tentang Mata dan Langkah yang tak Searah

Setahun mengarungi hidup di belantara fase dunia kerja tahap 2. Ya, tahap pertama selama 2 tahun di Probindo Artika Jaya Group dilanjutkan dengan sebuah jeda nyaris setengah tahun berstatus "tanpa pekerjaan tetap", memang ada sejumlah upaya nyetar-ap, namun chemistry yang kurang nyambung plus kesibukan membangun pondasi rumah tangga membuat beberapa kolaborasi kandas. Namun bukan kegagalan dalam wujud itu yang ingin saya ulas di sini. Kegagalan yang saya maksudkan adalah ketidaksinkronan antara mata sebagai cerminan keinginan dengan langkah sebagai perlambang kenyataan.

Tentu hal yang ideal jika kita menginginkan sesuatu dan mampu mencapainya. Ibaratnya kita ingin menuju ke X dan langkah kaki juga ke arah X. Tapi bagaimana jika tidak? Saya bersyukur atas apa yang Allah titipkan ke saya, termasuk beberapa "insiden" yang di luar dugaan, insiden yang awalnya terasa hambar ala kegagalan, namun di kemudian hari justru syahdu penuh syukur.

Masuk kuliah S1 pun saya sudah dilanda perbedaan antara mata dengan langkah. Idaman kuliah di STIS ngilu karena seleksi di kualifikasi Olimpiade Statistika berakhir pilu. Upaya menegarkan diri berbuah langkah yang tergiring masuk IT Telkom, bahkan hanya bermodalkan istikharoh dan dipamungkasi dengan komitmen tidak ikut campur di SNMPTN.  Sepanjang 5 semester awal, saya terus menatap STIS walau kaki jalan (di tempat) pada tepi kampus IT Telkom.

Lulus S1, saya menjadi "penjaja" CV yang mengais minat berbagai perusahaan untuk menggaet saya. Tidak banyak kemujuran yang terjadi karena dari sekitar 30-40 alamat email yang saya tuju, hanya membuahkan 4 pemanggilan. Itu pun hanya membuahkan 1 spot di Jakarta Selatan yang awalnya tidak ada di peta prioritas saya. Dua pekan pertama saya di PAJ Group adalah kisah "horor" karena saya tidak mengerti bagaimana menjalani kehidupan di lajur tersebut. Belum lagi faktor eksternal berupa "toba fushima" :/. Singkat kata, kaki dan mata masih berbeda arah. Namun siapa mengangka saya mampu bertahan hingga 2 tahun, melebihi estimasi 3 bulan di awal saya di situ. Banyak pengalaman yang mengasah diri ini mempelajari web development, project management, hingga kesempatan "berbagi waktu" sore hari untuk ber-S2. Harus diakui banyak tugas-tugas out of scope dari kontrak sebagai web programmer, misalnya kru logistik workshop, socmed analysis, dan tentunya menulis plus belajar tentang ekonomi kreatif dari para pakar.

Perjalanan di hilir S2 menggiring saya ke pilihan sulit, menambah durasi eksistensi saya di PAJ Group ataukah menjadi "pengangguran" dalam rangka mengejar penyelesaian Karya Akhir. Keputusan "gila" (menurut banyak teman, namun coba saya hibur diri ini dengan keyakinan. Muara S2 ternyata tidak serta merta memudahkan saya berkarir di industri TIK. Satu per satu CV yang saya sodorkan tidak cukup menggoda berbagai pihak yang dituju. Praktis hanya ada 4 balasan yang membuat saya pontang-panting dari Bandung ke Jabodetabek. Dua perusahaan e-commerce tidak bisa menampung saya, dan sebuah perusahaan konsultan IT di Bandung pun belum bisa memberikan jawaban lebih lanjut. Sebuah respon untuk bergabung di sebuah proyek dosen ternyata menjadi dermaga berikutnya untuk berselancar dan mengembangkan diri. Gelisah lantaran modal gelar magister terasa "kurang laku" menjadi representasi bahwa mata terlalu sibuk memandangi obepjek yang bukan menjadi lajur kaki kita hendak melangkah.

Barangkali pengalaman itu uang membuat saya mencoba tegar tatkala ada beberapa kegagalan menjanggali batin. Saya optimis bahwa Allah selaku Maha Sutradara punya rencana terbaik untuk kita. Saking terbaiknya, kadang kita terlalu sok tahu dalam menilai rencana itu.

See u again Mr.Jin

Berlari di Pelupuk Selatan

Paris, Jakarta, Ankara, Brussel, lalu Lahore

Kelima kota tersebut punya kesamaan, yaitu diguncang bom sebagai bentuk teror kepada masyarakat sipil dalam kurun waktu 5 bulan. Praktis hanya bom Jakarta, tepatnya kawasan Sarinah, yang menorehkan korban jiwa dalam skala satuan. Empat kota lainnya bersi bah darah. Belasungkawa mendalam kepada seluruh kota tersebut. Kita tidak perlu sibuk melontarkan kritik tajam terhadap media massa internasional yang terlalu mengumbar insiden bom di Paris dan Paris, namun miskin publikasi atas musibah di Jakarta, Ankara, dan Lahore. Begitu pula sepinya ungkapan bela sungkawa dari berbagai pemimpin dunia (negara-negara besar) atas duka di 3 kota tadi.

Tidak Perlu Cengeng atas Perhatian Manusia
Jangan mau jadi muslim yang cengeng dan mengemis perhatian manusia. Kita bisa kok bangkit dengan bantuan allah, dengan keikhlasan hati, dengan ikhtiar kuat, dengan ataupun tanpa iba orang lain. Jangan mau menghabiskan waktu merengek ketidakadilan jika itu hanya menghabiskan waktu kita. Jangan mau menghabiskan waktu mwngkritik sikap vokal "berat sebelah" negara tertentu jika malah menggiring kita apatis atas musibah yang melanda umat agama lain. Jangan mau dipecah-belah dan dikuasai prasangka buruk. Jangan bertindak sok peduli jika tidak mampu berkontribusi dalam doa dan andil membantu sesama manusia.

Mau Ada Kompetisi Tandingan (lagi)

Rencana Tim Transisi menggelar kompetisi tingkat nasional menggiring kita ke arah dualisme. Tentu sebuah rencana "gila" yang terlalu berlebihan mengingat tugas mereka menyelesaikan konflik antara PSSI vs FIFA vs Pemerintah pun belum menunai hasil nyata. Ide sebagai penyelenggara kompetisi, ah rasa-rasanya terlalu banyak kerugiannya, apalagi jika dikomparasi dengan konsep Indonesia Soccer Competition (ISC).

Kerugian pertama adalah kekurangan Tim Transisi menggelar kompetisi sekelas ISL, bahkan menggelar turnamen macam Piala Wali Kota pun belum pernah. Artinya, belum ada portfolio yang membuktikan kapasitas Tim Transisi sebagai penyelenggara kompetisi. Atau malah jangan-jangan mereka hanya sebagai pemilik dan pengarah kompetisi sedangkan operator diserahkan ke pihak ketiga? Jika iya, aroma "bermain api" terhirup jelas di sini.

Kerugian kedua tentu bayang masa lalu antara ISL vs IPL yang menghancurkan banyak strruktur klub, baik di ranah top-league maupun di medium-league. Dualisme melanda Persebaya, Arema, Persija, hingga PSMS. Bahkan klub pertama harus hilang namanya dari blantika sepak bola Indonesia lantaran konflik antarpengurus plus suporter. Begitu pula punahnya klub-klub instan macam Bali Devata, Cendrawasih Papua, Manado United, Tangerang Wolves, dll. Praktis hanya Semen Padang yang masih lestari keberadaannya. Secara keseluruhan dualisme adalah ancaman nyata. Galatama vs Perserikatan agaknya tidak bisa dijadikan acuan dalam mengelola dualisme.

