mudah memahami apa yang dikerjakan sehingga mudah memahaminya [dan terkesan nggak canggih-canggih amat]. Inspirasi cara presentasi yang patut dijadikan teladan.

Jauh sih, tapi Mengesankan


Saya lahir dan tumbuh di lingkungan yang kebetulan didominasi orang Islam. Hal yang wajar untuk menjadi mushola ataupun masjid. Lumrah juga untuk izin menjeda agenda untuk pamit sholat, termasuk sholat Jumat. Karena itulah saya kerepotan untuk menyesuaikan diri saat berada di daerah yang didominasi non-muslim. Singapura adalah negara kedua yang saya kunjungi jika kategorinya Islam sebagai populasi minoritas. Sulit mencari mushola, masjid, atau bahkan sejengkal area untuk sholat. Kebetulan dari jadwal perjalanan ini, hari Jumat bertepatan dengan agenda konferensi hari kedua. 

Berdasarkan poster yang saya baca dekat mushola yang berlokasi di agak jauh gedung konferensi, ada bus yang mengantarkan para umat muslim menuju ke masjid terdekat.  Statusnya sih 'terdekat', padahal jaraknya sudah dalam satuan 'km'. Membaca info itu, saya mengikuti skenario berupa berkumpul di gedung lokasi musholat berada sambil menunggu bus. Sekitar lima menit kok suasana sepi, saya cek kembali pengumumannya, eh ternyata kalau libur semester tidak ada bus tersebut. Artinya saya harus 'berpetualang' mencari lokasi masjid yang dimaksud. Berbekal Google Maps plus bantuan dari seorang ibu dan anaknya, saya diarahkan memakai bus untuk menuju Masjid Maarof.

Sebagaimana khasnya arsitektur masjid, bangunan ini sangat anggun dengan menyimpan kesejukan yang membuat kita ingin berlama-lama di masjid. Suasana ramai karena ini memang agendanya sholat Jumat. Tentu saya tidak mensurvei satu demi satu. Tapi saya yakin, selain saya, pasti ada orang yang bukan penduduk Singapura di sini. Dari penampilan fisik sebetulnya sudah tampak keanekaragamannya. Ada yang tampak khas Melayu, India, Arab, bahkan Kaukasoid. Semua membuat dengan tujuan sama, ibadah.

Henderson Bridge, Jejak Sepotong Malam


Ceritanya habis hari pertama konferensi sudah capek, banget banget. Eh, malah kepikiran buat nyobain Henderson Waves, jembatan kayu yang di dekat hutan kota. Saking penasaran dan terbatasnya waktu tersisa, ya sudahlah, hajar bro...

Secara desain, saya suka dengan konsep jembatan ini. Sangat elegan walau tidak banyak pernak-pernik yang menonjol. Malah saya mendapati beberapa anak mudah yang berbincang-bincang sepi tapi lupa bawa patromak. Jalananya sendiri sebetulnya tidak terlalu terjal, bahkan bisa dibilang 'jualannya' adalah pemandangan kota sekaligus informasi ketinggiannya. Justru yang menguras fisik adalah bagaimana kita menuju ke lokasinya. Entah berapa banyak tangga yang harus dilalui dengan kemiringan sekitar 40-50 derajat. Capek apa tidak, ya itu retorislah.

#ICIT2017 #1stDay


Ini bukan pertama kalinya hadir di sebuah konferensi. Tapi yang namanya antusias akan selalu terasa. Ya wajarlah, butiran terigu seperti saya harus selalu belajar dan belajar. Kali ini di sebuah kegiatan bertajuk ICIT, saya mengadu kesempatan untuk memperbarui kemampuan saya dengan berbagai inspirasi sekaligus diskusi produktif. Alhamdulillah walau ini adalah konferensi dengan persiapan paling minimalis, setidaknya saya banyak memperoleh halhal berharga. Termasuk pula saya makin sadar untuk membenahi kemampuan berbahasa Inggris saya.

Alhamdulillah ICIT 2017


Sejujurnya, ini adalah presentasi saya yang paling kurang persiapannya. Kebetulan bulan November dan Desember ini saya terjebak dalam berbagai amanat di tiga kampus, sebuah rencana studi lanjut, proyek, dan pastinya keluarga. Saya tidak berhak menyalahkan amanat-amanat tersebut karena itu adalah pintu-pintu ibadah, justru yang harus dipertanyakan adalah kemampuan manajemen waktu saya yang sedang keteteran. Bisa dibilang, saya sedang dalam posisi kurang dekat dengan uluran bantuan Allah.

Walau demikian, banyak yang bisa disyukuri dari sesi ini. Mulai saya semakin saya menyadari bahwa kemampuan 'ngoceh' berbahasa Inggris saya yang patut dibenahi. Kemampuan menata bahan presentasi pun perlu saya pertajam. Saya tidak patut berpuas diri dengan pengalaman membuat bahan presentasi yang sudah-sudah. Jika kita bisa berkembang lebih pesat, apalagi selagi muda, mengapa kita harus merasa sudah cukup begini saja.

