Another Milestone has been Checked

Ramadhan Sebentar lagi

Kurang sebulan lagi Ramadhan akan tiba. Bulan dengan durasi seperduabelas dari satu tahun hijriah. Bulan yang selalu dirindukan dan kerap membuat muslim merasa kehilangan saat menjelang usai tiap tahunnya. Bulan yang sarat hikmah lewat pengampunan oleh-Nya hingga "kado" bagi mereka yang berkomitmen pada-Nya.

Yuk siapkan rencana untuk menuju Ramadhan yang jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Mari benahi diri dengan mengonsumsi nutrisi kalbu dari berbagai sumber tentang hikmah Ramadhan serta bagaimana cara menyambutnya. Mari susun target yang "menarik" dan realistis sebagai wujud kesungguhan kita dalam mengisi Ramadhan nanti. Mari kita latih fisik dan batin kita menghadapi segala ujian (yang secara umum sudah terbayang berdasarkan pengalaman sudah-sudah. Tahun ini pasti ada tantangan baru. Maka, jangan sampai beban berlipat lanyaran "penyakit lama" tidak diantisipasi.

Kita tahu (agaknya) sulit mengisi Ramadhan dengan aktivitas yang sempurna. Selalu ada rintangan, tentu itu. Tapi, tidak bisa sempurna bukan alasan untuk tidak mempersiapkan Ramadhan yang (minimal) jauh lebih baik dari sekian Ramadhan yang lalu.

Usia siapa yang tahu, barangkali nanti adalah Ramadhan terakhir kita. Siapa yang tahu kuga kalau usoa kita tidak mencapai Ramadhan nanti. Biarlah usia itu kehendak Allah, domain kita adalah berupaya mempersiapkan dan melakukan yang terbaik.

Danke TI-40-11 and TI-40-IN

el Classico non Grata

El Classico memang punya daya pikat tersendiri. Barangkali ini menjadi laga on-derby terpanas di blantika sepakbola dengan berbagai faktor. Kebetulan memang kedua klub yang terlibat, Barcelona dan Real Madrid masih punya kepentingan di klasmen La Liga. Hal ini yang membuat el Classico kali ini masih menarik ditonton, bahkan dibandingkan Derby Milano yang keduanya tengah terancam gagal lolos [lagi] ke Eropa ataupun Derby Glasgow yang meempatkan Ranger terlalu inferior peringkatnya di hadapan Celtic. Sebagaimana biasa, aroma sarat makna el Classico memang 'dipercaya' manjur untuk melihat siapa yang menjadi penguasa La Liga di akhir musim, terlebih jika jarak diantara kedua klub itu relatif tipis. Barcelona di musim 2008-2009 tidak hanya mengangkangi Madrid di el Classico jilid II, tapi menyisakan taruma mendalam pada Madrid yang sebelum bercokol di pucuk klasmen. Mereka goyah dan akhirnya Barca sukses mengudeta Madrid. Musim lalu, Madrid sempat dicoret dari catur La Liga sebeleum el Classico jilid II. Nyatanya, skor 2-1 untuk mereka membuat Barcelona harus menunggu akhir musim untuk merengkuh trofi La Liga, itu pun harus dibantu 'fokusnya' Madrid ke Liga Champions.

Musim ini pun fenomena el Classico dipercaya bakal menentukan siapa yang tertawa di akhir musim. Madrid sempat berjarak 6 poin atas Barcelona, itu pun mereka masih surplus 1 pertandingan, artinya bisa jadi Madrid unggul 9 poin. Terlalu muluk berharap Madrid tersandung 3 kali. Tapi beruntungnya bagi Barca karena ada laga el Classico berupa lawatan ke kandang Madrid. Tapi jadwal justru menyiksa Barcelona yang kadung dipermak Juventus sehingga tersungkur dari Liga Champions. Belum pulih benar mental Barcelona, mereka harus melakoni el Classico menantang Real Madrid yang sedang membumbung mentalnya lantaran sukses lolos ke semifinal Liga Champions. Singkat cerita, Barcelona dalam kondisi tidka menguntungkan. Mental masih ambruk, laga tandang, plus tanpa Neymar si kontributor assist, plus tuntutan harus menang. Imbang artinya poin tetap 6, andai Madrid kecolongan di laga 'tabungan' itu. Kalau kalah, ya AhSudahlah.

Tapi hasil pertandingan memang di luar dugaan. Barcelona mencuri kemenangan dengan alur yang sangat dramatis. Marc Andre Ter-Stegen tampil heroik 12 penyelamatan serta gol di menit terakhir injury time. Benar-benar mencuri kemenangan, walau sebetulnya diantara Barcelona dan Madrid kalah di kandang masing-masing itu biasa. Ngomong-ngomong kata biasa, suguhan teror benturan fisik sangt diumbar di laga tersebut dengna klimaksnya sebuah kartu merah ke pemain yang rutin menerimanya. Dan kata 'biasa' juga sebetulnya patut dialamatkan pada Busquet, Sergi Roberto, dan Samuel Umtiti yang kembali ke penambilan 'biasa'-nya mereka, yaitu gemilang.

Barcelona sementara kembali ke singgasana, tapi masih dalam status darurat. Kemangan 7-1 Barcelona atas Osasuna direspo Madrid dengan menghajar Deportivo La Coruna 6-2. Masih ada 4 laga tersisa yang sangat kritis. Apalagi Madrid masih punya tabungan 1 pertandingan yang artinya ada peluang meraup poin tambahan. Walau demikian, andai kedua klub menuai poin sama, maka Barcelona relatif diuntungkan karena selisih gol yang relatif lebih baik dibandingkan Madrid.

Pilih Bahasa yang Mana

Era globalisasi memang sangat deras melanda dunia akademik dan dunia kerja. Tidak heran bila Bahasa Inggris menjadi kompetensi yang dianggap 'fardhu' di dua dunia tersebut. Saat saya SMP di kurun 2002 s.d. 2005, kesulitan berbahasa Inggris dianggap wajar, pun saat SMA. Malahan belum ada pelajaran Bahasa Inggris di lingkungan SD/MI. Bagi kuliah di rumpun teknologi informasi ataupun kerja di lingkungan digital/teknologi informasi, berbagai terminologi berbahasa Inggris malah lebih banyak berserakan. Saya tidak menganggap keharusan menguasai Bahasa Inggris sebagai pantangan. Tidak bisa kita beridealisme anti-bahasa asing karena ini era globalisasi. Hanya saja yang terjadi adalah literasi berbahasa mahasiswa ataupun paktisi industri yang kurang cermat dalam menggunakan masing-masing bahasa, ini masalahnya. Saya pun pernah dalam kondisi tersebut, bisa dibaca di artikel-artikel lama saya era 2009-an hingga 2012-an.

Sebagai pengajar, bagian dari ekosistem pendidikan, saya sering berada dalam situasi dilematis untuk menentukan bahasa pengantar pada bahan ajar serta penugasan. Di satu sisi, saya ingin mengajak mahasiswa belajar Bahasa Inggris, khususnya terkait kemampuan membaca dan menulis dalam Bahasa Inggris. Keduanya menjadi kompetensi yang sangat penting di era globalisasi saat ini. Toh, saat mereka berpapasan dengan skripsi pun mereka harus melahap berbagai referensi Bahasa Inggris. Singkat cerita, secara tidak langsung untuk lulus dari jenjang S1, mahasiswa wajib menguasai kemampuan berbahasa Inggris. Sebagai alumnus yang pernah/sedang menyelami dunia industri, saya merasakan sendiri bahwa kompetensi berbahasa Inggris menjadi sesuatu yang fundamental. Bagi yang terjun di dunia akademik, Bahasa Inggris menjadi keharusan kaena banyak agenda yang berkaitan dengan hal ini, misalnya penulisan makalah, penelaaha referensi untuk bahan ajar, hingga berburu beasiswa. Karena itulah, saat mengajar PSSI semester ini saya menyusun bahan ajar dalam Bahasa Inggris, pun dengan bahan evaluasi seperti UTS, UAS, dan kuis. Tapi saya mempersilakan mahasiswa menjawab dalam Bahasa Indonesia.

Untuk bahasa pengantar, tentu saya menggunakan Bahasa Indonesia, kecuali di kelas IN. Karena itulah, wajar jika mahasiswa di kelas saya sering heran kenapa saya lebih sering menggunakan jargon-jargon teknologi informasi dalam Bahasa Indonesia saat mengajar, misalnya kata 'unduh', 'tautan', 'peta jalan', 'tinjau'/'telaah', dan 'analisis kesenjangan', daripada 'download', 'link', 'roadmap', 'review', dan 'gap analysis'. Kebiasaan memprioritas Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi didasarkan pada identitas kita sebagai Bangsa Indonesia, pemilik Bahasa Indonesia sekaligus penutur aslinya. Memang bagi sebagian orang, kesan kaku mungkin terbesit, apalagi jika komunikasi via surel/email, tapi bagi yang mengenal saya tentu tahu bagaimana saya tipe orang yang lebih senang hal-hal non-formal.

