Saturday Happy Saturday

Jangan Kalah dengan Fauna

Fauna, satwa, hewan, hingga binatang. Semuanya mengacu ke kingdom Animalia yang sangat ilmiah banget bahasanya dalam konteks sains. Namun saya lebih suka menyebut "fauna" karena kesannya yang halus. Cocok untuk cerita singkat yang terinspirasi (kebetulan lagi-lagi) dari Ust. Salim A. Fillah pada MJN Sabtu (23/1) lalu. Tentang beberapa fauna yang mampu menorehkan "prestasi' berupa di-mention dalam Al Qur'an, sebuah kitab suci yang sangat sucinya sampai-sampai hingga saat ini penyimpangan redaksional pun dapat diidentifikasi. Prestasi tersebut, (jika mengacu istilah Twitter, social media yang juga berlogo sebuah fauna) bukan di-mention biasa. Apa yang mereka ucapkan telah di-RT sebagai pelajaran yang berharga bagi manusia, sebuah insan yang dikatakan sebagai sebaik-baiknya makhluk ciptaan Allah.

Semut di era Nabi Sulaiman as, burung hudhud juga di era Nabi Sulaiman as, serta anjing di era Ashabul Kahfi, apa yang mereka lakukan menjadi sesuatu yang spesial sehingga tertuang di dalam Al Qur'an. Ingatkah cerita semut yang saling berlarian ketika akan ada manusia yang lewat. Lantas ada diantara mereka yang saling mengingatkan satu sama lain. Peristiwa ini menjadi isi dari Surat An-Nahl. Sebuah contoh kepedulian sesama spesies yang memberi pelajaran bagi manusia, spesies yang selama berabad-abad telah saling menghabisi. Pelajaran yang berharga dari semut yang sebetulnya kita pun tidak tahu apakah mereka nantinya akan menjalani alam kubur hingga nantinya ditempatkan diantara surga ataukah neraka. Terlepas dari ketidaktahuan tersebut, maka cobalah kita berkaca betapa kita yang sudah dijanjikan "prosedur" pasca-meninggal itu bagaimana.

Ingatkah perjalanan seekor burung hudhud yang melintasi jarak yang sangaaaaat panjang hanya untuk emnyampaikan amanat dari Nabi Sulaimana kepada Ratu Balqis, penguasa sebuah negeri yang makmur luar biasa namun menyembah matahari. Sedemikian dahsyatnya burung hudhud memegang teguh amanatnya untuk menyeru pada kebaikan walau sebetulnya negara yang menjadi sasaran dakwah Nabi Sulaiman tersebut sudah makmur, tidak ada penderitaan secara langsung. Namun sekali lagi, kita patut malu. Malu saat kita terlalu asyik menggenggam keyakinan kita tanpa mengajarkannya kepada sesama.

Terakhir seekor anjing, fauna yang konon liurnya tergolong najis berat. Tapi kok bisa-bisanya dia menjadi salah satu makhluk yang disanjung atas perjalanan hebatnya bersama para majikannya untuk mempertahankan diri dari serangan orang-orang yang berbuat kemunkaran. Di sini kita pantas untuk terlecut atas fenomena tertindasnya umat Islam, saudara seiman kita, yang nyatanya terlalu kecik niat kita untuk sekedar peduli.

Semoga bermanfaat.

Bersabar di Lingkungan yang Gusar

Ini merupakan cuplikan kisah seorang Rasul yang diulas olrh Ustadz Salim A. Fillah di MJN, Sabtu 23 Jan lalu. Rasul ini barangkali lebih identik dengan ketampanannya daripada kesabarannya, bahkan kita lebih mengenal kesabaran Nabi Syu'aib as dan pula Nabi Muhammad saw. Kebetulankisah kesabarannya sangat gamblang dimuat dalam Al Qur'an secara detail, termasuk perkataan orang-orang di sekitarnya yang mengiringi kiprah keteladanan beliau. Beliau adalah Nabi Yusuf as. Rasul yang juga putra dari seorang Rasul lainnya, Nabi Yakub as.

Banyak lika-liku hidup beliau yang jika diperhatikan sebetulnya jamak terjadi di pada era saat ini. Hanya saja jika kita memadankannya istilah berbahasa Inggris lah, baru kita berbugam "iya juga ya". Bahkan cobaan-cobaan beliau sifatnya kompilasi yang sebetulnya jauh lebih menarik daripada keelokan paras beliau.