Terima kasih atas dukungan dan bantuan kawan-kawan sejawat di Binus Bandung. Di saat akhir seperti ini, saya banyak dibantu untuk proses adminsitrasinya. Kebetulan saya tipikal orang yang agak malas berurusan dengan hal-hal administrasi. Semoga pencapaian kecil ini bisa memantik kawan-kawan sejawat untuk lebih dahsyat dan kece yang membuat publikasi penelitian.

"Syarat Sah" Turis di Singapura

Jejak Melayu di Malay Heritage Centre


Berlokasi di sebelah Utara Masjid Sultan, Malay Heritage Centre atau MHC ini menjadi situs yang fokus untuk studi tentang perkembangan dan kontribusi etnis Melayu dalam sejarah berlikunya negara Singapura. Mengingat nama yang digunakan adalah 'centre', maka saya berpikir bahwa seharusnya tidak hanya museum di sini. Harusnya adalah semarak kegiatan yang menunjukkan eksistensi dan dinamisnya budaya Melayu di era saat ini. Mungkin karena dalam suasana akhir tahun sehingga tidak ada tanda-tanda kegiatan apapun di sini. Praktis, suguhan museum menjadi wahana tunggal selain toko suvernir di samping meja registrasi. 

Cerah Eloknya Masjid Sultan


Berlokasi di Kampung Arab, wajar jika sebagian besar jamaah masjid ini memiliki penampakan etnis Arab dan Kaukasoid. Boleh jadi pengunjung 'lupa' bahwa ini adalah Singapura yang kebetulan tidak didominasi etnis Arab. Bahkan etnis Melayu pun tidak terlalu banyak di daerah ini. Bagi yang berkunjung di Masjid Sultan ada banyak yang bisa dilakukan. Mulai dari ibadah, ya tentu sajalah. Sayang rasanya jika wudhu-sholat-lalu sudah selesai begitu saja. Sempatkanlah waktu untuk menikmati keelokan masjid ini. Arsitekturnya khas India dan Melayu sekali dimana warna kuning dan hijau seolah berebut atensi. Justru warna putih dan kemerahan khas Arab tidak tampak. Banyak ornamen yang menyejukkan hati walau secara warna sebetulnya mencolok. 

Suasana Klasik di Masjid Hajjah Fatimah


Tidak jauh dari Masjid Sultan, sebuah masjid berdiri kokoh walau agak menyempil di tengah kepungan gedung-gedung menjulang tinggi. Ini adalah Masjid Hajjah Fatimah yang namanya diambil dari saudagar muslimah penyokong berdirinya masjid ini. Fakta barusan selayaknya mengingatkan kita bahwa sangat sulit Islam berkembang, termasuk bangunan fisik berupa masjid, jika umat muslim terlalu asyik menikmati hartanya sendiri.

Arsitektur bangunan ini menampakkan unsur Arab yang kental. Hal ini diindikasikan dengan warna cat tembok yang cerah tapi adem, bukan mencolok sebagaimana masjid-masjid yang bernuansa Melayu dan India. Lokasinya memang 'nyempil' diantara gedung-gedung yang lebih megah, tapi saya melihat ini adalah sebuah solusi. Solusi agar umat muslim yang bekerja di gedung-gedung tersebut bisa hadir ke masjid dengan mudah.

Campus Tour @NTU


Lantaran telat hadir ke meja registrasi, maka saya pun terpaksa melewatkan kesempatan jelajah kampus yang sudah disediakan oleh panitia. Ya baiklah, anggap saja ini momen untuk mempersilakan saya mengeksplorasi kampus ini sendiri. Macam nggak pernah ngebolang aja.

Bangunan paling memikat tentu School of Art and Design yang sangat eksotik lengkungan gedungnya. Entah arsiteknya yang kece atau teknik sipilnya yang pusing hehee. Beberapa titik lain saya mendapati banyak inspirasi. Memang, mengitari kampus tidak melulu hasil menghasilkan decak kagum. Kita harus bisa memproduksi ide-ide segar untuk diadopsi ke tempat asal kita.

SCSE@NTU


Bisa diibaratkan, ini adalah Fakultas Informatika serta Fakultas Ilmu Komputer. Suasana tidak ramai lantaran sedang masa libur antar-semester. Ya, syukuri saja sebagai keleluasaan untuk narcis, hehee. Tentu saja saya kurang bisa memperoleh wawasan yang lebih lengkap mengenai suasana perkuliahannya. Walau demikian, artifak-artifak fisik yang ada di situ memberi banyak inspirasi. Tidak banyak dekorasi yang wah. Entah karena faktor efisiensi ataukah mahasiswa di sini kurang berminat mengeksplorasi seni dekorasi laiknya anak seni. Namun dari sisi substansi, saya 'mencium' aroma pekat riset yang gencar.