Saya berharap dengan memprioritaskan Bahasa Indonesia, kita bisa mempertahankan identitas kita. Kenyataannya saat ini, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi momok menakutkan di Ujian Nasional. Ketika Matematika dan Bahasa Inggris ada kursus privatnya, maka tidak dengan Bahasa Indonesia, entah kenapa. 

Kerap pula saya menemukan mahasiswa yang penyampaian ide dalam Bahasa Indonesia perlu diperbaiki, saya tidak bilang dia jelek. Secara lisan, dia sudah bagus dan bisa membedakan mana yang Bahasa Indonesia, mana yang Bahasa Inggris. Tapi saat menuliskan, kerap istilah asing dibaurkan tanpa memperhatikan kaidahnya, seperti memiringkan istilah tersebut, memisahkan dengan tanda hubung jika dilengkapi imbuhan dalam Bahasa Indonesia. Artinya, segmen intelektual di dunia akademik perlu membenahi literasi berbahasanya, terutama Bahasa Indonesia.

Float Assumption

Asumsi merupakan bagian dari keterbatasan manusia. Keterbatasan yang kerap bersanding dengan kodrat manusia yang erat dengan salah dan khilaf. Sangat mungkin asumsi yang kita petik sebagai prediksi secara subjektif ternyata salah. Kita mengira nantinya sudah begini, kita menyangka nantinya sudah begitu. Dan yang terjadi patut diberi tagar #ahSudahlah.

Kesalahan estimasi karena keterbatasan asumsi kerap membebani kita, terlebih jika risikonya adalah merepotkan orang sekitar kita. Mungkin dalam jangka pendek, ujar-ujar pelipur lara sedikit meredakan kekecewaan. Tapi, untuk jangka panjang, rasanya tidak demikian.

Jika ditanya obatnya apa, tentu sujud adalah yang paling mujarab. Tapi, ini tidak ampuh bagi yang kurang peka dalam menyadari peran Allah selaku Maha sutradara di kehidupan ini. Awali setiap introspeksi diri dengan kesadaran bahwa kita ini kecil.

Review of SPIS 14th Session



Alhamdulilah Jumat dan Sabtu lalu, 21 dan 22 April 2017, sesi tatap muka materi PSSI telah usai. Agenda di sesi terakhir ii adalah tentang IS/IT Roadmap alias peta jalan SI/TI. Topik pamungkas ini  menjadi gerbang yang menjadi muara dalam akhir proses perencanaan strategis SI/TI bagi sebuah organisasi. Peta jalan menjadi petunjuk bagi sebuah organisasi untuk menyusun agenda apa saja yang dilakukan pada periode waktu tertentu. Lho bukannya sudah dilakukan analisis kesenjangan alias gap analysis ya...

Gambar 2. Ilustrasi tentang perbedaan analisis kesenjangan versus peta jalan

Memang ketika kita melakukan analisis kesenjangna, kita akan memperoleh banyak informasi mengenai apa-apa saja yang perlu dilakukan untuk mencapai target yang diharapkan. Permasalahannya, yang sudah didapatkan barulah daftar tindakan yang dibutuhkan. Bagaimana masing-masing tindakan tersebut dijalankan, itu belum terjawab. Penyusunan peta jalan menjadi wahana bagi sebuah organisasi untuk menata agenda, seringkali berupa penjadwalan, kapan saja tindakan-tindakan tersebut dilaksanakan. Singkat cerita, alur pikirnya dapat disimak pada Gambar 2 di atas. Contoh kasus sederhana bisa ditinjau pada Gambar 3 berikut.

Gambar 4. Studi kasus yang mengajar berpikir nalar terkait mana yang perlu diprioritaskan

Gambar 4. Faktor-faktor yang memengaruhi proses penyusunan peta jalan

Sepintas menyusun jadwal merupakan hal yag mudah. Tinggal mengira-kira tiap tindakan 'enaknya' ditaruh kapan saja. Hmmm, sepintas memang tinggal diplotkan dengan mudah. Kenyataannya tidak lho. Banyak faktor yang jadi pertimbangan dalam menyusun peta jalan. Muli dari masa jabatan si pengelola organisasi, masa berlaku renstra SI/TI-nya, target tahunan dari sisi bisnis, keterkaitan antar-tindakan, sumber daya yang tersedia, manajemen risiko, serta proses pemantauan dan evaluasi. Masing-masing pun sebetulnya tidak punya rumus eksak utuk menentukan mana yang ebnar-benar harus dikerjakan lebih dulu. Memang, di manajemen risiko ada perhitungan dampak x probabilitas, tapi hasilnya pun perlu divalidasi dari sisi logika dalam menjalankannya. Di sinilah seni manajemen kental. Barangkali dengan diskusi dan pengalaman yang semakin banyak, insyaAllah akan lebih nyaman dalam menentukan cara penyusunan yang lebih tepat.

Gambar 5. Cuplikan hasil pembuatan peta jalan SI/TI oleh saya dan pak Yudho, sifatnya masih in proposing hehee

Panorama Sisi Kiri Kereta Api JKT-BDG

Sudah hampir setahun saya rutin menggunakan moda kereta api untuk bolak-balik Bandung-Jakarta. Kota pertama terkait keluarga dan amanat ngedosen, sedangkan kota kedua terkait proyek dan amanat ngasdos. Memang sudah jadi hal yang lumrah, saya kerap tertidur ketika kendaraan mulai berangkat, entah itu mobil, bus, kereta api, kapal laut, hingga pesawat, kecuali motor karena kalau ngantuk risikonya celaka.

Nah, yang membuat saya menikmati perjalanan adalah panorama alam yang terhampar di kaca jendela kereta api. Dibandingkan naik bus atau mobil yang lewat tol, panorama alam justru lebih dekat dan lebih 'akrab' bila kita naik kereta api. Dulu ketika saya selalu memakai bus yang lewat tol, say melihat rel kereta api yang meliuk-liuk lewati bukit itu mengerikan. Tapi, saat saya sebagai penumpang kereta, saya justru melihat jalan tol dari arah samping ternyata 'ngeri ngeri sedap' juga, apalagi dengan suguhan pilar-pilar penyangga saat jalan tersebut 'mengambang' menyusuri bukit.

This Season will be Ended

Musim alias semester ini sebentar lagi usai. Sudah 3 kelas memasuki akhir sesi tatap muka dari total 5 kelas. Memang untuk kelas PSSI masih ada tugas online, tapi sebagaimana label yang saya singgung sebelumnya, sesi tatap muka sudah usai. Banyak pelajaran yang saya nikmati s.d. akhir perkuliahan ini. Dua yang paling utama, yaitu manajemen kebijaksanaan dan manajemen waktu.

Manajemen kebijaksanaan terkait banyaknya hal-hal di luar perkiraan, bisa dibilang masalah. Kenapa masalah, karena realitas berbeda ekspektasi, ini definisi menurut pak Riri Satria. Mulai dari mahasiswa kena musibah, mahasiswa studinya krisis, hingga mahasiswa berulah malas. Semuanya menuntut penyelesaian yang cepat namun matang. Saya berupaya menyikapi setiap masalah dari kacamata yang luas, dalam artian saya melihat sebab, kronologis, hingga dampak atas segala kemungkinan yang terjadi dari masalah tersebut. Kalau bahasa asingnya, 'case by case' alias dilihat per kasus, tidak bisa dipukul rata. Walau demikian, saya harus dan insyaAllah tetap menjaga objektivitas dari setiap penanganan yang saya ambil dan mematuhi regulasi institusi yang berlaku.

Kedua, terkait manajeme waktu. Dari tiga mata kuliah yang saya ampu, banyak tugas yang bertebaran. Hal ini berdampak pada perlunya waktu 'khusus' untuk meninjau dan memberi skor atas tugas yang saya berikan. Tentu tidak mudah karena saya perlu mempertimbangkan sejauh mana mahasiswa bisa membuktikan kesungguhan dan pemahaman atas materi yang diberikan dan diujikan terkait tugas tersebut. Dan tak lupa pula saya perlu membandingkan kelayakan skor yang diberikan kepada sebuah kelompok/individu tertentu dengan kelompok/individu lainnya. Tujuannya agar objektivitas dan keadilan terjaga.

