Mengapa Barcelona dan Lazio

FC Barcelona dan SS Lazio merupakan dua klub favorit saya di benua Eropa. Bisa dibilang kedunya menjadi 'gacoan' saya jauh sebelum saya mendukung PSM Makassar dan Sriwijaya FC selaku klub lokal. Tingkat favoritnya pun melebihi rasa simpatik saya pada Ajax Amsterdam dan Manchester United karena kedigdayaan akademik sepakbola mereka atau bahkan Feyenoord karena merah-putihnya. Barca dan Lazio sudah saya idolai sejak 1998, mungkin terlalu dini untuk anak usia 7 tahun kala itu.

Awalnya, mungkin terdengar konyol, saya menyukai Lazio karena kostum mereka wara biru muda yang cerah tapi adem, warna yang enak dilihat. Saya suka lihat ketenangan Alessandro Nesta selaku bek serta agresifnya Pavel Nedved selaku gelandang. Ya, Serie A saat itu menjadi kompetisi paling bergengsi dan ditayangkan di Indonesia secara gratis. Saya kemudian mengenal ada beberapa kompetisi selain Serie A, salah satunya adalah La Liga. Di kompetisi ini, saya suka dengan perpaduan warna biru dan merah yang dikenakan oleh Barcelona. Kala itu mereka dibela oleh Gerand Lopez, Rivaldo, hingga Pep Guardiola. Singkat cerita di musim 1998-1999, ternyata kedua bercokol di papan atas kompetisi masing-masing. Lazio nyaris menggapai scudetto tapi dicaplok AC Milan, sedangkan Barcelona sukses meraih juara La Liga. Tentu kedua info tersebut saya ketahui dari koran karena belum ada internet, pun tayangan siaran langsung terbatas. Dari koran dan ulasan ringkas di televisi pula akhirnya syaa tahu bahwa Lazio berhasil meraih juara Piala Winners dan Piala Super Eropa. Di musim berikutnya alias 1999-2000 Barca gagal mempertahankan juara La Liga, tapi Lazio secara dramatis mengudeta Juventus untuk menggapai scudetto. Jelas saya menyesal gagal melihat laga pamungkas dan selebrasi tersebut secara langsung. Bahkan di musim legendaris itu pun mereka sukses merengkuh juara Copa Italia sekaligus dengan Piala Super Italia. Prestasi yang sangat jarang untuk klub sekelas Lazio hari ini.

Sebagaimaa roda berputar, nasib kedua klub pun sangat dinamis. Lazio pernah beberapa kali terancam degradasi, pernah berkali-kali dibajak pemainnya, pernah terjerat skandal, bakan di beberapa musim tampil tanpa sponsor di kostumnya, tapi pernah pula Lazio lolos mengejutkan ke kompetisi Eropa, bahkan mampu merengkuh trofi Copa Italia. Kesedihan paling ngenes tentu saat harus melego Nesta dan Nedved, duo pemain favorit saya di Lazio.

Barcelona sejak era 2005-an mulai mendominasi pemberitaan dunia karena popularitas Liga Spanyol yang terus menanjak sementara Liga Italia meredup. Maka wajar jika sejak era itu pula saya lebih sering menonton Barca di televisi daripada Lazio. Kesempatan saya menyaksikan Barcelona merajai 4 kali kompetisi Liga Champions pun alhamdulillah tidak terlewatkan. Momen 'gila' macam laga getir melawan Chelsea di UCL 2008-2009, kemenangan gokil 6-1 atas PSG di UCL 2017, ataupun genoside atas Real Madrid 6-2 di La Liga 2009 dan 5-0 di La Liga 2010-2011. Tapi kejadian pahit pun kerap melanda, mulai dari kekalahan pilu oleh Real Madrid di Copa del Rey dan La Liga, digilas Chelsea di UCL 2011-2012, digebuk Juventus di UCL 2016-2017, diamuk PSG di UCL 2016-2017, dikangkangi Atletico di sebuah 45 menit yang berakhir dengan kegagalan juara La Liga 2013-2014 maupun berbagai insiden naas lainnya. Saya menganggapnya sebagai lika-liku kehidupan.

Karena itulah saya tidak terlalu peduli dengan komentar orang yang menganggap fans Barca itu suka Barca gara-gara Messi ataupun treble winner tahun 2009. Malahan saya tidak terlalu suka Messi, pemain favorit saya di Barca adalah Sergio Busquet dan Andres Iniesta, masih ada dua, yaitu Xavi dan Pedro Rodrigues tapi keduanya sudah hengkang.


Jadi bila ditanya apakah saya berminat untuk tidak lagi nge-fans ke dua klub ini. Hingga saat saya belum menemukan jawabannya, toh saat mereka terpuruk pun, saya tetap mendukung mereka.

No Response to "Mengapa Barcelona dan Lazio"