Jejak Hijau Botanical Garden

Ragam Makna Taman Anggrek

Diplomasi Anggrek

Esplanade, Gedung Perlambang Durian

Hitam Eksotiknya Gedung Kampus Seni ini

Riuhnya Little India yang Bertabur Warna

Elegannya Galeri SG50 di NDC

Stadion Kallang yang Berkalang Prestasi

Warna-Warni di MICA Building

Hijaunya Masjid Jamae

Kepagian di Chinatown Street

Terdampar di Museum Filateli

Sebetulnya, saya merencanakan ke museum ini pada hari ini [26/12], bukan kemarin. Belajar dari situasi di Indonesia dimana museum kerap libur ketika hari raya keagamaan, maka saya realitis kemungkinan museum ini tutup, bahkan agak pesimis siapa tahu tutupnya s.d. tahun depan. Eh ternyata museum ini buka lho. Malah saya 'memergoki museum ini saat bermaksud meyeberang jalan eh kok ada yang menarik di pinggir kanan jalan ya, hehee. Sebagai seorang filateli [amatir], siapa yang tidak tergoda untuk masuk hohoo. Dan alhamdulillah saya tidak menyesal.

Berbagai ornamen terpampang rapi di sini. Suasana khas museum yaitu tenang, bahkan agak sepi memang masih terhidang. Selama saya di sana sekitar 45 menit, hanya ada sekitar 10 orang saja, termasuk 3-4 orang dari Indonesia. Ya, anggap saja bonus bagi saya agar lebih leluasa mengeksplorasi tempat ini.

Berbagai suguhan perangko ada di sini, khususnya terkait dengan kiprah sektor pos dalam mengoneksikan pengelolaan negeri ini, mulai dari era pendudukan Inggris sampai dengan era modern sekarang. Dekorasinya pun tampak mengikuti imajinasi waktu yang ada. Jika pada galeri sejarah lebih banyak didominasi lampu gelap, maka pada galeri perangko temporer justru dekorasi rianglah yang dipampang. Seolah menegaskan bahwa hobi filateli itu tidak identik dengan 'jadul', begitulah interpretasi saya.

Ohya, ada pula dua fitur tambahan yang saya nikmati di sini. Yang pertama masih berhubungan dengan perangko, yaitu selayang pandang negeri Brunei Darussalam. Lho, apa hubungannya ya, bukankah kemarin stempel imigrasinya Singapura ya. Ternyata negara Brunei merupakan sekutu erat Singapura. Kondisi ekonomi yang relatif stabil walau wilayah kecil mejadi kesamaan saat ini. Dari sejarah pun keduanya masuk ke federasi Malaysia bersamaan dan sekarang sama-sama sudah jadi alumninya [walau yang ini tidak bersamaan]. Berbagai koleksi perangko memaparkan bagaimana sejarah Brunei serta citra sang sultan selaku orang nomor satu di sini. Yang kedua adalah galeri kecil tentang anime. Yang, anime yang terkenal di Indonesia ini punya sejarah panjang beserta filosofinya. Galeri ini memang tidak memajang semuanya, namun sudah cukup membuat kita terpantik untuk mencari tahu lebih dalam lagi.

Melongok di SMU

Univesitas Manajemen Singapura, itulah terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk kampus ini. Dengan nama asli Singapore Managemen University, kampus ini memilih kata 'school' atau 'sekolah' sebagai subset darinya, bukan 'faculty' atau 'fakultas'. Ok, itu urusan administrasi yang tentu berbeda dibandingkan dengan Indonesia. Namun yang membuat saya melongok [nggak mengolok banget lah, cuma dari sisi kepengin motret-motret] adalah arsitektur bangunannya yang kece. Kesan modern terlihat jelas menjadi citra kampus ini sebagai lembaga yang pregresif dan moderat. Walau demikian ada juga sebuah sekolah yang bangunannya tampak klasik namun dari balik kacanya terlihat sejumlah perabotan modern. Kebetulan saya melintasi kampus ini di saat hari libur salah satu agama mayoritas di sini. Wajar jika suasana agak sepi. Terus terang saya penasaran dengan bagaimana aktivitasnya di hari normal. Apakah sebersih saat tidak aktivitas, tampaknya begitu. Ohya, satu lagi. Lokasi yang di tengah kota turut mendukung asimilasi antara suasana pendidikan dengan suasana masyarakat nyata. Ini menjadi keunikan juga.

Classic Everywhere

Singapura mudah diasosiasikan sebagai negara yang modern. Jelas tidak salah lantaran teknologi dalam berbagai rupa dikembangkan di negara ini. Sudah banyak pekerjaan yang digantikan oleh aplikasi sistem elektronik, ya walau tentunya ada faktor sedari awal mereka kekurangan manusia sih hehee. Namun di balik gemerlap modernisasinya, Singapura masih menyita mata dengan berbagai wujud eksoktika arsitektur kuno. Banyak bangunan yang masih mempertahankan sajian arsitektur era lama.