Harus diakui, sebagai kali kedua, semester ini saya mulai menemukan ritme dan trik dalam megelola waktu. Semoga ini bermanfaat untuk 'petualangan' di semester depan. Hmm, entah apakah memang semester depan saya masih diberi kesempata mengajar lagi atau tidak.

Treble: Tinggal Juventus dan Monaco

4 klub di Liga Champions Eropa/UCL serta 4 klub di Liga Eropa/EL, merekalah 8 klub yang masih berkesempatan mengadu nasib menjadi penguasa benua biru. Bukan perkara mudah karena mereka harus melalui perjuangan yang keras untuk menyingkirkan klub-klub lain yang mungkin lebih ambisius. Kota Madrid sudah memastikan diri tampil di final setelah dua klub asal kota ini, Atletico dan Real, bersua di semi-final. Derby yang keempat kali secara beruntun ini tentu menarik. Di sisi lain, AS Monaco dan Juventus bakal bentrok. Di atas kertas pemenang trofi UCL musim memiliki warna putih, hehee, ya iyalah kan Real Madrid putih total, Juventus putih-hitam, sedangkan Atletico dan Monaco merah-putih. Di ajang lainnya, Ajax Amsterdam yang nyaris gagal lolos bakal menjadi Lyon untuk menentukan siapa yang bakal menantang pemenang antara Manchester United vs Celta Vigo.

Menariknya dari 8 klub tersebut, hanya Juventus dan Monaco yang masih menaruh peluang mencaplok treble alias tiga trofi di penghujung musim. Juventus masih bertengger di klasmen Serie A tanpa halangan berarti dari Napoli, Roma, serta Lazio. Klub yang disebut terakhir pun menjadi lawan tunggal di ajang Copa Italia yang memasuki fase final. Monaco barangkali lebih terjal karena mereka masih dibayang-bayangi PSG di dua ajang, yaitu Ligue 1 serta Coupe de France. Ajang pertama menampatkan mereka tengah beradu poin yang sama, sedangkan di ajang kedua mereka berpapasan di babak semifinal.

sumber gambar ESPN
Monaco, salah satu calon peraih treble musim ini

Jika di masing-masing kompetisi domestik mereka lancar, artinya semifinal ini bakal menjadi ajang untuk mengeliminasi salah satu klub meraih treble. Tentunya bisa jadi yang lolos ke final pun mungkin saja digilas delegasi dari kota Madrid. Menariknya, AS Monaco di Ligue 1 tercatat sebagai klub paling tajam nomor 2 di Eropa setelah Barcelona, bahkan melebihi Bayern Muenchen di Bundesliga maupun Real Madrid di La Liga. Mereka bakal berjumpa klub dengan pertahanan yang ketat. Ya Juventus merupakan klub dengan pertahanan terbaik nomor 2 setelah Muenchen. Tapi jangan lupa bahwa Juventus adalah klub yang memaksa FC Barcelona 'mandul'. Ya, Barca tidak mencetak satu gol pun ke gawang Juventus. Padahal sebagai sempat disinggung sebelumnya, Barca merupakan satu-satunya klub yag hingga saat ini lebih tajam daripada Monaco di liga domestik masing-masing.

Review Boss Baby

Memang, minat saya nonton film ini timbul selaku korban iklan berupa cuplikan film lain sebetul meonton film Power Ranger. Sepintas film ini menawarkan kegokilan yang sangat menghibur, apalagi temanya adalah balita. Topik yang menarik karena saya dan istri sedang menikmati peran ayah dan ibu yang baru setahun. Bahkan istri saya pun langsung tertarik untuk menontonnya begitu saya paparkan eksistensi film ini. Setelah sempat menjadi wacana, akhirnya kami sukses nonton film ini kemarin, 19/4 di Bandung.

Tebakan saya tidak salah. Film ini sangat menjejali penontonnya dengan imajinasi yang penuh hiburan. Mulai dari proses kemunculan bayi yang menganut konsep manufaktur, konsep mata-mata, perang antar-anak-anak, hingga 'pretelan' lelucon ringan yang membuat kita terpingkal-pingkal. Singkat cerita, film ini berkisah tentang seorang bayi yang 'diutus' oleh sebuah korporasi untuk mencari informasi tentang sebuah proyek yang kabarnya berpotensi membuat orang tua tidak lagi cinta pada bayinya. Konflik, lebih tepatnya perang, antara si bayi dibantu koalisinya versus si kakak sulung menjadi fragmen yang sangat menarik. Lebih menarik karena setelah konflik 'koplak', keduanya malahan berkoalisi untuk sebuah misi rahasia yang sangat hiperbolik.

Jangan lupakan nilai moral tentang bagaimana orang tua seharusnya bersikap adil pada anak-anak mereka. Karena itulah, anak-anak yang meonton film ini sebaiknya ditemani orang tuanya agar tidak terjadi salah paham atas konflik tersebut, plus penjelasan tentang 'pabrik bayi' tersebut. Keseluruhan film ini layak ditonton, termasuk segeman usia 5 s.d. 13 tahun.

Walau cuma DLB

Dosen luar biasa, itu adalah yang sudah saya jalani hampir genap dua semester ini di sebuah institusi pendidikan terkemuka. Banyak pengalaman menarik yang saya petik di sini. Baik yang sifatnya pendidikan hingga tata kelola. Kalau ditanya mengapa saya memilih institusi pendidikan ini, tampaknya ikatan histori selaku alumnus menjadi alasan utama yang menyebabkan saya sedikit banyak mengenal ekosistem dan kultur di sini. Banyaknya rekanan dosen yang sudah saya kenal saat saya masih sebagai mahasiswa S1 menjadi teman ngobrol yang nyambung. Jika ditanya, kenapa cuma status 'luar biasa', hmmm ya alasannya lebih sederhana dan logis lagi, yaitu posisi yang tersedia saat ini memang hanya sebagai DLB. Itu pun setelah percobaan sekian bulan, hohoo.

Walau cuma DLB
Saya sadar bahwa mahasiswa tidak mau tahu status dosen yang mengajar di depan kelas itu apa, apakah dosen tetap, dosen tidak tetap, dosen apapun istilah, mereka tidak mau tahu. Yang mereka inginkan hanya satu, layanan yang optimal. Layanan optimal ini memang bisa didefinisikan berbeda oleh tiap mahasiswa. Tapi, secara umum mengacu pada kemampuan mentransfer pengetahuan terkait mata kuliah, memicu keativitas dan keaktifan, hingga transparansi dalam penilaian. Saya sangat menyadari tuntutan tersebut. Karena itulah, saya berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan kemampuan terbaik saya dalam proses perkuliahan ini. Memang masih jauh dari kesempurnaan, semoga Allah memberi saya kekuatan untuk terus memperbaiki diri.

Walau cuma DLB
Saya berupaya menyuguhkan kreativitas atau bahkan inovasi. Harapannya bukan mengincar citra yang keren, melainkan ingi mengajak mahasiswa yang berpikir kreatif. Toh, tidak apa yang saya kreativitaskan tidak memengaruhi 'hitung-hitungan administrasi', malah saya lebih leluasa tanpa beban. Semoga tujuan dari ajakan berkreativitas ini bisa konkret.

Walau cuma DLB
Saya sadar bahwa pekerjaan apapun, termasuk bagi seorang dosen yang apapun statusnya, tetap dikenakan kesempatan beribadah dari profesi yang dijalankannya. Tentu dengan beberapa syarat, misalnya diniatkan sebagai ibadah, ikhlas apapun hasilnya sebagai kehendak Allah, seoptimal mungkin dalam menjalankannya, hingga membawa kebaikan dan manfaat bagi orang lain. Tentu status DLB tidak menghalangi kesempatan 'mengais' pahala atas ibadah tersebut. Pun sebagai DLB saya tidak luput dari incaran dosa jika terperangkap dalam kemunafikan karena tidak memberi teladan, mengorupsi amanat, ataupun tidak bertindak adil. Karena itulah, saya perlu berhati-hati dalam menjalankan amanat tersebut.

Walau cuma DLB
Saya juga ikut bangga atas pencapaian institusi ini sekecil apapun itu. Memang saya juga sulit membedakan apakah kebanggaan itu murni selaku individu yang pernah menjadi mahasiswa di sini ataukah individu yang sedang bekerja di sini. Yaelah, saya tidak perlu pusing memikirkan bedanya dua sisi itu. Nikmati sajalah...

Karena cuma DLB
Hmm, saya masih belum sreg tentang belum dibukanya kesempatan yang luas untuk ikut serta kegiatan riset dan pengabdian masyarakat bagi DLB. Mungkin pertimbangan legalitas dalam proses administrasi yang masih dibatasi hanya untuk dosen dengan status tertentu. Tentu saya merasa kecewa, namun saya mencoba berpikir positif bahwa barangkali fokus DLB yang hanya sebagai penguat institusi di sektor akademik, bukan di dua aspek tri dharma perguruan tinggi lainnya.