Kerugian ketiga adalah komitmen membangun federasi yang semakin terbengkalai. Jujur, daripada mengurusi kompetisi tandingan, akan lebih baik Tim Transisi fokus pada bagaimana federasi bernama PSSI ini makin sehat.

Jadi, yakin mau ada kompetisi tandingan lagi?

Foto:antarafoto.com

#dostam eBusiness: e-Commerce dari 3 Sisi

#22thGIGI

Well, sebetulnya saya gagal nonton langsung konsernya karena memang tidak ada anggaran hehee dan kebetulan gagal juga streaming karena koneksi internet yang kurang mendukung. Walau demikian, beruntung saya bisa menyaksikan via YouTube keesokan paginya. Konser yang spesial karena momen 22 tahun jelas angka yang menunjukkan betapa band satu ini sudah patut dikategorikan legenda.

Konser kali dapat disebut sebagai kolaborasi dan interaksi antara GIGI dengan sejumlah musisi seperti Once, RAN, Raisa, Dewi Gita, dll. Beberapa karya mereka masing-masing dipermak dan "dijahit" dengan berbagai hits ternama GIGI. Ide yang jarang digaungkan oleh musisi tanah air yang lebih akrab dengan model full-cover. Hasilnya relatif ciamik di beberapa nomor, seperti Akhirnya yang dikontribusikan Once dan Cinta Terakhir yang dibongkar oleh Barasuara. Namun ada pula beberapa paduan yang kurang sreg. Cara bermusik GIGI memang menyulitkan musisi lain membongkar-pasang dengan versi berbeda. Warna suara Armand dibalut distorsi lembut Budjana dan ritmik renyah Thomas dan Hendy memang memiliki corak yang rapat. 

Ekspektasi saya sempat membumbung tatkala trio drummer Ronald, Budhy, dan Hendy beradu tabuhan drum dan perkusi. Namun tatkala seluruh alumnus GIGI dan personel sekarang berkolaborasi, saya kurang puas dengan sajian kali ini. Masih dengan lagu lama Janji dan Nirwana, cara Armand mempersilakan para alumnus GIGI ber-solo-action nyaris mirip dengan konser 17 tahun sebelumnya. Andai boleh usul, mungkin bisa digusung model kolaborasi satu per satu alumnus GIGI di beberapa nomor, atau menyuguhkan lagu lama dengan formasi persis di versi aslinya. Overall, konser ini berjalan manis dan menorehkan titi


Warming Lunch Hehee

Gulita dan Seroja

Gulitanya Setangkai Kembang Seroja
Di bawah hentakan lompatan
Di pinggir sapuan itu

Terselip udara berdebu
Terhirup tuba terkepul
Bait sindiran yang belum pernah terarah

Gurauan dan gelak sekenanya
Di tasik pelipur hilang arah memandang
Risau kadang tak perlu diumbar
Kesah bila dirundung pilu

Tiadakah telinga mendengar
Butiran kaca yang dibasahi anyir
Belumkah mata dihidangi gulita
Bertumbangnya per satu kelompak seroja

Berbaurnya asam dan basa
Tak setara dalam perapungan
Beradulah pion dalam papan tiada tepi
Berpautlah bidak saling mangsa

Belumkah telinga ditengarai
Harpa balada yang kerontang
Tidakkah nyeri dipatri di buluh nadi
Terlunta seroja itu terdampar dalam lamunan gulita

Cyclone e-Ffect Really? [2]

Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang Cyclone e-Ffect di beberapa artikel sebelum ini. Saya menyebutkan bahwa permasalahan saat ini memang diawali dari adanya produk/layanan TIK, tapi konflik yang terjadi ada pada aspek sosial, baik ekonomi, politik, komunikasi, hukum, hingga juga pemerintahan. Di awal ini, saya menegaskan saya tidak bermaksud "cuci tangan sebagai orang yang terlibat di industri TIK", saya justru mencoba melihat dari perspektif lebih luas. Bahkan dari awal kisruh sekian bulan yang lalu pun, justru lebih banyak orang sosial yang mengemukakan opininya, justru pakar dan akademisi TIK lebih banyak diam. Apakah faktor orang sosial-humaniora lebih berkarakter dalam menyampaikan pendapat? Tidak juga. Ini ada bukti bahwa sisi sosial lebih mengalami "kekisruhan", dan tentu saja karena keributan yang ada bukan urusan aplikasi (secara langsung) yang salah koding ataupun ada celah keamanan.

Ditilik dari sisi ekonomi-bisnis, pertanyaan saya sederhana, mengapa kalangan manajerial angkot, taksi, dan ojek konvensional (kita singkat 'ATOK') justru nampak adem ayem? Hal yang aneh menurut saya karena banyak armada ATOK yang mengeluh turunnya penggunaan ATOK oleh masyarakat sehingga pendapatan menurun. Lha apa manajemennya nggak kena imbas? Apakah ada indikasi gaji medium and top manajement (termasuk owner) sudah terlanjur aman (misalnya flat bulanan) sehingga mau sepi sekalipun dapur mereka tetap mengepul? Jika iya, saya sudah bisa memastikan bahwa manajemen ATOK sulit sadar bahwa mereka sedang di tengah ladang gandum yang tengah kerontang. Saya sepakat bahwa tarif transportasi online mematuhi standar yang ditetapkan pemerintah (pemerintah, via dinas terkait, bukan via paguyuban tertentu). Namun saya juga berharap agar tarif yang berlaku juga ditinjau. Apakah jangan-jangan tarif tersebut hanya memenuhi kerongkongan birokrat yang tidak bertanggung jawab. Saat tarif transportasi online murah, mereka dituduh tidak membayar pajak dan biaya perizinan. Tpi pajak dan biaya itu ternyata relatif murah, termasuk bagi pengelola angkot sekalipun. Nah, berarti ada apa di sini?

Apakah tukang nasi goreng yang baru jualan tidak boleh memasang harga Rp 11.000 hanya karena di sekitarnya memasang Rp 15.000? Bukankah laku 20 item dengan laba masing-masing 1.000 lebih menguntungkan daripada laku 3 item dengan masing-masing 5.000?

Aspek pemerintahan dan hukum plus politik, ah sungguh paduan yang "racun madu" banget hehee. Sikap antara Kemkominfo dan Kemenhub agaknya menambah panjang catatan tidak kompaknya antar-lembaga pemerintahan. Tampak keduanya saling tunggu gedung sebelahnya mengeluarkan kebijakan. Sebelahan? Iya mereka gedungnya sebelahan, hebat kan? Secara umum, beberapa regulasi di Indonesia memang relatif "kuno" dari sisi zaman yang sudah memasuki era digital. Permasalahannya, di dunia hukum ada dua mazhab yang abu-abu, "selama tidak dilarang, maka boleh" serta "selama tidak dibolehkan, maka dilarang". Nah, ketika hal-hal tentang digital belum diatur (dilarang enggak, dibolehin nggak) maka pro-kontra akan terus semarak, ya tergantung apa untungnya bagi kita. Pemerintah kita masih banyak yang menjadi pengikut setia dokumen Rencana, baik RPJP, RPJM, Renstra, termasuk MP3EI. Mau tidak mau, pemerintah perlu mengkaji aspek-aspek digitalisasi di berbagai aspek, termasuk urusan dagang, melalui Rencana-Rencana tadi. Selama tidak diakomodasi, sulit mendobrak birokrasi (yang selalu menanyakan "ini dasarnya apa?" ataupun "ini memang direncanakan?")