Let me Explore the Lions

Alhamdulillah sampai juga walau ternyata keluarnya dari imigrasi 'terlalu cepat'. Hehee, fitur bandaranya yang bagian dalam pre-embarkasi udah bagus banget tapi agak jomplang dengan suasana di pasca-embarkasi. Jadi bingung juga mau ngapain. Okay, lanjut cek kelayakan lokasi-lokasi yang masih membingungkan sekaligus mengurus item-item pribadi. Bismillah, hari ini bakal banyak memakan energi. Jarak yang 'nanggung' [dan keterbatasan anggaran] membuat saya [kemungkinan berjalan] mempraktikan paket kebijakan ekonomi jalan kaki.

Banyak lokasi eksotik untuk disinggahi
Banyak hal menarik untuk dipelajari
Banyak manusia untuk dikenali
Mari jelajahi Pulau Singa ini

Entah apa di depan Terminal 2

Entah apa itu bangunan di depan Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta ini. Apakah ini stasiun kereta menuju Jakarta? Barangkali sih. Yang pasti, bentuknya menarik, arsitekturnya mengunfang atensi. Semoga nanti ada sentuhan artistik yang kreatif.

Ekspedisi Beraroma Jalan Kaki

Perjalanan kali ini akan sangat melelahkan. Jalan kaki menjadi alternatif paling konkret menimbang satu dan lain hal hehee. Barangkali perjalanan berkereta hanya di beberapa rute jauh saja. Ya, anggap saja kesempatan survival walau tidak ikut PAB.

Sedih istri dan anak tidak jadi ikut dengan beberapa pertimbangan. Padahal jalan-jalan paling asyik ya bertiga (wallahualam kalau nanti nambah =_=). Ya sudah, ikhlaskan saja dengan lapang dada. InsyaAllah ada skenario lain dari-Nya.

She Drew her Dreams

Kreativitas balita kerap tidak terkangkau oleh nalar orang dewasa. Tapi, percayalah kreativitas itu aset berharga yang menjadikan si balita akan tumbuh sebagai orang bermanfaat. Begitu pula Aira, balita lincah yang sudah banyak menorehkan gambar-gambar abstrak khas anak-anak yang terlalu sayang untuk dihapus. Berhubung sudah waktunya hengkang, maka saya potret kenangan berharga ini.

An afternoon View from the Outside

Foto ini diambil Jumat (22/12) lalu saat memutar jalan menghindari macet di depan kontrakan. Agak aneh rasanya melewati jalan ini sendiri. Biasanya soh bertiga dengan istri dan anak. Agak aneh juga melihat gedung-gedung asrama yang mulai meredup lampu-lampunya. Pertanda sudah banyak yang pulang ke daerah asal. Tidak aneh saya memilih judul di artikel ini. Karena saya masih melangkah pada lajur di luar ekosistem utama.

Rapid Victory

Bukan pertandingan yang diawali dengan mulus. Gebrakan demi gebrakan Real Madrid seolah mengisyaratkan bahwa bobolnya gawang Barca hanya urusan waktu. Sosok Sergio Busquet, Iniesta, bahkan Messi malah kerap turun membantu lini pertahanan. Seperti begitu, sepertinya.

Namun sebuah lesatan Paulinho yang nyaris berbuah gol justru menjadi kode keras bahwa Barca masih bisa "bernafas". Kode keras yang tanpa disadari menandai keroposnya lini pertahanan Madrid. Tanpa banyak peluang milik Barca sekaligus sedikitnya ancaman bagi Madrid justru membuat bek-bek Madrid tidak siap menanggung bencana. Gojekan Ivan Rakitic kurang ditanggapi serius sehingga umpannya kepada Sergi Roberto berbuah petaka. Ya, sosok ini hampir sepanjang babak pertama disibukkan Ronaldo di area pertahanan Barca. Entah mengapa justru dia yang menyambut umpan Rakitic dan lebih mengejutkan umpan itu dilempar jauh ke Luis Suarez yang tanpa oengawalan. Lalu, 0-1.

Kocar-kacir antara menyerang ataukah bertahan. Keraguan tersebut digancar oleh penalti Messi setelah sebelumnya kemelut terjadi di kotak terlarang Madrid. Carvajal memilih pulang sebagai tumbal setekah tangannya menghadang sundulan Paulinho. Tampaknya beliau terinspirasi aksi Suarez 7 tahun silam.

Di penghujung laga, sontekan Messi yang hanya bermodalkan sepatu sebelah kanan saja kembali memantik malapetaka. Aleix Vidal tidak menyia-nyiakan peluang itu untuk mengganjilkan skor akhir 0-3. Kolektivitas dn kecepatan dalam membangun serangan menjadi pola dasar tiga gol barca. Ya, rapid victory here is.