Mengapa Barcelona dan Lazio

FC Barcelona dan SS Lazio merupakan dua klub favorit saya di benua Eropa. Bisa dibilang kedunya menjadi 'gacoan' saya jauh sebelum saya mendukung PSM Makassar dan Sriwijaya FC selaku klub lokal. Tingkat favoritnya pun melebihi rasa simpatik saya pada Ajax Amsterdam dan Manchester United karena kedigdayaan akademik sepakbola mereka atau bahkan Feyenoord karena merah-putihnya. Barca dan Lazio sudah saya idolai sejak 1998, mungkin terlalu dini untuk anak usia 7 tahun kala itu.

Awalnya, mungkin terdengar konyol, saya menyukai Lazio karena kostum mereka wara biru muda yang cerah tapi adem, warna yang enak dilihat. Saya suka lihat ketenangan Alessandro Nesta selaku bek serta agresifnya Pavel Nedved selaku gelandang. Ya, Serie A saat itu menjadi kompetisi paling bergengsi dan ditayangkan di Indonesia secara gratis. Saya kemudian mengenal ada beberapa kompetisi selain Serie A, salah satunya adalah La Liga. Di kompetisi ini, saya suka dengan perpaduan warna biru dan merah yang dikenakan oleh Barcelona. Kala itu mereka dibela oleh Gerand Lopez, Rivaldo, hingga Pep Guardiola. Singkat cerita di musim 1998-1999, ternyata kedua bercokol di papan atas kompetisi masing-masing. Lazio nyaris menggapai scudetto tapi dicaplok AC Milan, sedangkan Barcelona sukses meraih juara La Liga. Tentu kedua info tersebut saya ketahui dari koran karena belum ada internet, pun tayangan siaran langsung terbatas. Dari koran dan ulasan ringkas di televisi pula akhirnya syaa tahu bahwa Lazio berhasil meraih juara Piala Winners dan Piala Super Eropa. Di musim berikutnya alias 1999-2000 Barca gagal mempertahankan juara La Liga, tapi Lazio secara dramatis mengudeta Juventus untuk menggapai scudetto. Jelas saya menyesal gagal melihat laga pamungkas dan selebrasi tersebut secara langsung. Bahkan di musim legendaris itu pun mereka sukses merengkuh juara Copa Italia sekaligus dengan Piala Super Italia. Prestasi yang sangat jarang untuk klub sekelas Lazio hari ini.

Sebagaimaa roda berputar, nasib kedua klub pun sangat dinamis. Lazio pernah beberapa kali terancam degradasi, pernah berkali-kali dibajak pemainnya, pernah terjerat skandal, bakan di beberapa musim tampil tanpa sponsor di kostumnya, tapi pernah pula Lazio lolos mengejutkan ke kompetisi Eropa, bahkan mampu merengkuh trofi Copa Italia. Kesedihan paling ngenes tentu saat harus melego Nesta dan Nedved, duo pemain favorit saya di Lazio.

Barcelona sejak era 2005-an mulai mendominasi pemberitaan dunia karena popularitas Liga Spanyol yang terus menanjak sementara Liga Italia meredup. Maka wajar jika sejak era itu pula saya lebih sering menonton Barca di televisi daripada Lazio. Kesempatan saya menyaksikan Barcelona merajai 4 kali kompetisi Liga Champions pun alhamdulillah tidak terlewatkan. Momen 'gila' macam laga getir melawan Chelsea di UCL 2008-2009, kemenangan gokil 6-1 atas PSG di UCL 2017, ataupun genoside atas Real Madrid 6-2 di La Liga 2009 dan 5-0 di La Liga 2010-2011. Tapi kejadian pahit pun kerap melanda, mulai dari kekalahan pilu oleh Real Madrid di Copa del Rey dan La Liga, digilas Chelsea di UCL 2011-2012, digebuk Juventus di UCL 2016-2017, diamuk PSG di UCL 2016-2017, dikangkangi Atletico di sebuah 45 menit yang berakhir dengan kegagalan juara La Liga 2013-2014 maupun berbagai insiden naas lainnya. Saya menganggapnya sebagai lika-liku kehidupan.

Karena itulah saya tidak terlalu peduli dengan komentar orang yang menganggap fans Barca itu suka Barca gara-gara Messi ataupun treble winner tahun 2009. Malahan saya tidak terlalu suka Messi, pemain favorit saya di Barca adalah Sergio Busquet dan Andres Iniesta, masih ada dua, yaitu Xavi dan Pedro Rodrigues tapi keduanya sudah hengkang.


Jadi bila ditanya apakah saya berminat untuk tidak lagi nge-fans ke dua klub ini. Hingga saat saya belum menemukan jawabannya, toh saat mereka terpuruk pun, saya tetap mendukung mereka.

Review of SPIS 13th Session Yeayy Presentasi Daring

Alhamdulillah secara umum sesi presentasi PSSI secara daring sekian belas kelompok akhirnya tunta, kecuali satu kelompok hehee. Sesi ini memanfaatkan platform digital Line, cadanganya G.Hangout, untuk menghubungkan tiap kelompok dg saya yang secara lokasi terpisah. Tentu tidak sekedar beda ruangan, bahkan di beberapa slot saya sedang di Depok.

Kalau ditanya apakah lebih repot, ya karena ini rintisan jelas masih banyak kerepotannya. Mulai dari sinyal hingga pencahayaan. Namun masih wajar lah menurut saya. Namun, tentu lebih baik memulai dengan banyak kendala daripada adem ayem memendam angan.



Model presentasi ini tidak sekedar mengejar kepraktisan, tapi sebuah inisiasi untuk mendukung digitalisasi pendidikan. Harapannya, kampus berbasis TIK ini bisa mengolaborasikan sesi kuliah luring serta daring, mulai dari penugasan hingga presentasi tugas. Lebih jauh lagi, bisa menginspirasi bagaimana teknologi digital bisa digunakan untuk mendukung aktivitas yang positif.

Terima kasih seluruh peserta kuliah yang berpartisipasi, baik yang muncul wajahnya jelas maupun yang bureng macam dirahasiakan identitasnya. Sukses selalu.
Terima kasih juga Pak Harry B. Santoso atas inspirasinya tempo waktu tentang Blended Learning hehee.
Okay lanjut fokus ke laga BarcaVSJuve

Celebrate the day


Hyperactive Kreatifa


Selayang Hamparan Masjid Al Irsyad


Sebetulnya saya berniat ke tempat ini sejak tahun 2014. Artinya kurang lebih 3 tahun baru kesampaian. Ya, mendinglah daripada klub bola yang udah puasa gelar ampe belasan tahun hehee. Alasan utamanya sederhana, arsitekturnya menawan. Dan alhamdulillah kami sekeluarga berkesempatan ke Masjid Al Irsyad ini walau tidak begitu lama.

Kesan sejuk sangat kental. Tentu faktor geografis bahwa masjid ini dibangun di dataran tinggi menyebabkan suhunya sangat teduh. Kebetulan saat kami ke sini, ada kajian yang sedang dihelat. Wah makin teduh nian.

Ohya, ngomong-ngomong soal arsitektur, masjid ini memang memiliki daya tarik dari kejauhan berupa kalimat syahadat yang dibentuk lewat batu batanya pada dindingnya. Sangat mencolok dan khas. Selain itu, ujung mimbar yang menjadi arah para jamaah menghadap pun tidak berupa dinding, melainkan terbuka menyuguhka panorama alam hijau yang sejuk disertai sebongkah batu bulat bertuliskan Allah. Sebuah kombinasi khas yang membuat kita merasa lapang hati.

Semangat Berkolaborasi [1]

Sebetulnya terminologi 'kolaborasi' sudah lama saya dengar, entah sejak usia berapa. Hanya saja, tatkala terminologi disinggung dalam sebuah sesi di MTI UI, saya mulai tersadar bahwa kolaborasi tidak mudah realitasnya. Baik di dunia bisnis maupun dalam ranah riset akademik. Kali ini saya ingin membahas terkait ranah riset akademik.

Dunia riset akademik, dalam konteks lingkungan negara Indonesia, memang masih perlu pembenahan. Sisi produktivitas, sisi substansi, hingga sisi administrasi, semuanya perlu ditata ulang. Ketiga perlu ditata ulang terkait kemampuan antar-periset dan antar-institusi bisa meningkatkan kerja sama atau kolaborasi. Harus diakui bahwa, secara umum, bukan kasus per kasus, kolaborasi antar-periset dan antar-institusi kita jauh dari kata memuaskan. Padahal, produktivitas tentu akan meningkat jika kolaborasi juga semakin intensif. Jangan tanya substansi karena secara logika pun seorag periset bidang komputer bakal lebih garang menulis implementasi ilmu komputer di bidang pertanian hingga pendidikan jika berkolaborasi dengan periset yang ebrasal dari domain tersebut. Sisi administrasi, barangkali ini yang menghambat proses kolaborasi karena kenyataannya banyak alur birokrasi yang belum 'melicinkan' kolaborasi, khususnya jika melibatkan institusi yang berbeda. Entah apa sebab detailnya.