Terakhir, tapi cukup fundamental, yaitu pendidikan. Masyarakat kita sudah membuktikan bahwa inilah hasil pendidikan kita, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Perilaku anarkis, sikap menghujat, sikap apatis, sikap pragmatis, sikap diadu domba, itu semua cerminan dari realitas yang sidahlah tidak perlu naif menyembunyikannya.

Pelajaran yang bisa dipetik
Apapun pekerjaan kita, kita wajib mengestimasi apakah TIK akan mengancam eksistensi kita di dunia profesi. Tukang pos, produser kaset, tukang cuci cetak foto, hingga operator jalan tol, sudah merasakan betapa teknologi perlahan meminggirkan kesibukan mereka. TIK mungkin mahal di awal, tapi jangka panjang bisa lebih hemtpat daripada manusia. Lantas bagaimana kita bertahan hidup? Pendidikan menjadi faktor penentu di sini. Bukan sekedar IPK tinggi untuk melamar kerja, tapi menata mental pribadi dalam masyarakat yang dinamis.

Cyclone e-Ffect, really?

Foto kanan atas: saya, foto kanan bawah: nemu di FB, foto kiri atas dan kiri bawah: Mba Denis Eka

Well, bom waktu itu semakin berisik. Bom yang sebetulnya sempat meletup di berbagai negara, hanya saja selalu ada kehebohan yang khas mewarnai insiden aksi supir taksi kemarin (22/3). Hari ini dan hari kemarin media massa dan sosial pun diakuisi oleh pembahasan tentang konflik sosial ini. Tanpa bermaksud lepas tangan sebagai orang berkecimpung di industri TIK, namun jujur saja konflik yang terjadi adalah insiden sosial. Produk/layanan TIK hanya menjadi bumbu penyedap yang mengawali sebuah gerakan sosial, tapi konflik selanjutnya didominasi warna sosial, termasuk diantaranya politik, komunikasi, pemerintahan, hingga tentunya hukum.
Mengapa demikian?

Panggilan ke Belantara di Selatan, tapi belum Pulang

Seharian galau menanti, akhirnya vpnis itu dihujamkan menjelang jam 9 malam (setidaknya waktu Indonesia FHUI). Alhamdulillah diberi kesempatan lolos kualifikasi ke ICoICT 2016 di Telkom University. Jelas ada rasa berbeda yang unik karena iti adalah almamater S1 saya. Jelas ada rasa yang menganga karena saya belum bisa menembus tembok mpuntuk menjadi dosen di sana, hehee... maklum kualifikasi saya masih cemen hehee...

Aku belum tahu apakah lolos kualifikasi ini bisa diimbangi dengan tampil di putaran final. Faktor finansial kebetulan masih "berharap" ada sokongan dari institusi Fasilkom UI. Belum lagi perlu menyiapkan kopi dan tisu untuk bergadang diantara 4 agenda: suami siaga, revisi paper ICoICT, analisis RootCA di MCIT, dan persiapan paper ICACSIS 2016. Semoga waktu yang digunakan bisa dikonversi sebagai investasi ibadah. Semoga pula (jika berkesempatan bisa berlaga) di ICoICT nanti ada bekal untuk mengeskalasi motivasi nge-S3. Pulang "kandang" ke Unitel? Wallahualam^^

[Review] Kungfu Panda 3

Ini adalah kartun favorit saya, bahkan ketika prekuel nomor 1-nya rilis sekian tahun yang lalu. Jujur dari sisi animasi dan graf-cit Kungfu Panda terhitung standar. Tapi jika bicara alur cerita beuh top markotop, mbahas urusan filosofis jos margondos. Film Kungfu Panda dari edisi 1 s.d. 3 ini saya anjuran untuk ditonton bagi kalian yang belajar tentang mengembangkan diri. Dan khusus di Kungfu Panda 3 ini, nilai pembelajaran yang disajikan makin "pecaah".

Pertama tentang eskalasi diri
Kita tidak bisa berhenti di zona nyaman dimana kita berpuas diri. Kita perlu menyadari bagaimana kita akan bisa jauh lebih berkembang tatkala menemui kesulitan. Dan kadang kesulitan yang menjadi "kado" buat kita adalah hal-hal yang sepintas sangat tidak sesuai dengan keinferioran kita. Sebagai contoh karakter "koplak" Po yang justru dipertemukan dengan amanat menjadi guru dan menjadi pemandu bagi Tigres dkk.

Kedua tentang Mengenal Diri dan Menjadi Diri Sendiri
Ini sepintas klasik, tapi di film Kungfu Panda ini kita dipaksa menikmati suguhan Po yang tidak serta menanggalkan karakter aslinya tatkala menjadi seorang guru. Dia menunjukkan karakter wibawa seorang guru dengan caranya sendiri. Hanya saja memang, kepiawaiannya menjadi guru memang muncul justru saat tidak sedang dilihat oleh kawan-kawannya, kecuali Tigres, melainkan di hadapan para panda yang buta dengan karakter Po.

Ketiga tentang Memanfaatkan Potensi
Po sangat memahami bahwa panda bukan makhluk yang cekatan bertarung, apalagi para panda yang sehari-hari hidup damai. Maka dia menyusun strategi dengan mengeksplorasi karakter mereka masing-masing. Ini sebetulnya sindiran bagi pendidikan yang terlalu berorientasi pada kepuasan si pengajar namun mematahkan kreativitas murid-muridnya.

Ada lagi nih Piala Bhayangkara 2016

Sepakbola Indonesia masih kecanduan turnamen dalam wujud terbarunya, Piala Bhayangkara 2016. Si penggelar hajat, yaitu Kepolisian Republik Indonesia (Polri) agaknya tergiur dengan kisah TNI yang sukses menghelat Sudirman Cup plus meloloskan PS TNI, kkyb bentukan mereka ke 8 besar. Turnamen satu ini relatif sepi dari gembar gembor media lantaran jumlah peserta yang relatif sedikit. Tapi di balik jumlah peserta yang sedikit, para klub yang berlaga ternyata didominasi juara berbagai kompetisi. Simak nama besar Persipura, Sriwijaya FC, Arema Cronus, plus Persib sebagai mantan jawara ISL dipadu Mitra Kukar (juara Piala Sudirman) dan Pusamania Borneo (juara Piala Gubernur Kaltim). Sebagai catatan Arema adalah juara Bali Island Cup, sedangkan Persib juara Piala Presiden. Tengok pula dua institusi negara yang didelegasikan via PS TNI dan PS Polri. Hanya secara sedikit kritik mengenai konsep "best of the best" ini sebetulnya akan lebih konsisten jika para peserta tersebut dihadapkan dengan PSMS (juara Piala Kemerdekaan) dan Semen Padang (juara IPL 2012 saat diakui legal oleh PSSI). Namun biarlah Persija dan Bali United tetap melangkah karena mereka juga komitmen yang terjaga bagi sepakbola Indonesia.

Kejutan keras sudah mewarnai hari-hari awal turnamen ini. Persib dipaksa mereguk hasil imbang oleh Mitra Kukar plus Persija ditekuk 0-3 oleh PS Polri. Sriwijaya FC sejauh ini berada di pacuan terdepan setelah sukses balas dendam pada Pusamania. Tentu masih banyak suguhan laga penuh drama yang "rencana"-nya berfungsi sebagai persiapan menuju ISC (Indonesia Soccer Competition) 2016. Sebagai fans Sriwijaya FC, tentu saya menjagokan tim satu ini. Apalagi SFC sedang gersang gelar walau sudah berinvestasi banyak dalam wujud kontrak penuh gerlap para bintang di beberapa turnamen sebelumnya. SFC patut menjadikan Piala Bhayangkara sebagai ajang "berbuka puasa".