Skor yang memang ganjil lantaran pertandingan sempat "dimiliki" Madrid dan dihelat di kandang Madrid. Laga cantik di penghujung kalender 2017 ini. Laga yang bisa jadi pamungkas dari selonjoran saya di kontrakan lama.

Serampang Kece di Jalan Soekarno Hatta Bandung

Pernak-pernik kece khas budaya #nyundapisan

Ornamen AsianGames di Bandung

Walau #bandung bukan tuan rumah #asiangames2018 tapi semaraknya tetap harus ikutan. Kan kita #satuindonesiasatusaudara

Bisa Apa tanpa Anggaran

Era saat ini menuntut banyak pencapaian kuantitas. Banyak organisasi yang mencanangkan berbagai indikator kerja yang diukur secara numerik. Apakah bagus, ya tentu saja iya. Pada hakikatnya, organisasi memang harus berkembang, dan dibuktikan secara eksakta dan objektif melalui pencapaian kuantitas berupa indikator kerja.

Hanya saja, hmmm, naif rasanya ketika untuk mencapai indikator kerja tersebut hanya ditopang dukungan moril. Naif sekalilah jika mengabaikan peran finansial bagi organisasi untuk mencaplok satu demi satu targetnya. Bukan apa-apa, tapi lingkungan profesional menuntut ganjaran yang setimpal atas segala jerih payah produktivitas. Ketika produktivitas dihambat dengan lika-liku birokrasi perbendaharaan, tentu bakal memengaruhi semangat untuk menjayakan hasil pada indikator keberhasilan.

Memang timnas Jerman, Prancis, Brazil, dan Spanyol, punya tradisi sepak bola yang bagus. Tapi percayalah bahwa tanpa adanya anggaran, maka tradisi mereka tidak lebih dari histori. Tengoklah di Wikipedia, kapan terakhir kali timnas Uni Sovyet [kini diwarikan ke Rusia], Swedia, Hungaria, atau malah Yugoslavia [kini bubar] lolos perempat final Piala Dunia. Mengapa kisah heroik mereka di piala-piala dunia terdahulu berakhir di laman Wikipedia, salah satunya karena anggaran yang seret. Apalagi Indonesia.

Anggaran tidak berkonotasi kesempatan meraup keuntungan pribadi, bukan, sama sekali bukan. Anggaran berkaitan dengan biaya operasional yang membengkak di era saat ini. Tidak semua manusia bisa dan mau menanggung pengabdian dengan merogoh kocek pribadi. Jika pada kenyataannya sulit memasok 'pupuk', maka jangan harap 'panen' melimpah ruah.

Jakarta Hujan Pagi ini

Ya, terik menyengatnya khas Jakarta sedang disandera
Kini tanah basar adalah aroma yang jamak
Bahkan dari kamar tanpa jendela ke luar rumah sekalipun
Agak semerbak bawa kenangan perihal hujan

Hmmm, nanti dulu beranjak ke seberang relnya
Aku perlu menuntaskan salah satu agenda pagi ini
Yang sebetulnya harus kukebut tadi malam
Namun apalah daya letih yang meraja

Bahkan saat tiga per empatnya lusin ditunjuk si jarum panjang
Sayup cuaca mengincarku
Tanpa banyak beristirahat
Kereta musti segera kugayung

Dan untuk menunaikan tiga hingga lima agenda lain hari ini

Finale ManproTIK

Sesi presentasi sebagai laga pamungkas dari mata kuliah ManproTIK. Tahun lalu bersua mereka di matkul Teori dan Bahasa Automata (jangan tanya gimana ceritanya anak MTI ngajar "ilmu hitam" tersebut). Tahun ini dipertemukan untuk banyak berbincang dengan mereka yang insyaAllah calon manajer proyek TIK. Sengaja mereka saya minta presentasi dengan jas almamater. Tujuan sederhana, agar segera presentasi dengan kostum serupa di sidang Tugas Akhir hehee. Sukses y Gaes di berbagai rencana hidup kalian. *btw, rasanya kok saya masih cocok seangkatan dg mereka ya...

Ada yang Tidak Beres

Ada yang tidak beres dengan hati
Saat bergulat nyaris mati mengejar dunia
Padahal sudah tahu gerlapnya panggung sandiwara
Namun berlagak harap maklum

Ada yang tidak beres dengan kalbu
Saat menunda asupan nutrisi rohani
Saat sengaja mempercepat durasi sujud
Dan terburu-buru ibadah tanpa kualitas

Ada yang tidak beres dengan pribadi
Saat tidak mampu berpihak pada ibadah
Saat tiap menit hanya bermakna 60 detik
Namun alfa dalam menabung amal

Ada yang tidak beres dengan masa depan
Saat khawatir tidak meraih rezeki
Toh distribusi sudah Illahi bagikan
Padahal Illahi yang Maha Berkehendak kerap kita pintai iba

Tapi ada yang beres
Saat sadar tentang ketidakberesan tersebut
Dan berbulat hati bertekad murni perbaiki diri

Tahun yang Muram bagi Sriwijaya FC

2017 bukan tahun yang ingin dibahas panjang oleh tiap suporter Sriwijaya FC. Alasannya sederhana, peringkat Sriwijaya FC berkubang di papan tengah dengan statistik kemenangan, seri, dan kekalahan yang memprihatikan. Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring kerap menyuguhkan kekalahan, satu hal tabu di musim-musim sebelumnya. Yang paling memprihatinkan adalah [nyaris] nihilnya surat panggilan pemain timnas ke sekretariat klub. Sungguh tahun yang muram.