Kolaborasi antar-periset di dalam sebuah institusi sepintas relatif mudah karena mereka berada pada satu payung yang sama. Namun kenyataannya tidak semulus itu. Masing-masing periset terkendala iklim kolaborasi yang kurang gencar. Bahkan beberapa periset yang menjadi dosen di lingkungan pendidikan malah 'disetir' produksi risetnya oleh mahasiswanya sendiri lantaran alur riset tidak berorientasi pada rencana induk program studi, melainkan inisiasi si mahasiswa. Orientasi demikian dalam jangka panjang menyebabkan penyusunan portofolio riset program riset kurang terarah. Selain itu, peran dan daya tawar si dosen relatif minor. Dalam hal ini, sudah kentara kesempatan si dosen untuk membuka kolaborasi menyusut. Harus diakui, peran seorang dekan dan kaprodi/kepala program studi sangat vital untuk membudidayakan semangat berkolaborasi di lingkungan sebuah fakultas. Jika sampai semangat kolaborasinya gersang, maka yang ada hanyalah orientasi dan ambisi pribadi. Tentu ancaman yang menyebabkan kesenjangan produktivitas di sebuah perguruan tinggi.

Masih dalam konteks perguruan tinggi, kali ini tentang gersangnya semangat berkolaborasi antar-fakultas maupun rumpun disiplin ilmu. Yang demikian banyak melanda perguruan tinggi yang sudah berbentuk institusi, apalagi yang unviersitas. Masing-masing fakultas ataupun rupun disiplin ilmu berjalan seasyiknya sendiri tanpa peduli apakah kompetensi mereka sebetulnya sudah berkembang atau tidak. Sebagai contoh, yang berakar ilmu kesehatan membicarakan teknologi digital untuk alat medis tapi hanya bisa mengoceh sebatas konsep. Pun dengan pakar komputer yang berkelakar kenapa banyak rumas sakit alat medisnya masih kurang update. Kenapa mereka tidak berkolaborasi saja. Tentu hasilnya, meminjam istilah seorang komentator bola, jegerrr. Dalam konteks ini, peran rektor dan dekan untuk membicarakan arah riset antar-disiplin ilmu mejadi kebutuhan yang fundamental.

Yang lebih sulit memang kolaborasi antar-institusi. Banyak penyebab kenapa yang seperti ini masih marak di Indonesia. Masing-masig punya idealisme yang berbeda-beda dipadu ketakutan untuk menghadapi birokrasi yang rumit. Persoalan seperti siapa yang lebih banyak mendanai, siapa yang nantinya lebih diakui sebagai pelopor, bahkan siapa yang logonya dipasang, malah jadi isu yang lebih mengemuka. Memang, isu-isu yang bersifat administrasi ini perlu dipastikan akan tidak salah paham. Namun, mengapa regulasinya yang 'harusnya' bisa menyediakan berbagai paket kerja sama dengan konsekuesi yang logis.

Hmmm, semoga ada perbaikan budaya segera.

Sekelumit Taman Veteran

Ide Model Bisnis Canvas untuk Bisnis Digital B2C

Alhamdulillah ini adalah semester ketiga terlibat dalam perkuliahan e-Business/e-Commerce sebagai asisten dosen. Banyak pelajaran berharga yang saya peroleh, baik dari sisi keilmuan maupun dari sisi teknis akademik. Harus diakui sudut pandang selaku asisten dosen ini banyak membantu saya dalam memperkirakan tantangan-tantangan yang muncul sewaktu menjadi dosen di Universitas Telkom.

Nah ngomong-ngomong, saya sudah hampir sepekan ini meninjau hasil penugasan tahap pertama kawan-kawan peserta mata kuliah ini. Secara umum mereka mampu menghasilkan produk yang kece secara substansi. Bahkan ada dua kelompok yang secara pribadi saya suka desain dan penyajiannya. Selaku akademisi saya dituntut berpikir visioner yang bukan sekedar melakukan sesuatu lalu beres tanpa ada pembelajaran. Kali ini ingin bercerita tentang gagasan untuk membuat model bisnis Canvas yang spesial khusus untuk bisnis digital B2C.

Kenapa memangnya dengan Canvas
Canvas merupakan salah satu teknik pemodelan bisnis yang kreatif dimana dengan sebuah layar lebar, kita dapat memaparkan bisnis kita dalam beberapa poin sederhana. Singkat ceritanya, kesederhana penyajian menjadi keunggulan sehingga seseorang tidak perlu bertele-tele membuat narasi untuk menceritakan ide bisnisnya. Canvas karya Osterwalder ini secara umum pernah saya ulas di sini pasca-mengikuti program dari Bandung Techno Park. Berdasarkan pengalaman empiris dari kawan-kawan yang mengimplementasikan Canvas adalah kebingungan ketika bisnis tersebut sifatnya B2C. Apakah kolom Customer Segment hanya diisi C dari B2C? Apakah si B diletakkan di Key Partner ataukah di Customer Segment juga? Jika opsi kedua yang diambil, maka di kolom Customer Segment perlu dibagi menjadi dua, yaitu profil si B serta profil si C.

Selain itu, kerap terjadi kekuranglengkapan informasi terkait lingkungan digital dengan lingkungan nyata pada beberapa kolom, paling sering terjadi Customer Relationship serta Channel. Ada kebingungan melihat si aplikasi sebagai produk utama, bukan kanal, namun ada juga yang berpendapat bahwa aplikasi hanya salah satu kanal untuk menjalankan bisnis karena yang dihidupi adalah bisnisnya, bukan aplikasinya. Barangkali inilah menariknya sudut pandang dalam melihat bisnis digital.

Karena itulah, saya tertarik membuat penelitian berupa perumusan model bisnis Canvas khusus untuk bisnis digital B2C. Semoga bisa terealisasi dan bermanfaat.

Geliat yang tak Dirasa

Boleh jadi kau riang di muka tanpa masam
Sedangkan keruh merengkuh igamu sepenuhnya
Merupakan strategi dalam menata hati kau bilang
Namun langkanya solusi suburkan geliat yang tak dirasa

Boleh jadi kau gelorakan syair meriah
Sedangkan ada di benakmu ganjalan hati
Tentang esok yang membelenggu nyala asamu
Tentang gundahmu seorang mengiba belas Illahi saja
Tanpa hiraukan apa kata mereka

Yang ada di hamparan sosialita tak pernah persis
Tanpa ada kesamaan dengan di balik layar
Yang ada di dalam percakapan penuh gelak
Selalu tersembunyi geliat yang tak dirasa

Tentang esok saat dimana nafas tinggal di ubun kepala
Sedangkan topik tentang usia tak lagi butuh jawaban
Karena hayat t'lah tinggal digenapkan sampul akhirnya
Lantunan dedaunan gugur taburi makna yang baru dirasa

Review of SPIS 12th Session

Lama nian tidak nge-blog, hehee...dan baru ingat dari ulasan tentang kuliah PSSI yang belum dipaparkan di blog ini sebagaimana biasanya. Kali ini tentang pertemuan ke-12 yang membahas analisis kesenjangan atau gap analysis, dengan spesifikasi pada aspek unit SI/TI, aplikasi SI serta infrastruktur TI. Ini merupakan kelanjutan pertemuan/sesi 11 lalu. Oh ya, saya juga menghitung UTS dan UAS sebagai pertemuan/sesi, sehingga keberadaan sesi 12 ini bersamaanya dengan sesi ke-11 kelas/mata kuliah lain.


Unit SI/TI memang nasibnya variatif. Ada yang beruntung karena cukup 'terpandang' di struktur organisasi, tapi tidak sedikit pula yang keberadaanya mirip lagu Utopia 'Antara Ada dan Tiada'.  Alhasil, penanganan isu unit SI/TI di dalam proses PSSI pun tidak bisa dipukul rata. Walau demikian, secara umum, ada alur pikir yang bisa digunakan untuk menjalankan analisis kesenjangan pada aspek unit SI/TI ini. Paling awal adalah mengidentifikasi ada aktivitas/proses bisnis terkait SI/TI apa saja, misalnya membuat aplikasi, menjalankan aplikasi, membeli/mengadakan infrastruktur TI, merawat infrastruktur TI, dll. Selanjutnya evaluasi apakah seharusnya proses bisnis tersebut ditangani oleh unit SI/TI atau ada yang bisa diserahkan ke pihak lain, misalya vendor. Kemudian kumpulkan proses bisnis SI/TI yang ditangani oleh unit SI/TI, klasifikasikan sebagai peran-peran divisi di dalam unit SI/TI. Contoh yang paling sering digunakan adalah ada divisi perencanaan, divisi pengembangan, divisi operasional, serta divisi evaluasi. Jangan lupa untuk mengevaluasi kompetensi yang dimiliki oleh individu-individu di dalam unit SI/TI.