Terakhir, saya masih menyimpan harapan bahwa Piala Bhayangkara ini memberi kontribusi yang unik. Maksud unik di sini tentu bukan sekedar menggelar hajatan turnamen tanpa ada jejak ke depannya. Sebagai gambaran, ide partisipasi tim PON Kaltim dan semifinal model trofeo adalah gagasan yang cerdas di Piala Gubernur Kaltim. Begitu pula kewajiban adu penalti jika hasil seri di Sudirman Cup lalu. Bagaimana dengan Piala Bhayangkara? Ide bagus berupa kewajiban menurunkan pemain usia muda bagus, semoga bisa diikuti oleh inisiasi-inisiasi lainnya.

Rima-Rima Sederhana: Pelepah yang Cerah

Setangkai wajah asa secercah
Wangi genapi elok merekah
Lembar jernih hikayat nan cerah
Syahdumu dalam damainya lembah

Pada petak-petaknya sawah
Terhampar pinta tiada mewah
Melawan masygulnya resah
Lantunkan rima menanti arah

Bertiup angin kirimkan salamku gundah
Tiada terbelok jelujurku melangkah
Sekujur nadiku rindu meruah
Bait-bait doaku ranum berlimpah

Allah Asy-Syakuur (Allah Maha Mensyukuri)

Oleh KH. Abdullah Gymnastiar

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim [14]: 7)

Allah Asy-syakuur, Allah Maha Mensyukuri perbuatan hambanya/ Allah Maha Menerima syukur. Kemurahan Allah kepada hambaNya yang bersyukur bisa diibaratkan rumput yang dimakan sapi dan sapi bisa sempurna badannya padahal yang dimakan hanya rumput namun bisa jadi tanduk, jadi kulit, jadi tulang, jadi susu dan sebagainya. Begitu juga dengan air hujan yang sama-sama meresap ke tanah namun bisa jadi duren, jadi nangka, jadi apel.

"Perumpamaan orang- orang yang menafkahkan harta- hartanya pada jalan Allah seumpama sebutir biji yang menumbuhkan 7 tangkai dan setiap tangkai berisi 100 biji, Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendakiNya dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Baqarah: 261).

Dengan adanya keterangan Asy-Syakuur ini, jangan sungkan melakukan kebaikan sekecil apapun karena tidak ada yang kecil dalam pandangan Allah. Jangan memikirkan yang belum ada. Kita tidak disuruh banyak memikirkan rezeki yang belum namun mensyukuri apa yang sudah ada.
Jangan takut oleh yang akan datang, takutlah tidak bersyukur kepada karunia yang ada. Jangan capek memikirkaan rumah yang belum terbeli, syukuri kontrakan yang ada. Jangan capek memikirkan mobil yang belum terbeli, syukuri motor yang saat ini dipakai. Tidak perlu berambisi ingin jabatan, jadi orang benar saja sudah cukup. Jabatan waktunya tidak lama. Ada yang begitu ingin jabatan, carinya susah. Sesudah jabatannya berakhir, sengsaranya yang lama, jadi bulan-bulanan. Maka yang terpenting adalah menjadi orang yang bersyukur.

"Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS Ali Imran [3]: 26)

Kita selama ini menderita bukan karena kurang pemberian dari Allah namun karena kurang syukur. Coba sebutkan apa yang kurang dari Allah? Tidak ada. Dan Syukur itu bukan hanya untuk nikmat, tapi juga untuk kepahitan. Misalnya selama ini tidak bisa mendekat dengan Allah saat diberi nikmat, begitu diuji kepahitan baru bisa dekat.

Lima Kiat Syukur

1. Haqul yakiin bahwa semua nikmat milik Allah dan yang membagikan hanya Allah. Jadi tidak ada sumber kecuali Allah, selain Allah bukan sumber tapi jalan. "Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan." (QS An Nahl [16]: 53)

2. Doa yang paling afdhal adalah Alhamdulillah Dzikir yang paling afdhal adalah Laa illaha illallah dan doa yang paling afdhal adalah Alhamdulillah. Ucapkan "Alhamdulillah 'ala kulli hal (Segala puji bagi Allah atas segala sesuatu)". Tidak ada yang harus kita sombongkan dalam hidup.

3. "Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia." (HR. Abu Daud) Orang yang paling bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling berterima kasih kepada sesama. Jangan takut terhadap masa depan, takutlah kalau sekarang tidak bisa mensyukuri yang ada. Jangan takut tentang rezeki, semuanya sudah ada, tapi takutlah tidak mensyukuri sehingga "jatah" kita menjadi pedih bagi kita. Tidak ada yang merusak rezeki kita selain kita yang kufur nikmat. Kita diciptakan sudah lengkap dengan rezekinya.

4. Gunakan semua pemberian Allah untuk mendekat kepada pemberiNya

5. Ceritakan nikmat/sykur kepada orang lain Bukan dengan maksud ingin dipuji tapi agar semua orang makin ingat dan bersyukur juga kepada Allah yang Maha Terpuji.

Sumber: website DT Jakarta

Menanggalkan Akuisme Saat Pascasarjana [1]

Acara di UPI hari Sabtu (12/3) lalu menyisakan sebuah pesan terkait dunia pendidikan, dan juga menyinggung ambisi/cita-cita kita. Pesan itu sebetulnya sederhana, yaitu menanggalkan pola pikir "akuisme" alias selfishbin egois dalam memaparkan motivasi kita tatkala berburu beasiswa. Para pembicara menyinggung tentang karakter akuisme sebagai kriteria yang sudah pasti tidak lolos seleksi beasiswa karena dianggap tidak bisa memberikan manfaat timbal balik kepada sekitar. Saya sepakat dengan paradigma mereka, namun mendadak saya tergugah untuk memasang gagasan anti-akuisme ini tidak sesederhana tujuannya mengincar beasiswa, namun lebih global lagi dalam menempuh pendidikan S2 dan S3.

Kenapa S2 dan S3? Karena dua jenjang tersebut masih menjadi minoritas di statistik raihan pendidikan masyarakat Indonesia. Jenjang D3, D4, dan S1, sudah menjadi hal yang lumrah, terutama di Pulau Jawa dan kota-kota besar di luar Pulau Jawa. Syarat bekerja berupa lulusan S1 sudah jamak didengar di berbagai kota. Dalam kalimat lain, ketiga jenjang tersebut dilalui sebagai sesuatu yang wajar, normal, dan kenyataannya tidak seinisiatif ketika seseorang hendak mengambil jenjang S2 dan S3. Bagaimana dengan S2 dan S3? Kita kupas satu per satu karakteristiknya plus kaitannya dengan sikap akuisme.

Gelar magister alias S2 masih menjadi spesies langka di Indonesia. Secara umum alasan menggaet  rencana S2 meliputi: mengeskalasi karir di organisasi saat ini, menambah ilmu yang mendukung job-desc saat ini, memper siapkan diri memasuki jenjang dunia riset dan akademik. Alasan macam mengisi waktu luang bisa diabaikan karena jumlahnya sangat kecil. Rentang waktu kuliah S2 relatif singkat, yaitu 3 s.d. 6 semester, namun jangan tanya kesibukannya. Bisa dibilang mengungguli S1 penugasannya. Belum lagi yang sambil mengelola rumah tangga hingga sambil mengikuti agenda rutin di kantor. Bagi program studi yang diisi oleh para karyawan, justru weekend menjadi momen menceburkan diri berjamaah menunaikan tugas kuliah. Pertanyaannya, setelah usai mau apa? Jika menganut paham akuisme, tentu bayangan pascalulus S2 tidak jauh dari benefit gaji naik, pangkat naik, dan tentunya nama semakin panjang. Apakah salah? Entah... tapi itu manusiawi. Namun, coba berpikir lebih bijak lagi. Bukankah hakikat hidup itu adalah menjadi manusia yang terbaik dimana kebermanfaat menjadi tolok ukurnya? Jernihkanlah pikiran dengan menatap luas manfaat bagi sekitar jika kita mengambil S2, tentunya sesuai misi yang kita gusung. Jika menggusung misi eskalasi karier, maka rentangkan sayap untuk membangun karier yang lebih produktif dan penuh inovasi bagi organisasi, dan tentunya bagi Islam dan Indonesia. Apabila organisasi bergerak di industri komersil, maka karier yang kita bangun adalah karier yang bisa menjaga agar industri ini memberi kontribusi bagi bangsa melalui kualitas produksi barang dan jasa. Apabila organisasi kita di ranah layana  publik, maka karier yang kita bangun adalah yang memberikan layanan prima bagi masya rakat. Apabila kita menanggung misi sebagai langkah memasuki dunia riset dan akademik, maka pergunakan hasil pendidikan S2 untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran ilmiah yang berperan sebagai solusi untuk mempercepat peradaban manusia.