Sibling rivalry, istilah ini mengacu pada persaingan antarsaudara di berbagai aspek. Kisah Qabil dan Habil tentu menjadi contoh paling kentara. Era saat fenomena tersebut banyak terjadi, khususnya menyangkut perebutan kasih sayang orang tua dan harta. Nabi Yusuf as saat kecil hasil berhadapan dengan rasa iri dan dengki dari sebagian saudara-saudaranya. Bahkan dia "dijebloskan" ke sebuah lubang yang gelap dan sempit. Jelas wujud "bullying" yang rentan terhadap rasa trauma mendalam. Istilah bullying tentu tidak terlalu asing di era saat ini.

Setelah ditemukan oleh kaum musafir, dia dijadikan statusnya sebagai budak dan kemudian diperjualbelikan. Sebuah tindak kriminal yang pada hari ini kerap dilabeli "human trafficking". Sejauh ini kita patut mencermati mental Sang Nabi yang tidak lantas ikut serta terjerembab di dunia kriminal tersebut. Contoh yang patut diteladani mengingat pelaku kriminal saat ini ternyata banyak dijumpai memiliki status "korban" kasus kriminal di masa lalu. Yes, they've chosen the "dark side".

Masa perbudakan akhirnya mempertemukan Nabi Yusuf ke ujian yang paling didetailkan dalam Al Qur'an. Rayuan si istri majikan menempatkan Nabi Yusuf sebagai korban "se*sensor* abusement". Ternyata itu bukan klimaksnya, beliau lantas didudukkan sebagai pelaku dalam insiden tersebut, bukan korban. Fitnah yang tidak terlalu asing kita lihat kemiripannya di era saat ini. Bahkan ketampanannya malah dipertontonkan oleh si istri majikan di kawan-kawan dekatnya. "Physical exploitation" jika kita mencari padanan istilah di hari ini.  Sederet peristiwa lantas menghigapi beliau di penjara hingga akhirnya melesat karirnya sebagai salah seorang "birokrat" ulung di negeri tersebut, apalagi pasca gagasannya menanggulangi bencana kekeringan.

Terus terang, bagian melejitnya karier beliau menghadirkan sebuah renungan. Berbagai kisah inspirasi orang sukses, termasuk di Indonesia, selaku menempatkan kekurangan ekonomi sebagai "nilai jual" si tokoh yang kemudian sukses. Belum saya temukan (cmiiw) buku yang mengulas sosok yang terlumuri kenaasan sebagai korban pelanggaran HAM, dimana si tokoh mampu mempertahankan keimanannya, dan lebih jauh lagi tidak mendendam kesumat pada orang yang menjadi pangkal berbagai penderitaan yang menjajahnya.

Kesabaran beliau, dikombinasikan dengan iman dan senantiasa berprasangka baik Allah, itulah formulanya.

Naga Tundukkan Kabau, plus Singo, Macan, dkk

Turnamen tingkat nasional kembali dihelat di bumi Indonesia ini. Sebuah oase temporer yang menyejukkan insan sepak bola, walau emmang hanya untuk sementara. Di tengah badai kerontangnya ekosistem sepak bola Indonesia, dua klub di luar Pulau Jawa membuktikan kepiawaiannya untuk tampil "mengejutkan" di turnamen bertitel Piala Jenderal Sudirman 2015 (harusnya juga "2016"). Klub asal Sumatera Barat, Semen Padang berjibaku melawan Mitra Kukar, klub asal Kutai Kartanegara. Keduanya tercatat sebagai klub kedua dan ketiga yang emnginjakkan kakinya di Stadion Utama Gelora Bung Karno setelah Persib Bandung dan Sriwijaya FC, terhitung sejak pemblokiran PSSI oleh Kemenpora.