Yang ini relatif lebih ribet, yaitu analisis kesenjangan aplikasi SI. Isu yang paling santer tentu integrasi aplikasi dan data. Yups, banyak organisasi yang terlalu punya banyak sistem informasi. Apakah salah, menurut saya tidak. Yang menjadi permasalahan adalah jika aplikasi yang banyak tersebut mengalami tumpang tindih fungsi serta tidak terkelola basis datanya secara efisien. Sebagai contoh, ada organisasi yang untuk urusan gaji ada aplikasinya tapi tidak terkoneksi sama sekali dengan aplikasi sumber daya manusia. Padahal gaji seharusnya terkait performa seorang individu di dalam organisasi tersebut.  Teknik yang lazim dipakai untuk menjalankan analisis kesenjangan ini adalah dengan arsitektur sistem informasi. Diawali arsitektur bisnis berupa rantai nilai/value chain, tiap aktivitas kemudian diisi dengan aplikasi SI apa saja yang ada. Dari sini kita bisa mengidentifikasi ada tidaknya aplikasi yang fungsinya mirip, termasuk tingkat kemiripannya. Selain itu, bisa pula mengidentifikasi aliran basis data yang digunakan. Sebagai contoh, saya paparkan arsitektur sistem informasi dari Universitas Indonesia yang terdapat di website DSTI-nya.


Urusan infrastruktur sebetulnya tidak terlalu berbeda jauh dengan aplikasi SI. Kerap sebuah organisasi harus memelihara banyak infrastruktur TI lantaran kruang mengenali kebutuhannya. Langkah paling sederhana adalah menginventarisasi infrastruktur TI yang dimiliki, lalu evaluasi penggunaannya berdasarkan aplikasi SI yang ada. Kebanyakan isu sentralisasi infrastruktur jadi solusi sederhana. Walau demikian, dalam kasus tertentu tidak juga. Kalau d bidang TI, solusi yang diusulkan tetap harus diuji kesesuaiannya dengan permasalahan yang spesifik.



Penggusuran, Dendam si Tergusur dan Persepsi Anak Kecil

Artikel ini tidak bermaksud tendensius atas kebijakan pemerintahan tertentu, tidak terkait pula dengan kepentingan politik [toh saya tidak terikat afiliasi politik], tidak pula memandang secara jeli dari aspek hukum.

Penggusuran merupakan hal yang jamak terjadi di kawasan perkotaan. Sangat jarang terjadi, atau malah saya belum pernah lihat, penggusuran di kawasan pedesaan. Banyak faktor mejadi alasan penggusuran. Paling jamak adalah hunian tersebut sebetulnya ilegal karena berdiri di atas tanah milik negara. Dalam hal ini, secara hukum sudah jelas hitam putih mana yang benar. Tapi saya kerap berpikir bahwa persoalan tentang penggusuran, iya penggusuran, bukan penggeseran. Renungan yang sejak mahasiswa kerap saya timbun dalam benak dan ternyata semakin ke sini saya sulit menemukan solusi yang tepat karena kacamata dunia nyata lebih rumit daripada sewaktu kuliah.

Pertama mengenai solusi bagi yang tergusur
Sudah banyak sebetulnya pemerintahan, baik pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota, yang menyodorkan solusi. Ada yang sukses, ada pula yang gagal. Kebanyakan kegagalan yang terjadi lantaran hilangnya mata pencaharian mereka yang tergusur. Sebagai contoh mereka yang berprofesi nelayan ketika 'direlokasi' malah jauh dari laut. Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk menyesuaikan penghidupan baru. Saya sendiri merasakan bagaimana berganti profesi memerlukan kesiapan finansial dan mental yang kuat, termasuk pula mengondisikan keluarga. Permasalahannya mereka yang tergusur tidak hanya memikirkan bagaimana pekerjaan lamanya harus tetap dijalankan ataupun pekerjaan baru yang kini digelutinya. Mereka belum tentu punya tabungan, mereka juga harus menanggung pikiran tentang pendidikan anak mereka. Singkat cerita, belum ada solusi yang 'cerdas' dan visioner bagi mereka yang tergusur. Kalau dibilang itu risiko sebagai pihak tergusur, perlu diingat bahwa ini bukan negara liberal yang nasib individu tidak diurusi negara, bukan pula negara komunis yang tidak perlu berpikir pusing saat mengakuisisi kembali tanah negara.

Kedua mengenai dendam si tergusur
Banyak dari mereka yang tergusur akhirnya memendam rasa kecewa marah dan sejenis yang diracik menjadi dendam. Ya, dendam atas pemerintahan yang dianggapnya menelantarkan segmen tertentu. Tidak heran jika mereka dalam ibadahnya pun tidak sudi mendoakan yang baik-baik bagi para pemimpinnya. Tidak heran pula mereka menjadi komoditas untuk di-PDKT-i setiap calon kepala daerah.

Ketiga mengenai persepsi anak kecil
Anak-anak kecil, mereka tidak tahu menahu soal legalitas tanah dan bangunan. Mereka tidak paham bagaimana orang tuanya mengatur neraca bulanan. Tapi mereka bisa membaca dengan cermat betapa gundah gulana orang tuanya yang harus memikirkan masa depan anak-anaknya. Beberapa dari mereka pun ikhlas menanggalkan seragam sekolahnya untuk mengurangi beban finansial orang tuanya. Secara teoretis mereka kehilangan kesempatan memperbaiki nasib kehidupan dari jalur formal. Apakah pilihan mereka salah, sulit untuk berkata iya ataupun tidak. Mereka terlalu sayang pada orang tuanya yang sudah kacau balau pikirannya lantaran tidak tahu harus kemana tinggal.

Tingkat 6, lalu...

Sudah hampir 7 bula menjadi partisipan di sebuah web portal pariwisata, yaitu Tripadvisor. Proses partisipasi saya memag unik lantaran berawal dari kebutuhan informasi wisata di Makasar dan Pontianak di sebuah proyek pada Oktober tahun lalu dimana durasi waktu yang ada sangat sempit. Ternyata bayak informasi berharga yang saya peroleh terkait objek wisata menarik yang ternyata orang yang pernah ke sini pun belum tentu tahu. Barangkali orientasi kuliner sebagai list to do memang jadi ahan yang mainstream. Alhamdulillah keberadaan Tripadvisor sangat membantu, termasuk saat harus 'hilang' di Pattaya, kota yang entah saya buta terhadap situasi di dalamnya, bahkan ke sana pun entah bagaimana ceritanya.

Kini, saya sudah mencapai tingkat/level 6 atas kontribusi saya di berbagai terbitan, khususnya ulasan tentang objek wisata. Untuk menggapai level 6 ini, saya perlu menyetor 10000 poin. Tiap saya menulis ulasan sebuah tempat wisata maka akan diganjar 100 poin, termasuk juga hotel dan maskapai. Tiap saya menyumbang sebuah foto wisata akan diberi poin 30. Barangkali pengalaman akhir tahun lalu ketika harus nge-proyek di beberapa kota menjadi faktor yang sangat memengaruhi saya bisa mencapai level 6 ini secara cepat. Tak lupa jalan-jalan ke Bandung sebagai andil tersendiri.



Kalau ditanya apa manfaat yang saya peroleh, hmmm, susah juga dijawabnya. Terus terang target saya sekedar berbagi cerita, tidak ada motif keuntungan finansial apapun. Bahkan hingga saat ini pun saya tidak mendapat satu rupiah pun atas semua tulisan yang pernah saya buat. Selain menulis, sebetulnya saya berharap pengelola objek wisata bisa 'mendengar' masukan yang saya sampaikan di tulisan-tulisan saya pada Tripadvisor. Namun, harapan saya yang satu ini tidak bisa muluk-muluk karena pengaruh tulisan di media digital terhadap perbaikan objek wisatanya betul terbukti, tentunya kecuali ada tulisan yang bombastis di media sosial.