Bagaimana dengan S3?
Actually, i have not been in there yet. Maka yang saya sampaikan adalah kacamata di luar kotak S3. Kurang lebih begini...
S3 memakan durasi yang nyaris setara S1, yaitu 8 semester, bahkan bisa lebih. Pertanyaannya, apa saja yang dikeluarkan oleh mahasiswa S3 dan bandingkan apa yang akan didapat setelah lulus S3. Apabila kerangka berpikirnya hany dosen yang full time ngajar, maka kalkulasi kasar akan menempatkan status sulit untung (secara finansial). Gaji dosen lulusan s3 full time ngajar masih dalam garis yang tidak sebanding investasi waktu dan biaya yang dikeluarkan. Maka sangat tidak disarankan mengincar dosen full fime ngajar sebagai rencana pascalulus S3. Dari sini sudah tampak pemegang fanatik akuisme bakal rontok. Mengapa?

/* bersambung */

Gerhana Matahari lalu begitu saja?

Sepekan pasca-kejadian alam gerhana matahari total (GMT), media langsung asyik beralih ke topik lain. Setidaknya, saya sempat menggaet dua edisi media nasional yang mengumbar eksotisme gerhana matahari. Ngomong-ngomog GMT, saya lebih menyotori dua isu yang berlompat-lompat menjelang GMT pekan lalu. Pertama tentang dampak GMT bagi perekonomian nasional, khususnya pariwisata. Sayangnya proses pemberitaan di BPS dan kementerian terkait belum bisa menyajikan angka pasti dampak realistis dari GMT lalu. Perkiraan kasar media memang menunjukkan kenaikan yang signifikan. Kedua tentu ritual sholat gerhana yang menjadi anjuran yang marak dan mampu dihelat di berbagai daerah dengan aktif. Budaya positif yang kembali lagi menjadi momentum untuk ingat akan kebesaran Allah SWT.

Derby Madura di "hidung" Pulau Borneo

Di tengah kebosanan berbagai turnamen tanpa kejelasan nasib Liga Indonesia, akhirnya dua klub berhasil melaju ke final Piala Gubernur Kaltim (PGK). Animo provinsi di "hidung" Pulau Borneo tersebut memang tidak diragukan lagi. Eksistensi Pupuk Kaltim, yang berevolusi menjadi Bontang FC, disusul Persisam Putra Samarinda, Persiba Balikpapan, serta Mitra Kutai Kartanegara. Klub terakhir adalah juara Sudirman Cup. Dan PON 2016 di Jawa Barat tahun ini pun menghadirkan Kaltim sebagai peserta berstatus juara bertahan. Singkat cerita, turnamen ini punya daya jual dengan kekurangan satu: kesan membunuh waktu menunggu Liga Indonesia.

12 klub yang berlaga di sini menyisakan 6 klub di sesi semifinal. Mereka saling bunuh hanya untuk dua helai tiket final. Menariknya, dari keenam tim tersebut hanya 2 klub yang tidak pernah mengalami pemindahan identitas ataupun homebase, yaitu Arema Cronus di Malang dan Persiba Balikpapan. Keduanya meladeni Madura United yang sebetulnya berasal dari 4 klub bersejarah di Liga Indonesia, yaitu Persepam Pamekasan, plus Persipasi Bandung Raya dari Bekasi. Nama terakhir sejatinya adalah merger Pelita Jaya dengan Bandung Raya lantas pindah markas ke Bekasi dan merger dengan Persipasi Bekasi. Usia Madura United sangat beliau, hanya beberapa bulan. Tapi mereka justru yang tampil sebagai pemegang tiket final memecundangi dua tim lainnya.

3 klub lainnya pun menyimpan sejarah unik. Sriwijaya FC, Pusamania Borneo, dan Surabaya United tentu adalah nama terkini dari Persijatim Jakarta Timur, Perseba Bangkalan, dan Persebaya Surabaya. Dua nama pertama adalah hasil akuisi klub sedangkan nama terakhir berganti nama lantaran konflik internal yang berujung diblokirnya hak memakai nama lama. Pusamania sebagai klub paling mentereng daftar pemainnya mampu menyingkirkan dua klub lainnya untuk menyelamatkan muka provinsi Kaltim.

Madura United versus Pusamania Borneo sejatinya derby Pulau Madura dengan selisih waktu antara klub saat ini dengan klub masa lalu. Derby yang justru dalam rangka memperebutka kehormatan di "hidung" Pulau Kalimantan. Siapapun yang menang, saya menyimpan dua pertanyaan. Pertama, apakah keduanya akan bernasib seperti Persib-Sriwijaya FC (finalis Piala Presiden rontok di Sudirman Cup) dan Mitra Kukar-Semen Padang (finalis Sudirman Cup rontok di PGK), termasuk saat Piala (tarkam nasional lagi) Bhayangkara? Yang kedua tentu sikap Ponaryo Astaman selaku ketua APPI yang belum total memboikot turnamen tanpa kejelasan Liga Indonesia?

Sumber gambar: bola.com

sumber gambar: indoberita.com

Recoba, Fabregas, atau Neymar

YAlvaro Recoba, legenda sepakbola asal Uruguay yang menjadi simbol kebangkitan pasca status pinjaman. Pemain yang satu ini sudah lama pensiun, wajar jika penikmat bola era sekarang kurang mengenalnya. Recoba juga merupakan sosok yang spesial di koub Inter Milan. Torehan golnya menjadikan pria Latin berwajah Tiongkok ini menjadi predator yang dihormati di eranya. Namun sebelum mereguk karier manis di Inter Milan, Recoba harus merasakan gersangnya bangku cadangan dan menjalani "pengasingan" di klub lain. Venezia, klub persinggahannya jelas tidak menyuguhkan masa depan kejayaan lantaran status di atas kertas yang hanya kuda hitam, itu pun tidak konsistensi. Recoba ternyata lulus uji coba. Gol demi gol dengan balutan jersey Venezia membuat Inter tergiur menggaetnya. Salah satu dari gol yang dibuatnya sangat spesial dan barangkali cukup "menampar", yaitu gol indah ke gawang Inter Milan. Ya, dia mampu berjingkrak riang sekaligus membungkak superioritas Inter. Masa studi yang usai dengan rapor biru mengantarkannya ke skuad utama Inter Milan. Di saat nyaris bersamaan, Inter Milan tidak henti membangun tim penuh gerlap, termasuk sektor penyerang. Ada Ronaldo, Vieri, Mohammed Kallon, Hakan Sukur, Robbie Keane, hingga Ricardo Cruz. Tapi sosok Recoba menjadi yang paling konsisten sebagai tombak Inter Milan dengan sederet kontribusi. Barangkali cacatnya hanya satu, yaitu bukan bagian dari generasi emas 2009/2010.

