Penggusuran, Dendam si Tergusur dan Persepsi Anak Kecil

Artikel ini tidak bermaksud tendensius atas kebijakan pemerintahan tertentu, tidak terkait pula dengan kepentingan politik [toh saya tidak terikat afiliasi politik], tidak pula memandang secara jeli dari aspek hukum.

Penggusuran merupakan hal yang jamak terjadi di kawasan perkotaan. Sangat jarang terjadi, atau malah saya belum pernah lihat, penggusuran di kawasan pedesaan. Banyak faktor mejadi alasan penggusuran. Paling jamak adalah hunian tersebut sebetulnya ilegal karena berdiri di atas tanah milik negara. Dalam hal ini, secara hukum sudah jelas hitam putih mana yang benar. Tapi saya kerap berpikir bahwa persoalan tentang penggusuran, iya penggusuran, bukan penggeseran. Renungan yang sejak mahasiswa kerap saya timbun dalam benak dan ternyata semakin ke sini saya sulit menemukan solusi yang tepat karena kacamata dunia nyata lebih rumit daripada sewaktu kuliah.

Pertama mengenai solusi bagi yang tergusur
Sudah banyak sebetulnya pemerintahan, baik pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota, yang menyodorkan solusi. Ada yang sukses, ada pula yang gagal. Kebanyakan kegagalan yang terjadi lantaran hilangnya mata pencaharian mereka yang tergusur. Sebagai contoh mereka yang berprofesi nelayan ketika 'direlokasi' malah jauh dari laut. Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk menyesuaikan penghidupan baru. Saya sendiri merasakan bagaimana berganti profesi memerlukan kesiapan finansial dan mental yang kuat, termasuk pula mengondisikan keluarga. Permasalahannya mereka yang tergusur tidak hanya memikirkan bagaimana pekerjaan lamanya harus tetap dijalankan ataupun pekerjaan baru yang kini digelutinya. Mereka belum tentu punya tabungan, mereka juga harus menanggung pikiran tentang pendidikan anak mereka. Singkat cerita, belum ada solusi yang 'cerdas' dan visioner bagi mereka yang tergusur. Kalau dibilang itu risiko sebagai pihak tergusur, perlu diingat bahwa ini bukan negara liberal yang nasib individu tidak diurusi negara, bukan pula negara komunis yang tidak perlu berpikir pusing saat mengakuisisi kembali tanah negara.

Kedua mengenai dendam si tergusur
Banyak dari mereka yang tergusur akhirnya memendam rasa kecewa marah dan sejenis yang diracik menjadi dendam. Ya, dendam atas pemerintahan yang dianggapnya menelantarkan segmen tertentu. Tidak heran jika mereka dalam ibadahnya pun tidak sudi mendoakan yang baik-baik bagi para pemimpinnya. Tidak heran pula mereka menjadi komoditas untuk di-PDKT-i setiap calon kepala daerah.

Ketiga mengenai persepsi anak kecil
Anak-anak kecil, mereka tidak tahu menahu soal legalitas tanah dan bangunan. Mereka tidak paham bagaimana orang tuanya mengatur neraca bulanan. Tapi mereka bisa membaca dengan cermat betapa gundah gulana orang tuanya yang harus memikirkan masa depan anak-anaknya. Beberapa dari mereka pun ikhlas menanggalkan seragam sekolahnya untuk mengurangi beban finansial orang tuanya. Secara teoretis mereka kehilangan kesempatan memperbaiki nasib kehidupan dari jalur formal. Apakah pilihan mereka salah, sulit untuk berkata iya ataupun tidak. Mereka terlalu sayang pada orang tuanya yang sudah kacau balau pikirannya lantaran tidak tahu harus kemana tinggal.

No Response to "Penggusuran, Dendam si Tergusur dan Persepsi Anak Kecil"