Oh ya, ada juga kebanggaan tersendiri ketika apa yang saya tuliskan ternyata masih jarang diulas, bahkan belum pernah ada. Misalnya ulasan tentang Teras Cihampelas yang menjadi inisiator. Walau proses terbitnya lama, saya rasa itu masih wajar. Toh, verifikasi/pemeriksaan validitas objek wisata yang belum ada di basis data si Tripadvisor memang perlu waktu.

Sekarang, saya mulai penasaran dengan media menulis lainnya
Oke...coba jelajahi Wikipedia yukk

e-Business Guest Lecture, Mr. Ery Punta

Kali ini sosok dari inkubator start up menjadi bintang tamu di sesi perkuliahan e-Business/e-Commerce MTI UI. Beliau adalah Ery Punta, figur sentral di Indigo yang banyak membidani akselerasi banyak start up di Indonesia. Kebetulan pula beliau alumni STT Telkom, ya bisa dikalkulasilah sudah berapa 'maestro beliau' di bidang telekomunikasi.

Banyak pelajaran berharga yang beliau paparkan. Mulai dari tantangan bisnis digital yang sangat 'komplikasi' di Indonesia, hingga dinamisnya ekosistem di start up. Pertanyaan yang timbul di benak saya, apakah bisa institusi pendidikan menjadi inkubator bisnis bagi mahasiswa. Tentu dalam makna yang sesuai regulasi dan juga mendidik.

Sekilas Pandang Masa Kini dan Histori Masjid Istiqlal

Barangkali, saya bisa dibilang beruntung mampir ke Masjid Istiqlal ketika sedang ada galeri kecil-kecilan. Ya, ini adalah gelaran sederhana berupa potret-potret Masjid Istiqlal dari proses perencanaan hingga dibangun, bahkan sampai pada beberapa kunjungan bersejarah. Memang, ketersediaan potretnya tidak terlalu banyak untuk disebut pagelaran, minimal mengacu layaknya potret-potret yang dijajakan di museum pada umumnya. Namun, banyak foto-foto tersebut yang jarang terekspos, misalnya pemugaran patung milik Belanda yang sebelumnya mendiami kawasan ini, proses peresmian, hingga pengumuman siapa arsitek yang memenangi kontes desain Masjid Istiqlal.

Masjid ini memang unik karena arsiteknya non-muslim. Tapi, ini juga menjadi simbol bahwa selama tidak bertentangan dengan ritual syariah, maka kreativitas dan saling membahu merupakan hal yang penting. Agaknya mereka yang melecehkan agama perlu menyimak kembali histori masjid ini.

Evaluasi Dosen [tahap 1]

Evaluasi merupakan hal yang sangat vital dalam proses peningkatan kualitas. Memang, akan selalu ada upaya membela diri atas sorotan negatif yang disematkan pada kita, namun itu adalah harga 'mahal' yang sudah wajar jika kita ingin menyuguhkan yang terbaik. Sekali lagi, kritik dalam jangka pendek merupakan potret kegagalan [yang lebih dominan daripada keberhasilan], tapi ini adalah modal besar agar kita tahu apa yang perlu kita benahi.

Begitu juga peran seorang dosen yang 'wajib' rela untuk dinilai oleh mahasiswanya. Ini bukan semata mahasiswa sudah membayar SPP, sedangkan gaji/honor dosen bersumber dari SPP mahasiswa. Ini tentang timbal balik antara pendidik dengan yang dididik, tentang keseimbangan antara pengirim pesan dengan penerima pesan, tentang sosok yang ingin didikannya lebih baik dengan sosok yang sedang dididik dan tentunya ingin lebih baik dari pendidiknya. Evaluasi dosen merupakan hal aktivitas yang jamak terjadi, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Saat S1 di kampus swasta, pun saat S2 kampu negeri, saya selaku mahasiswa memberikan masukan, saran, hingga skor persepsi kepuasan. Pengisian tentunya tidak berniat menjatuhkan, tapi membisikkan apa yang jadi potensi untuk diperbaiki.

Itu pula yang saya terapkan selaku dosen di 5 kelas semester ini. Dengan ekosistem masing-masing yang beragam, dua kelas mahasiswa tahun pertama serta tiga kelas mahasiswa semester 6-10, plus saya masih belajar menjadi pendidik di lingkungan S1. Tentu saya prlu banyak belajar dan mengevaluasi. Kebetulan secara regulasi hanya ada satu kali pengukuran kepuasan mahasiswa dan pemberian saran oleh mereka kepada dosen, yaitu di akhir semester. Secara frekeuensi, tentu hal tersebut memiliki kelemahan, yaitu baru 'curhat'-nya mahasiswa atas keluhan, inspirasi, hingga keinginan yang belum terwujud justru barulah terungkap di akhir semester. Pertanyaannya adakah kesempatan si dosen memperbaiki diri pasca-dirinya mengetahui curhat-curhat tadi di akhir semester/ Tentu dirinya baru bisa memperbaiki di semester berikutnya, itu pun peserta didiknya sudah berbeda. Karena itulah, saya lebih sreg untuk melakukan survei kepuasan serta penerimaan kritik/saran pasca-UTS. Penyebabnya adalah dapat diketahuinya 'curhat-curhat' sebelum terlambat.

Review of SPIS 11th Session

Mendekati laga-laga penghujung musim ini, sesi kesebelas mengulas tentang proses analisis kesenjangan dan penyusunan peta jalan. Khusus sesi ini yang dibahas tidak secara menyeluruh, yaitu dari aspek tren bisnis dan SI/TI masa mendatang serta aspek tata kelola TI. InsyaAllah di pertemuan berikutnya mulai cadas menjelajahi aspek aplikasi SI, infrastruktur TI, serta sumber daya TI.


Nah, di bagian awal sesi lebih banyak dilakukan 'pemanasan' mengenai dinamisnya bisnis di dalam era sehari-hari. Mulai dari roda nasib transportasi yang ini digusur yang itu sekarang tergerus yang lain. Pada akhirnya kita sulit menyangkal bahwa SI/TI kini menjadi pemicu perkembangan bisnis yang semakin berevolusi. Karena itulah jargon e-business ataupun digital business bukan lagi kosakata yang tabu.



Bagian pertengah sesi ini banyak mengupas tentang bagaimana membangun tata kelola yang baik di sebuah organisasi. Tidak ada formula yang eksakta karena ekosistem organisasi tentu sangat beragam. Secara umum, kuncinya terletak pada pemahaman apa yang jadi kebutuhan. Secara tren, memang banyak organisasi membentuk IT steering committee alias komite pengarah TI. Tapi jika organisasi belum mengalami permasalahan pelik, terutama karena ukuran organisasi masih kecil maka kecil kemungkinan IT steering committee efisien. Tak lupa perlu dikaji ada apa saja regulasi yang sudah tersedia di organisasi tersebut, serta seberapa tingkat kepatuhan atau terlaksananya. Ini yang menjadi modal untuk menentukan regulasi apa saja yang diperlukan, baik regulasi yang sama sekali baru ataupun revisi atas yang sudah ada.


Review of SPIS 10th Session


Secara harfiah, mata kuliah ini adalah Perencanaan Strategis Sistem Informasi alias PSSI, bukan Audit SI/TI alias AUSI. Namun kedua makhluk tersebut merupakan saudara yang sangat susah dipisahkan. Idealnya, seorang mahasiswa yang mengikuti kuliah PSSI juga mengikuti kuliah AUSI. Tapi semester ini, tidak AUSI, bahkan PSSI pun bisa dibilang kemunculannya tidak direncanakan dari awal. Karena tidak ada kuliah AUSI, maka saya mencuplik secuil materi AUSI sebagai salah satu bahan ajar di PSSI. Emang apa hubungannya/ AUSI merupakan proses evaluasi yang dilakukan dengan mengacu pedoman ekspektasi, yaitu rencana strategis SI/TI sebagai produk dari PSSI. Di sisi lain, PSSI sendiri berangkat dari apa yang menjadi permasalahan dan kebutuhan si organisasi dimana kerap diaktualisasikan melalui proses AUSI.




Sebagaimana biasanya, berbagai analogi dan juga contoh sederhana harus disodorkan untuk menjelaskan teori-teori audit SI/TI yang kebetulan agak asing di lingkungan mahasiswa informatika. Beruntung, mahasiswa di kelas ini sudah semester 6 ke atas sehingga relatif mudah memahami analogi dan contoh yang dikemukakan selama perkuliahan. Hanya saja, ekspektasi tidak boleh berlebihan saat membahas COBIT. etdaah ngapain juga COBIT ini dikenalkan ke mahasiswa informatika jenjang S1, tenang Bapak-Ibu, ini sifatnya hanya sebagai perkenalan. Terlalu yoi kalau sampai mereka diminta menyimulasikan penggunaan COBIT di studi kasus nyata padahal bukan mata kuliah AUSI.