Setiap melihat Bisku*t, saya teringat seorang putra asli Catalan yang menjadi pengembara di tanah Inggris. Francésc Fabregás. Dua kali sosok ini membuat resah kota London. Pertama tentu hiruk pikuk isu kepindahannya dari 2009 hingga 2011 ke FC Barcelona. Artinya ada dua musimnya bersama Arsenal yang digerogoti skandal loyalitas. Medio 2014 dia kembali membelah London segeger-gegernya. London Utara kandang Arsenal berang lantaran dia pulang ke London... bagian Barat, kandang Chelsea. Ok saya tidak membahas Arsenal dan Chelsea. Saya lebih menyoroti karir si bocah ilang Catalan yang jebolan La Masia, SSB-nya FC Barcelona. Janji manis promosi ke skuad utama plus kompetisi Liga Inggris membuatnya cabut dari La Masia. Birokrasi yang terlalu berjenjang untuk masuk daftar 25 pemain utama Barca mempermulus si pemain cabut, plus dominasi pemain asing. Cesc memang sukses secara pribadi sebagai sosok penting di skuad utama Arsenal. Tapi kerinduannya pada Barcelona tidak terbantahkan. Apalagi di timnas banyak alumni La Masia macam Iniesta, Puyol, Xavi, hingga Pique. Cesc akhirnya goyah juga pulang ke Barca. Tapi kisah kebersamaan hanya tertahan 3 musim. Apakah durasi singkat itu sudah cukup sebagai checklist pribadinya?

Terakhir sosok yang bersama Luis Suaréz Lionel Messi menjadi trisula paling mengerikan di muka bumi saat ini. Neymar namanya, Brazil asalnya. Tapi rahasia unikny adalah, mantan peserta trial Real Madrid. Iya, kebetulan tidak ada lagi klub dengan nama Real Madrid di dunia ini selain rival abadi Barcelona. Entah apa yang membuat Neymar tidak lolos trial dan menjadi pemain junior Madrid. Apakah lontrak? Apakah kecocokan dengan strategi? Apakah ada pemain yang lebih hebat? Yang pasti Neymar kembali menjalani hari-hari jauh dari sorotan media hingga akhirnya dia bergabung dengan Santos dengan aktif sebagai kolektor gelar. Kebiasaan membawa pulang gelar juara ternyata belum sembuh saat bermain untuk Barcelona, bahkan makin kelewat parah. Sulit membayangkan Neymar pulang ke klub yang nyaris menampungnya di dini hari kariernya dimulai.

Jadi? Bagaimana kita mulai pembicaraan intinya?

Widihh ada BIIMA

Salut buat usaha Bekraf berupa sosialisasi online tentang kesadaran hak cipta produk-produk ekonomi kreatif.

Jalan Telekomunikasi Pasca-penggusuran

Singgah Sejenak di Masjid UPI Ledeng


Dari sisi interior masjid ini sangat mirip dengan Masjid Salman di ITB juga Masjid Syamsul Ulum di Universitas Telkom. Apalagi jika menapaki lantainya, khas motif kayu tanpa batasan saf kanan-kiri, sehingga memudahkan kita merapatkan saf saat sholat berjamaah. Pembedanya tentu warnanya yang lebih ramai, terutama pilar biru dan motif khas coklatnya.

Jalan-Jalan UPI Ledeng

Sabtu lalu (12/3) mendadak diajak mengantar Bang Inggar Saputra ke UPI kawasan Ledeng. Sebetulnya saya pernah masuk ke kawasan UPI, bahkan mengikuti aktivitas keormawaannya, namun itu yang PGSD kawasan Cibiru, sedangkan yang di Ledeng ini baru pertama kali saya masuki. Kagum melihat eksotisme nuansa hijau yang sejuk plus arsitektur yang sederhana namun asri.

Salah dua yang menyita perhatian saya adalah keberadaan menara di gedung FPMIPA dan juga keberadaan sekolah laboratorium. Menara di gedung FPMIPA ini konon hasil kerja sama dengan Jepang. Bentuknya pilinan yang berpola geometris, ada di foto pojok kanan. Sepintas mirip Menara Pisa, hanya saja tegak dan tampak kokoh menyangga bangunan di sekitarnya. Terdapat lift di salah satu menara dan tangga di menara lainnya. 

Sekolah laboratorium? Ya, ini adalah lembaga pendidikan resmi yang juga berfungsi sebagai lahan riset plus pengabdian masyarakat bagi civitas akademika UPI. Jenjangnya dimulai dari TK hingga SMA. Agaknya sinergi antara sekolah ini dengan UPI perlu dicontoh oleh Telkom University.

Jujur yang tidak Diperlukan

Jujur merupakan yang terpuji menurut berbagai buku di sekolah, termasuk di PMP, PPKn, PKn, Kwn, plus Pendidikan Agama Islam. Bahkan Nabi Muhammad dijuluki Al Amin karena sikap jujurnya dalam berdagang dan bermasyarakat di Mekkah. Ada pula ijar-ujar berupa slogan "katalah yang sebenarnya walau menyakitkan". Namun ternyata eh ternyata ada beberapa situasi yang malah menjadikan jujur sebagai perbuatan yang kurang tepat.

Jujur untuk Sombong
Seandainya saya benar-benaf punya harta 5 miliar (aamiiin) dan mengatakan kekayaan tersebut di depan para pemulung (yang ini nggak aamiiin), bukankah saya jujur? Iya saya memang jujur, tapi fakta yang saya paparkan itu sifatnya adalah kesombongan, bukan sikap rendah hati. Contoh lain ketika saya berhasil mengader seseorang hingga meraih kesuksesan dan lantas kita mengklaim itu adalah peran kita, memang betul ada peran kita di situ, tapi sulit menyanggah tudingan sombong atas klaim tersebut.

Jujur Membicarakan Keburukan Orang Lain
Yang ini sangat menggiurkan alias sulit dihindari. Mungkin ini yang membuat saat bulan puasa lebih mudah menahan dahaga daripada menahan diri tidak membicarakan keburukan orang lain. Aib orang, termasuk di dalam aktivitas bisnis dan ekonomi, walau memang begitu faktanya, tetap saja lebih baik tidak dibicarakan. Sebagai contoh Pak XYZ itu tukang main perempuan. Kalau benar bagaimana? Jika hanya dibicarakan tanpa ada solusi, maka itu namanya fitnah. Eh ternyata nggak bener kok? Ya berarti tadi namanya fitnah.

Trus musti bagaimana?
Bicara dengan tujuan, maksudnya ada kejelasan manfaat dari kejujuran kita. Jika hanya obrolan penghabis waktu, sudah bisa dibayangkan betapa ruginya kita yang mencoba jujur tapi berbuah sia-sia. Maka kita perlu perbaiki kebiasaan kita agar terhindar dari sikap sombong dan ghibah. Pertama hindari tontonan dan bacaan yang mengumbar keburukan orang lain ataupun kesombongan. Ganti dengan tayangan lain yang lebih bernutrisi. Kedua perbanyak istighfar agar kita dijauhkan dari sombong dan ghibah.

Bisakah Palestina Merdeka Pasca-KTT LB OKI lalu?

Helatan The 5th Extraordinary OIC Summit belum lama berselang. Bayang-bayang mesranya relasi negara-negara dengan basis penduduk Islam hangat membekas. Suasana langka mengingat di belahan bumi sana sejumlah negara dengan mayoritas muslim dirundung prahara, yaitu Irak dan Suriah. Hanya saja di pertemuan kali ini fokus agenda ada pada isu Palestina dan Masjid Al Aqsa. Indonesia selaku tuan rumah memang terkesan mendadak dalam menyelenggarakannya, setidaknya dibandingkan dengan Peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika. Gaung agenda ini memang jauh dari hingar bingar. Padahal isu Palestina sudah menjadi isu terdepan bagi berbagai organisasi sosial yang beridentitaskan Islam, termasuk sejumlah partai bernafaskan Islam. Barangkali jika dipersiapkan lebih matang, rasa-rasanya helatan ini bakal menjadi sinergis antara pemerintah dengan masyarakat yang lebih solid. Secara pribadi berharap Presiden Joko Widodo menjadikan helatan ini sebagai langkah konkret untuk memenuhi ucapan janjinya dalam pencalonannya sebagai presiden terkait isu politik luar negeri, khususnya Timur Tengah.