Tidak seperti musim-musim sebelumnya memang, Sriwijaya FC justru melakukan perombakan krusial di sektor kursi pelatih beberapa bulan sebelum pekan pertama dilalui. Entah apa alasan apa yang melandasi dilengserkannya Widodo C. Putro. Padahal, dia mampu menahkodai Sriwijaya FC dengan hasil lumayan, yaitu 4 besar di ISC 2016. Striker Beto Goncalvez pun moncer sebagai top scorer. Jika ukurannya konsistensi, memang Widodo punya 'dosa' besar berupa sirnanya sejumlah kemenangan lantaran kebobolan di menit akhir pada ISC 2016, tapi dengan masa lalu selaku striker, hal itu masih bisa dimaklumi dan diperbaiki. Toh, Widodo sendiri di kemudian hari menjadi sosok yang bertanggung jawab membawa Bali United menyamai poin Bhayangkara FC yang juara. Jika saja tidak ada kasus pemain ilegal, maka Widodo sukses menggondol medali juara. Plus striker Bali United bernama Comvalius tampil sebagai top skorer mengangkangi rekor Peri Sandria. Singkat kata torehan Bali United saat membuat Sriwijaya FC patut menyesal melengserkan Widodo. Toh suksesor Widodo, yaitu Osvaldo Lessa tidak bertahan hingga akhir musim lantaran hasil yang minor.

Jika Tijad Belain tidak mencetak gol di akhir pertandingan, maka pesta empat gol Persib Bandung sangat menyakitkan. Gol Belain memang tidak lebih dari pelipur lara, tapi setidaknya menandai upaya menjaga harga diri selaku tuan rumah. Ya, entah berapa kali suporter Sriwijaya FC pulang dengan wajah murung lantaran kalah di kandang. Padahal, kandang Sriwijaya FC sempat menyandang status angker di beberapa musim lalu. Mencuri satu poin sudah keterlaluan, tapi musim ini tiga poin seolah diobral.

Generasi Ferry Rotinsulu, Ponaryo Astaman, Firman Utina, Muhammad Ridwan, Supardi, hingga Mahyadi Panggabean sudah melewati masa bakti untuk timnas beberapa tahun lalu. Namun entah mengapa naasnya Sriwijaya kehilangan sosok yang meneruskan bakti mereka untuk timnas. Kenyataannya, Sriwijaya FC kerap tercecer  saat sedikit kontribusinya bagi timnas. Jika sebelumnya ada Fachrudin Aryanto dan Ahmad Jufriyanto, maka musim ini Sriwijaya [nyaris] tidak pernah menyetor nama untuk Luis Milla. Memang ada nama Teja Paku Alam serta Ichsan Kurniawan, tapi keduanya dianggap punya andil atas prestasi minor Sriwijaya FC, wajar jika keduanya tidak dilirik Luis Milla.

Bagaimana musim depan, hmmm

Review Geostorm

Film ini saya tonton justru bulan lalu, tapi baru sempat saya tuliskan review-nya saat ini. Bercerita tentang upaya manusia melawan alam yang ternyata dimanipulasi oleh manusia lainnya, film ini mematok segmen scientific-fiction sebagai genre-nya. Balutan teknologi masa depan memang tidak kental, tapi sebagai gantinya alur cerita yang kece menjadi penawar dan asetnya. Bagi yang gemar film dengan akhir cerita tidak terduga, maka ini film yang saya rekomendasikan.


Berawal dari tersingkirnya seorang ilmuwan lantaran idealismenya oleh adiknya sendiri, ternyata kedua dipaksa berkolaborasi untuk menghindarkan bumi dari malapetaka yang terencana. Situasi kian pelik lantaran ada pihak-pihak yang berupaya menjadikan kolaborasi keduanya gagal dan ditumbalkan sebagai kambing hitam. Film ini mampu memainkan ritme konflik dengan variatif. Beberapa titik kita musti berdegap kencang walau sebetulnya tidak ada kejutan yang terlalu mencengangkan. Memang film ini tidak meramu berbagai eksperimen yang kompleks alias njelimet. Tapi dengan kesederhanaannya inilah, Geostorm mengajak penonton fokus pada cerita tanpa berpikir keras logis tidaknya tiap insiden.