Sesi ini membahas COBIT dari dua sisi. Sisi pertama adalah kegunaan COBIT sebagai kumpulan 'resep-resep jitu' dalam membangun ekosistem SI/TI. Sisi kedua adalah COBIT sebagai kerangka kerja audit SI/TI. Sisi kedua ini jelas sangat njelimet karena banyak terminologi yang agak-agak mirip, misalnya capability attribute, capability level, dll.

Power Ranger; Bad in Design, but Amazing in Conflict Flow

Komoditas superhero yang beken sekian hampir tiga dekade membuat film ini banyak dinantikan. Tidak terkecuali oleh saya yang kebetulan perlu menunda ketemuan dengan seorang kawan sehingga ngegentayang di Kalibata, ya sekalian deh nonton. Sebagaimana saya duga di awal, film ini dituangkan dalam versi manusia dan genre laga, artinya jangan harap adegan berantem yang terlalu 'manja' atau bahkan bisa jadi ada percakapan yang kurang layak untuk anak-anak.

Dan memang benar, ada sebuah percakapan yang kurang cocok bagi anak usia di bawah 18 tahun, yaitu tentang identitas LGBT. Negara Rusia malah langsung menolak beredarnya film ini karena faktor tersebut. Bagi saya, hal ini terlalu aneh untuk disebut kebetulan mengignat di cerita asli, baik Mighty Morphin Power Ranger maupun Super Sentai tidak ada sama sekali superhero yang LGBT. Apakah ini strategi untuk mengampanyekan perilaku menyimpang tersebut, sulit disanggah. Kalau untuk urusan kedebak-kedebuk, harus diakui porsinya relatif seimbang dibandingkan macam Avenger ataupun X-men. Seimbang di sini bukan berarti aman sepenuhnya lho ya. Anak-anak harus memperoleh penjelasan dan pendidikan dari orang tua mengenai kelayakan untuk menirunya di dunia nyata.

Yang paling menonjol alias keunggulan film ini adalah suguhan konflik yang sedari awal sudah digebrak dengan sangat rumit. Tingkah ababil dan tempramen Jason menggiringnya ke sebuah kelas yang dihuni banyak anak bermasalah. Tapi bagi Jason, ini adalah berkah terselubung yang mengenalkannya dengan Billy dan Kimberly yang punya karakter berbeda. Pada akhirnya mereka terseret berjumpa Zack dan Trini yang menjadikan mereka paduan yang terlalu banyak perbedaannya. Bagi yang gemar mengamati topik kepemimpinan, perilaku dan emosi Jason patut menjadi studi kasus. Bagaimana dirinya menjadi konektor yang menggiring keempat rekannya mencapai tujuan bersama.

Antiklimaks justru terjadi pada desain visual baju zirah Power Ranger serta megazord-nya. Untuk baju zirah, tidak terlalu 'bersih' selaku protagonis. Ataukah sebagai gambaran latar belakang masing-masing yang hidupnya keras, mungkin saja. Tapi baju zirah ini menyimpan kekecean berupa proses transisi yang sangat ciamik. Sesuatu yang membedakan dengan lakon bioskop sebelumnya ataupun versi serial televisi, tentu eksistensi animasi komputer era saat ini. Tambahan lagi, topeng yang terbuka saat menunggangi megazord membuat kita kita menikmati bagaimana tiap aktor dan aktris menghayati peran mereka tanpa curiga apakah itu stuntman, entah kalau adegan berantem lainnya.

Megazord barangkali jadi pokok masalah terkait desain. Bukan masalah kesan rapi ataukah ganas/trengginas, namun kurang mencerminkan hewan yang diadopsinya. Sulit untuk mengenali bahwa megazord hitam itu gajah purba, kuning itu sabertooth, pink itu pterodactil, dan si biru adalah triceratops. Praktis hanya wujud si merah berupa tyranosaurus yang paling jelas. Well, semoga ada 'proses' evolusi yang menghasilkan desain lebih kece di sekuelnya nanti.

Sekuel...emang ada gitu//
Ya, sudah ada cuplikannya dengan sosok Tomi Oliver yang tentu membuat penasaran bagaimana proses dia masuk ke dalam skuad. Apakah 'magang' di rival sebagaimana versi serial televisi...

Tentang iGracias versi Mobile 2.0

Mungkin kalau bukan faktor nyangkut kuliah umum dadakan yang melibatkan matkul Literasi TIK, bisa jadi saya kelewatan info tentang dirilisnya iGracias versi mobile. Sebuah pencapaian yang perlu diapresiasi, terlepas keunggulan dan kelemahan yang ada. Saya sendiri agak janggal menyebut aplikasi yang sudah tersedia Google Play ini sebagai versi 1.0. Sederhana, dulu sudah ada aplikasi iGracias walau konteksnya IT Telkom. Maka saya memilih menyebut si 2.0.

Saya mengapresiasi keberadaannya karena fungsi iGracias sendiri sudah menjadi "jantung" operasional di Universitas Telkom. Dosen atau mahasiswa yang tidak membuka iGracias dalam tempo sepekan, kecuali sakit atau musubah atau liburan, bisa dikategorikan makhluk langka. Kalau dalam konteks Mc Farlan grid, iGracias tergolong setidaknya Key Operational, bahkan jika rektorat dan dekanat bisa mengeksploitasi pengetahuan iGracias dalam membuat kebijakan maka iGracias termasuk Strategic. Sangat jarang sistem informasi di lingkungan perguruan tinggi menempati golongan tersebut. Di sisi lain, saya pernah merasakan manis getirnya ngoding sebuah sistem informasi untuk ekonomi kreatif nasional walau masih website produknya. Sangat gila prosesnya, mengutip kamusnya bung Vale, ada banyak "jegeeeer".



Pembuatan iGracias versi mobile ini merupakan proyek jangka panjang. Sangat ajaib ada aplikasi yang dalam hitungan tahun tidak pernah ada pemutakhiran atau pembaruan. Malah, untuk ukuran aplikasi mobile, muncul versi terbarunya dalam skala bulanan. Sering ada versi terbaru tidak melulu lantaran ada bugs atau menutupi kekurangan sebelumnya, sangat mungkin ada pengembangan atau pembuatan fitur-fitur oportunis yang menjadikan nilai/kualitasnya menanjak. Karena itulah, dengan berbagai kekurangan yang ada, saya yakin dalam tempo bulan pula lah akan ada versi 2.1 dst.
Yang jadi barang baru adalah kemunculan jejaring sosial sebagai salah satu fiturnya. Saya belum mencoba lebih jauh apa saja yang bisa dieksplorasi dari fitur potensial ini. Apakah memungkinkan japri selayaknya Whatsapp atau bahkan video call kolektif macam Line. Jika iya, ini menjadi modal berharga untuk menggalakkan kuliah daring. Dari sisi strategi pemasaran, versi inisiasi memang tidak perlu sempurna, paling tidak menggugah sebagian segmen memilikinya. Seiring masukan dan kebutuhan masa depan, akan lahir fitur-fitur spesial nantinya.

Kekurangannya apa saja memang? Pertama keberadaan panduan khusus pengamanan informasi, sepintas sederhana tapi banyak insiden keamanan informasi lahir dari rendahnya sosialisasi dalam menjaga keamanan. Kedua mengenai campur baurnya informasi perkuliahan antara semester sekarang dengan semester sebelumnya. Hal ini menjadi kekurangan yang fatal karena kebutuhan pengguna iGracias sebetulnya hanya berkutat di operasipnal semester ini. Ketiga masih terbatasnya ruang lingkup proses bisnis yang diakomodasi. Contoh sederhananya, hanya ada proses bisnis lihat jadwal kuliah, tapi belum ada (cmiiw) fitur cek presensi mahasiswa, pendokumentasian BAP, atau bahkan nantinya registrasi.

Namun ganjalan terbesar saya sebetulnya terkait siapa pembuatnya. Apakah si perusahaan telekomunikasi itu? Karena ada embel-embel "powered by", apakah berarti iya? Apakah hal itu dilarang? Dalam bisnis memang tidak hanya saja, melihat kualitas Direktorat Sistem Informasi membidani iGracias dari era transisi merger, saya lebih berharap mereka yang menggawangi proses pembuatannya. Sebagaimana disinggung bahwa pasti akan ada versi terbaru, apakah selamanya Universitas Telkom akan kecanduan dengan layanan (sudah tidak mungkin enggak) berbasis bisnis. Yang pasti, semoga keamanan data civitas akademia tidak jadi komoditas yang dipertaruhkan reputasinya.

Dan...sebagaimana disinggung di awal. Terlepas keunggulan dan kekurangannya, saya sangat mengapresiasi eksistensi produk ini.