Perjuangan kemerdekaan Palestina masih sangat jauh dan berliku. Pernyataan di media oleh berbagai pemimpin negara sesama anggota OKI tentu tidak serta merta menjadikan kemerdekaan Palestina mutlak diperoleh. Dunia internasional masih belum mencerna makna "egaliter" lantaran dominasi negara-negara superior di kancah diplomasi politik PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Jangankan Palestina yang belum diakui oleh 5 negara pemegang hak veto di PBB, nasib Chechnya dan Ossetia saja masih menjadi angan lantaran masih ada satu dua pemegang veto yang "seenaknya" memainkan "kartu trufnya". Permasalahan Palestina semakin pelik mengingat badai di daerah Timur Tengah belum juga reda. Prahara di Irak dan Suriah makin menguras ketahanan negara-negara Islam yang sebelumnya telah "dipreteli" melalui ambruknya Mesir dan Libya. Tapi isu Palestina tentu memperoleh "keistimewaan" karena dua hal. Pertama eksistensi Masjid Al Aqsha dan kedua faktor konflik "abadi" negara-negara Islam versus Israel, negara yang mencaplok wilayah Palestina. Campur tangan Israel di politik kasat mata Amerika Serikat dan Inggris menjadikan kedua negara tersebut sulit berperan objektif dalam menangani konflik berskala internasional.

Tapi belum saatnya "mati" jika kita belum "wafat".
Orang mungkin bertanya "kenapa sih sok sok ngedukung Palestina?"
Orang mungkin bertanya "kenapa nggak bersikap konkret dengan membenahi urusan dalam negeri dulu?"
Orang mungkin bertanya ini itu banyaklah
Tapi tugas kita bertindak nyata, bukan sibuk menjawab jika kita sudah tahu hanya menyulut debat

3 yang Pecah

Akhirnya seyelah terlunta-lunta rencana ini akhirnya terselip kesempatan jua, yaitu menonton film 3 Alim Lam Mim. Film yang terlanjur ditarik dari jadwal bioskop. Film yang terlanjur digelar nobar di berbagai kesempatan yang malangnya tidak bisa saya sempati. Karena film ini sudah disiarkan agak lama, maka saya rasa tidak ada spoiler diantara kita.

Film ini sudah kelewat berani mengangkat set waktu 2036, sesuatu yang terlalu langka di industri film Indonesia. Tidak sekedar berangan-angan secara teori, namun tampak imajinasi Internet of Things diumbar di film ini, terlalu khayalan "liar" tentang nasib Indonesia sekian tahun ke depan. Maka tidak heran jika di film 3 ini kita bakal dijejali berbagai perandaian yang boleh jadi adalah puzzle tersembunyi dan isyarat kode.

Tiga karakter diterbitkan sebagai representasi niat baik, yaitu Alif sebagai aparat, Lam sebagai jurnalis (duh jurnal ya? ko jadi ingat paper), dan Mim sebagai pemuka agama. Ketiganya memiliki akar yang sama, yaitu murid sebuah perguruan pencak silat. Pengembaraan ketiga mengantat mereka merengkuh titian masing-masing dengan menjunjung kebenaran yang mereka yakini. Di sini tampak bahwa mereka menghadapi konflik batin lantaran perbedaan cara pikir dengan atasannya masing-masing. Atasan Alif yang birokratif, atasan Lam yang takut medianya dibrendel, dan atasan Mim yang patuh pada perintah negara. Ketiga lakon ini pun mulai dibenturkan dengan berbagai insiden yang menubrukkan mereka ke dalam pusaran konflik kepentingan yang didalangi oleh pihak di balik layar.

Dari tiga karakter yang ada, saya terus terang tertarik dengan sosok Lam. Alasannya sederhana, beliau adalah jurnalis yang sangat idealispus dihadapkan pada runyamnya kasus keamanan informasi. Ketidakwaspadaannya berbuah malapetaka berupa riset setengah matangnya yang diumar ke publik oleh cracker dan menjadi fitnah kepada pesantren milik Lam. Paradigma modernnya walau telah digiring mengenai kekuatan media, ternyata tidak membuatnya lupa untuk menjaga kapabilitas beladiri.

Hanya saja, ada satu dialog yang menurut saya terlalu kontroversi. Penyebutan kata "revolusi", "jenderal", dan "pahlawan" sangat menyulut api. Tiga kata itu terkait sebuah momen paling kontroversi sepanjang sejarah Indonesia, kontroversi yang terlalu sulit dijelaskan apa yang sebetulnya terjadi. Di luar itu, semua khayalan liar di film ini sudah sangat sarat makna, terutama mengenai "rapatkan shaf".

Dekat tak Berarti Pasti Tertambat

Dekat tak berarti tertambat
Arus belum erat untuk waktunya merapat
Hulu belum menyinggung kata sepakat
Lantaran iklim melesat bersiasat

Dekat tak berarti merapat
Mungkin malah jadi penghambat
Bagi tumbuhnya cita yang hebat
Dan peta yang perlu diralat

Hakikat tak selalu tentang habibat
Karena manfaat ialah ekornya amanat
Merekat dimana pun tempat tersurat
Berlabuhlah di tempat nyala tersirat

Dekat tak berarti merapat
Bila terhambat tautan penyumbat
Atau hikayat gelisah pelat
Percepat saja langkah yang tersendat

Lsetapak Langkah

Rima-Rima Sederhana: Pesawat Kertas dan Mimpi

Rentang ada berjarak berjuta langkah tapak
Serunai dalam buluh nafas riangi kabarku
Bilakah perca itu kurajut dengan benang asa

Wanginya gerimis sekujur hari
Damai bersemayam selimuti  memori
Pada lingkar janji tiada bertepi

Hingga di suatu pagi aku hirupi aroma bumi
Dekapi serangkai nama penuh makna
Dalam bingkai yojana

Satu Turnamen lagikah menuju ISC?

3 stadion di Kalimantan Timur dalam 3 pekan ini sedang menghelat Piala Gubernur Kaltim. Total 12 tim berpartisipasi dalam "turnamen" tingkat nasional dan disiarkan langsung oleh sebuah stasiun televisi. Ya, sebuah turnamen kembali digelar untuk ,engisi gersangnya cuacanya persepakbolaan Indonesia. Di saat bersamaan PTLI masih diliputi rencana menggelar ISC (evolusi dari ISL dan Divisi Itama) yang betul-betul masih rencana karena PSSI masih berprahara dengan Kemenpora. Apakah turnamen Piala Gubernur Kaltim ini akan menjamin persiapan menuju ISC ataukah hanya mengukur waktu sebagaimana Piala Presiden,  Piala Jenderal Soedirman, Bali Island Cup, Habibie Cup?

Sebagai pentonton dan pendukung salah satu kontestan jelas saya diuntungkan karena mendapat hiburan yang menyenangkan . Bagaimana dengan Kemenpora? Ah sudahlah saya makin malas mengomentari lembaga satu ini jika disinggung kisruh setahun lebih yang minim perbaikan. Lalu klub peserrta? Tentu diuntungkan karena bisa mengais laba dari harga partisipasi. Pemain? Mungkin bagi yang bermain, bagaimana yang tidak? Lebih jauh lagi, jangka panjang pencaharian si pemain yang ibaratnya menanti hujan ruda di tengah badai.