Timur Tengah makin Gerah

Gejolak politik global belakangan malah semakin runyam. Justru di tengah konflik Semenanjung Korea, kisah lucu tapi memantik konflik malah terjadi dari Gedung Putih. Presiden Amerika Serikat menyatakan rencananya [entah baru wacana layaknya pemerintahan di salah satu negara Asia Tenggara yang di kemudian hari ternyata nggak jadi ataukah sudah berupa hal legal ] untuk memindahkan ibu kota Israel ke Yerussalem yang selama ini menjadi ibu kota de facto dan de jure Palestina.

Kejutan memang karena dalam kurun waktu satu tahun ini belum ada konflik 'di atas rata-rata' yang menjadi alasan kuat pemindahan tersebut. Justru Amerika Serikat lebih berkutat dengan potensi pecahnya perang rudal dengan Korea Utara. Nyatanya, Amerika Serikat malah membuka potensi perang dunia ketiga di jazirah Arab. Jika ternyata benar perang dunia ketiga dimulai lantaran konflik ini, sudah bisa ditebak bahwa eksistensi Amerika Serikat di peta dunia adalah taruhannya dan itu tidak sebanding jika Amerika Serikat fokus ada krisis Semenanjung Korea misalnya.

Indonesia sendiri, melalui pernyataan resmi Presiden Joko Widodo, telah menegaskan sikap kontranya dengna berbagai pertimbangan. Faktor sosial, histori, serta politik memang tidak ada yang mencondongkan republik ini untuk pro terhadap pemindahan tersebut. Jika konflik makin meruncing, bukan tidak mungkin imigrasi Indonesia akan 'kebobolan' terkait arus emigrasi WNI untuk ikut terjun ke wilayah konflik di Arab.

Hal yang lumrah sebuah negara memindahkan ibu kotanya. Malaysia, Myanmar, Brazil, Republik Tiongkok, bahkan Indonesia sendiri pernah dalam kondisi seperti itu. Jika Malaysia, Myanmar, dan Brazil terdorong kondisi pembangunan, maka Republik Tiongkok [bukan Republik Rakyat Tiongkok] dan Indonesia sedang dirundung prahara keamanan. Tapi status kelima negara itu adalah 'memindahkan sendiri', bukan 'dipindahkan oleh negara lain'. Hal yang sangat lucu melihat sejarah sebuah negara yang ibu kotanya pindah atas keputusan negara lain. Tentu dipertanyakan kedaulatan pemerintahannya. Walau kasus pemindahan ibu kota Israel oleh Amerika Serikat ini tidak menunjukkan bahwa Israel ada di bawah Amerika Serikat. Justru hal ini adalah bentuk nyata Amerika sebagai negara boneka dari Israel.

Hmmm

Sebuah Gerbang, Sebuah Tantangan, Sebuah Kesempatan, dan ...

Alhamdulillah, ada gerbang terbuka yang memercikkan asa untuk tumbuh. Saya tidak berpikir bahwa kesempatan ini patut untuk dirayakan. Ya alasannya simpel, tingkat kengeriannya jauh dibandingkan tingkat kemenyenangkannya. Fokus saja untuk memberikan yang terbaik, itu yang bercokol di benak saya.

Saat ini, saya mencoba untuk menata segala agenda saya agar sesuai dengan tantangan terbaru ini. Walau terbaru, justru statusnya adalah prioritas yang bakal menguras akal dan waktu saya. Harapan saja, semua ini diganjar dengan nilai ibadah. Bismillah

Alhamdulillah, Berlikunya Jalan untuk Foto ini


Baru ingat kalau belum unggah foto ini di blog. Mengingat fungsi blog ini sebagai pengingat di masa mendatang nanti, ya unggah deh walau telat hehee.

Selamat Persebaya, PSMS, dan PSIS

Jalan panjang di Liga 2 menuju Liga 1 akhirnya 'rampung'. Tiga tim 'klasik' alumni kompetisi Perserikatan tampil sebagai pemilik tiket yang legal. Jika tidak ada bencana nasional, seperti dualisme kompetisi maupun jual-beli lisensi, tiga klub ini bakal menjalani 34 pekan 'berdarah-darah' tahun depan. Merekalah pengganti Semen Padang, Persiba Balikpapan, dan Persegres Gresik United.

Jalan panjang, ya memang perjuangan ketiga klub ini sangat berliku. Mulai dari 'panjat pinang' yang melibatkan 30-an klub di babak penyisihan. Semua klub saling 'baku hantam' untuk dua jenis target, yaitu promosi ke Liga 1 versus bertahan di Liga 2. Khusus target yang kedua, ini pernah saya bahas di artikel lain, intinya 50 persen lebih peserta Liga 2 tahun ini bakal digusur ke Liga 3 tahun depan. Jadi, pencapaian Persebaya, PSMS, dan PSIS sudah sangat di atas target pada umumnya.

