Sertifikasi Ulama, Momen yang Salah atau Esensi yang Buram?

Akhirnya isu itu perlahan padam. Setidaknya untuk sementara waktu lantaran negara keburu heboh skandal korupsi e-KTP dan kunjungan Raja Salman. Isu ini tentang wacana sertifikasi ulama, yang terus terang saja jika dibahas sekarang ini, setidaknya 1 s.d. 2 tahun mendatang, kecenderungannya negatif. Wacana ini entah secara resmi berangkat dari siapa dan entah pula dengan argumen apa. Santer terdengar bahwa banyak isi khutbah sholat Jumat yang bermuatan politik. Ada pula tudingan bahwa ulama berpihak sebagai oposisi pemerintah. Ada pula kemungkinan untuk mengendalikan konten ceramah ulama.

Negeri Jiran, Malaysia, sebetulnya juga menerapkan hal serupa. Namun tujuan sudah ditegaskan, yaitu mencegah adanya penyebaran aliran sesat. Artinya, motivasi terkait agama, tidak ada kerancuan dengan politik. Lain halnya di negeri ini hohooo. Memang ada sejumlah individu yang diklaim oleh beberapa sekte sebagai ulama mereka. Tapi keberadaannya tidak begitu masif jika bicara angka. Justru yang terjadi adalah kegaduhan pemerintahan yang membuat beberapa kali ulama lantang bersuara untuk mengusulkan solusi. Wacana sertifikasi ulama saat ini justru memantik opini bahwa ulama hendak dikerdilkan perannya. Apalagi, di saat bersamaan sejumlah ulama digeledah dan dihentak dengan sejumlah kasus yang terlihat sekali rekayasanya. Maka sekali lagi dari sisi waktu, jika sampai wacana itu disahkan, ini menjadi blunder besar mengingat masyarakat sedang sensitif dengan isu SARA.

Baik buruknya sertifikasi ulama, terlepas dari cuaca politik yang sedang gerah, memang sangat bisa diperdebatkan. Mulai dari kemungkinan standar dalam materi, kemungkinan sensor terhadap ulasan tertentu, kemudahan dalam melakukan konsolidasi, hingga peningkatan kualitas. Tapi melihat kondisi yang sudah-sudah, rasanya sertifikasi ulama belum mendesak. Masyarakat selama ini sudah bisa menilai kualitas ulama, baik yang muncul di acara fisik maupun secara daring/elektronik. Beberapa agenda keagamaan bahkan memajang gelar akademik ulama yang mengisi, misalya S.Ag., Lc., sehingga bisa ditakar kualitasnya. Apabila ada sesuatu yang kontroversi, tentunya dan seharusnya sudah ada regulasi yang mengantisipasinya. Mulai dari hukum terkait penistaan agama tertentu, hukum terkait penghasutan, hingga terkait penyebaran ajaran sesat. Apabila yang terjadi masalah ada perbedaan sudut pandang mengenai beberapa hukum yang disebutkan tadi, sepengamatan saya, sertifikasi ulama tidak menjanjikan solusi.

No Response to "Sertifikasi Ulama, Momen yang Salah atau Esensi yang Buram?"