Saya tertarik menyaksikan komitmen asosiasi pemain yang tampak dihiraukan gertakannya. Hal yang wajar karena himbauan boikot akan ambruk jika klib masih bisa mengiming-imingi sebagian pemain dengan honor di supebuah turnamen. Belum lagi jika si pemain sudah terlanjur teken kontrak.

Ah, baiklah, kita nikmati saja bola yang terlanjur bergulir...

Sejengkal Tepisan dari Kang Emil 2016

Isu yang mengasapi bumi Kota Bandung sementara ini mulai reda. Maklum, warga Kota Bandung kelewat heboh menggunakan socmed yang berisi kebanggaan atas perkembangan kota mereka dalam beberapa tahun terakhir. Tentu faktor siapa wali kotanya menjadi salah satu pendorong kebangkitan Kota Bandung di blantika humaniora perkotaan Indonesia. Sebelumnya Kota Bandung merupakan rival Kota Bogor untuk urusan kemacetan angkot. Pasukan D-19 (sebutan angkot di Bandung Raya karena semuanya memiliki huruf plat D dan diawali angka 19) tidak kalah jumlahnya dibandingkan dengan pasukan F-19 (F adalah plat khas Bogor Raya yang juga sama-sama diawali angka 19). Urusan kumuhnya perdagangan jalanan, Bandung tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Julukan Kota Kembang sudah lama ditanggalkan. Namun perlahan Kota Bandung bangkit dan mulai merangkak menjadi pusat pariwisata dan ekonomi kreatif. Dukungan masyarakat jelas menjadi faktor pendorong yang sebetulnya dipicu oleh sikap sang wali kota yang gemar dan tak bosan menjadikan kedekatan dan kekuatan sosial sebagai modal memperbaiki Kota Bandung. Sang wali kota ini tidak mengandalkan tangan besi dalam menata birokrasi, jarang umpatan dan ancaman tercetus dari lidahnya. Prestasi demi prestasi menghampiri Kota Bandung, baik yang sifatnya birokratif maupun non-birokratif.

Persib sebagai klub kebanggaan Kota Bandung akhirnya pecah telor menjadi juara Liga Indonesia 2014. Persib juga mengakhiri puasa laga tanpa Viking-Bobotoh di GBK setelah sang wali kota bertandang ke markas The JakMania. Sebuah langkah konkret yang tidak pernah dilakukan walkot-walkot sebelumnya, yang ironisnya kerap menjadikan Persib sebagai senjata kampanye politik. Piala Adipura juga menjadi ganjaran tersendiri setelah lama Kota Bandung berkubang di jajaran kota terkotor di Indonesia. Tidak perlu susah mencari alasan mereka bisa menggapainya karena dalam Kota Bandung terlalu banyak punya taman. Segala bentuk perizinan mampu dipangkas lewat senjata TIK, gagasan yang tepat karena penetrasi internet di Kota Bandung memang cepat (solusi yang belum tentu pas di daerah lain jika penetrasi internet-nya kurang stabil).

Warga sekitar Kota Bandung, terutama di Bandung Raya, bahkan hingga Jabodetabek mulai dilanda iri. Bukti nyata adalah kemacetan yang pecaaahhh di saat libur panjang terhampar di pintu tol Padalarang. Tujuan mereka tidak melulu Kota Bandung, karena beberapa objek wisata ada di Kota Cimahi, Bandung Barat, dan Kab. Bandung. Tapi gembar-gembor Kota Bandung membuat batas administrasi tidak terlalu diperhatikan. Intinya mereka mau ke Bandung, titik.

Perlahan namun pasti sikap membanding-bandingkan antara kota mereka dengan Kota Bandung kerap terjadi. Hanya saja, meng-"impor" wali kota Bandung ke kota kabupaten di Jabodetabek jelas kecil kemungkinannya. Saya pribadi belum menemukan kasus seorang walikota/bupati menjadi walikota/bupati di daerah lain. Dari sisi politik pun, menjadi wali kota Bandung lebih menggiurkan daripada walikota Bogor, walikota Depok, walikota Tangerang Selatan, atau bahkan 6 walikota di kota-kota pada DKI Jakarta. Khusus DKI Jakarta, sosok walikota tidak akan pernah dikenal publik kecuali kalau mereka kena kasus korupsi ataupun berantem dengan gubernur DKI Jakarta. Karena itu jika ada yang tidak beres dengan Jakarta, ataupun sesuatu hebat macam penggusuran kawasan "lampu merah", maka yang diburu wartawan adalah sosok gubernur DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta? Ya, ini adalah jabatan paling populer di Indonesia setelah Presiden dan Wakil Presiden RI. Anak kecil seukuran SD atau SMP mungkin tidak tahu siapa Ketua MPR, DPR, ataupun Mendiknas, tapi mereka (kemungkinan besar) tahu siapa gubernur DKI Jakarta. Pernah adakah sebuah pemilihan gubernur yang sampai menggiring seorang gubernur petahana dari pulau seberang, seorang mantan bupati dari pulau seberang, plus seorang walikota provinsi seberang untuk ikut berpartisipasi dan itu mereka melawan petahana? Barangkali pilkada DKI Jakarta 2012 mencatatkan rekor tersendiri karena bisa menggoda gubernur Sumatera Selatan, mantan bupati Belitung Timur, dan walikota Surakarta untuk meramaikannya. Jika sampai Kang Emil maju dan terpilih sebagai gubernur DKI maka rekor tersendiri sebuah provinsi dipimpin secara beruntun oleh 3 mantan walikota/bupati dari luar provinsi tersebut. Apakah ini tanda Jakarta sangat inklusif ataukah indikasi krisis kepemimpinan? Semua tergantung sudut pandang.

Permasalahan di Kota Bandung sebelum Kang Emil menjabat banyak kemiripan dengan provinsi DKI Jakarta saat ini. Maka tidak heran beliau digadang-gadang sebagai calon gubernur favorit untuk DKI Jakarta. Pengalaman profesional berbagai proyek di Jakarta, kecakapan negosiasi laga final Persib di GBK, hingga kemajemukan masyarakat Jakarta jelas menjadi "kabel" yang memanasi tensi isu majunya Kang Emil di Pilgub mendatang. Namun sementara ini isu itu mampu diberangus lewat berbagai argumen panjang yang intinya satu "menuntaskan amanat sebagai walikota Bandung". Sejati alasan menuntaskan amanat merupakan hal yang sangat saya apresiasi. Alasannya satu, dia berarti siap mempertahankan janji alias kontraknya sesuai durasi sebagai pelayan publik dan juga menepati sumpah yang konon diucapkan saat Al Qur'an memayungi kepalanya.

Sementara, ya hanya sementara, karena di dunia politik semua bisa terjadi. Mantan calon gubernur DKI Jakarta juga pernah berujar akan menyelesaikan masa jabatannya sebagai gubernur jika terpilih. Tapi "calon gubernur" berbeda dengan "gubernur" yang akhirnya #ahSudahlah. Setahu saya Kang Emil tidak terafiliasi dengan parpol manapun walau ada beberapa partai yang kerap membajak wajahnya untuk diklaim sebagai kader mereka. Namun posisi walikota adalah jabatan politik dan dikelilingi oleh iklim politik. Harapan saya, komitmen Kang Emil di 29 Februari 2016 kemarin masih sama hingga akhir masa jabatan nanti. Apakah akan menjadi calon gubernur Jawa Barat, calon gubernur DKI Jakarta (walau terus terang saya merasa beliau justru bakal lebih berkembang jika menjadi gubernur di provinsi di luar Pulau Jawa), atau bahkan presiden RI (kalau beneran wah tamatlah riwayatmu para jomblo se-Indonesia karena siap di-bully selama 5 tahun kepemimpinannya).