Pasca babak penyisihan, mereka beserta 13 klub lainnya menempuh babak 16-besar yang dibagi dalam 4 grup. Separuh dari mereka selanjutnya menjalani babak perempat final berupa dua grup dengan peserta masing-masing 4 klub. Akhirnya juara dan peringkat 2 tiap grup inilah yang kemudian mengarungi semifinal. Dari sisi administrasi, memang babak final antara PSMS vs Persebaya adalah klimaks dari segala pertanding. Tapi dengan tujuan dasar persaingan berupa memperebutkan tiket ke Liga 1, maka laga perebutan tempat ketiga antara PSIS vs Martapura FC adalah laga pamungkas yang paling menyita tangis. Oh ya, tiga klub ini punya kesamaan yang barangkali jarang untuk dibicarakan selain status sebagai alumni Perserikatan.

Alumni Indonesia Super League
Ketiga klub ini sempat merasakan manis getirnya kasta tertinggi dalam era Indonesia Super League. Malahan PSMS dan PSIS adalah kontestan edisi pertama yang digulirkan tahun 2008 lalu. Sayang keduanya langsung 'diwisuda' lantaran berkutat di papan bawah. Jika PSIS didegradasi langsung, maka PSMS sempat mengais asa pada babak 'play off'. Kebetulan di babak itu lawan mereka adalah Persebaya, saya kebetulan salah seorang penonton laga dramatis itu lantaran lokasinya di Stadion Siliwangi, Bandung. Ya, Persebaya menjadi 'peserta didik' Indonesia Super League pada edisi kedua, sayang, semusim berikutnya mereka 'diwisuda' lewat kontroversi yang panjang. Kebetulan Martapura FC.

Kontroversi yang Dahsyat
PSMS dan Persebaya punya kesamaan khusus berupa korban dualisme klub. Bencana dualisme kompetisi di tahun 2011 melahirkan dua versi tiap klub tersebut, plus juga Persija dan Arema. Menariknya, klub salinan yang tersisa tinggal satu dan itu yang justru juara Liga 1, yaitu Bhayangkara FC. Agar lebih sadis, jangan lupa satus Persebaya selaku juara Liga 2. Artinya ada dua klub yang pernah/kembali menyandang nama Persebaya dan juara dua kompetisi tertinggi di Indonesia. PSIS bagaimana ya, hmmm. Gara-gara mereka, dan juga PSS Sleman, acara Mata Najwa mendadak membicarakan sepak bola. Insiden sepak bola gajah menyeret nama PSIS selaku aktor di lapangan, lebih tepatnya tumbal. Sayang tidak ada lanjutan pengusutan siapa dalang/sutradara aslinya.


After more than 3 years


Tiga tahun lalu, sebuah ekspedisi ke Banda Aceh diputuskan untuk berlanjut. Berbekal optimis, ternyata Allah memberikan banyak pertolongan. Tidak mudah memang meyakinkan ayah dan ibu saya tentang rencana 'agak gila' berupa pernikahan. Apalagi rekam jejak saya dalam pergaulan dengan lawan jenis tidak ada. Ternyata niat baik itu memang dimudahkan.

Kini setelah tiga tahun, seorang buah hati menjadi penyemangat hidup ayah dan ibu saya. Di usia senja, mereka selalu menyempatkan hadir berkunjung walau jarak Tegal-Bandung lumayan jauh. Bahkan dua pekan lalu, mereka turut menjemput cucunya di Bandar Soekarno Hatta, Tangerang. Begitulah daya cinta kakek-nenek kepada cucunya, anugerah Allah SWT.

Paper-Ideas Session om Digital Business


Presentasi Tugas Besar Jilid 2 matkul Bisnis Digital MTI @univ_indonesia . Kalau semester lalu atau praktikum SAP yang Setan Aja Puyeng, semester ini diisi dengan riset sederhana tentang prediksi bisnis digital di Indonesia tanah air tercinta. Ada yang membahas omni-channel, fintech for SMEs, fintech vs banks, crowdfunding, bahkan citizen e-ID. 

Mantap jaya Kawan2 (y). Kalau bukan terkendala durasi kuliah tentu tiap topik bisa dilanjut ngopi-ngopi hehee.

Last Session in SI-41-IN

Formally, this session relates with PKM-GT simulation. Unformally, we call it sharing session among students in @telkomuniversity SI-41-IN about Internet of Things. Hope it insprise them to participate in any competition.

yang Terbaik versi-Nya saja

Aku sadar maharintangan yang akan menjadi karibku di sepanjang masa ke depan
Lolos bukan hal yang patut dirayakan
Sujud dan syukuri seperlunya
Lantas benahi cara berjalan

Ah, aku tak mau berlebihan dalam berangan-angan
Khawatirku ialah terjebak pada ketakaburan
Padahal sungguh tiada yang layak disombongkan
Sudahlah, aku lebih nyaman dalam heningnya perjalanan ini

Naif bila aku tak berharap hasil positif
Namun dengan segala keterbatasanku
Aku berharap yang terbaik versi-Nya
Sebagai peranku ikhtiar lalu tawakal