Sumber: Republika


Sangat spesial memang menilik status dan sejarah kedua tim yang bukanlah klub berbasis prestasi mentereng di Indonesia, tentu bila dibandingkan dengan Persis Solo, Persija Jakarta, Persib Bandung, Arema Cronus, hingga Sriwijaya FC dan Persipura Jayapura. Namun, kedua tim ini mampu menjadi kekuatna tersendiri yang menumbangkan dominasi klub-klub yang lebih mapan dari sisi finansial dan sokongan pemerintah. Bicara sejarah, tentu ini final yang menarik karena pertama kalinya sebuah turnamen mampu menyuguhkan final sesama "alumni" Galatama. Semen Padang adalah jebolan Galatama yang sempat terjerembab di kasta kedua Liga Indonesia sejak bergulir ISL. Saat pecah kongsi di PSSI yang menyebabkan rivalitas ISL vs IPL, Semen Padang "patuh" pada PSSI untuk berlaga di IPL. Torehan juara IPL 2012, runner up Piala Indonesia 2012, Charity Shield 2012, plus berlaga di Piala AFC membuat nama mereka mentereng dan saling berlomba dalam kejayaan dengan Sriwijaya FC. Sebagai catatan, sisa ke-Galatama-an mereka masih membekas berupa tata kelola yang mandiri menjadikan mereka jauh dari isu telat gaji. Mitra Kukar? Barangkali arek-arek Suroboyo sudah banyak yang lupa bahwa klub ini adalah jebolan Kota Pahlawan tersebut. Niac Mitra, yang kemudian berganti "plang" menjadi Mitra Surabaya sempat menantang Arsenal plus menguasai Galatama. Mereka lantas terjerembab hutang dan dilego ke beberapa apihak hingga Pemkab Kukar mengakuisisinya. Prestasi terbaik Mitra Kukar adalah peringkat 3 ISL 2011. Sejarah heroik memang. Konsep final ini juga menjadi yang ketiga kalinya mempertemukan dua klub di luar Pulau Jawa, tentu jika dibandingkan dengan kompetisi nasional ataupun Liga Indonesia (PSM vs PKT dan SFC vs PSMS).
Sumber: antara

Dan final semalam melahirkan penguasa baru di kancah sepak bola Indonesia asal Benua Etam, yaitu Mitra Kukar. Sang Naga Mekes berhasil menaklukan Kabau Sirah diiringi hujan riuh di GBK. Kedua tim mepertontonkan semangat menggebu dengan kesamaan yang sangat membangakan. Kesamaan yang membanggakan ini adalah: dominasi pemain muda, ketergantungan pemain asing masih taraf wajar, dan komposisi pemain yang telah bertahan sekian waktu.

Jangan Hanya Narcis dan Sinis [1]

Di penghujung tahun 2015 lalu, Kementerian PAN-RB telah merilis Rapor Akuntabilitas Kinerja Kementerian/Lembaga/Provinsi. Suasana penilaian kuantitas memang mulai mewadah di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Jelas pengaruh riset yang mengomparasi antarobjek tampak sebagai proses adopsi dari lembaga-lembaga global, misalnya World Economy Forum, UNICEF. OK, bukan proses adopsi yang saya soroti, melainkan hasil penilaian serta dampaknya bagi masyarakat.

Hasil penilaian terpampang di website KemenPAN-RB, namun detail pencapaian tiap borang belum tertuang jelas. Memang, saya tidak menyangsikan eksistensi si peraih nomor 1, DI Yogyakarta (malah merasa kesuksesan mereka sangat wajar tampaknya mengingat stabilitas sosial ekonomi politiknya). Secara pribadi bercita-cita rapor ini lebih detaild an disajikan secara kreatif. Barangkali "melirik" buku-buku garapan World Economy Forum bisa memberi inspirasi. Malah, jika mau cobalah untuk menyaksikan raport anak SD yang tidak sekedar ranking berapa, tapi capaian tiap mata pelajarannya dimana.

Berlanjut ke isi dimana seperti saya singgung DI Yogyakarta peringkat 1, hhmmmm, sangat tidak kaget. Beberapa faktor patut diperkirakan sebagai alasan kesuksesan provinsi yang terkenal kuliner gudhegnya ini. Pemerintahan provinsi yang stabil dimana sosok SHB X sudah matang dalam pengalaman sebagai gubernur. Status gubernur sekaligus sultan juga mendorongnya untuk tidak berkorupsi. Ketika banyak pemimpin daerah dan legislatif tersandung kasus korupsi karena "balas budi" dan "nyetor" ke partai, maka pemimpin DI Yogyakarta tidak perlu "balas budi" dan "nyetor" ke partai manapun. DI Yogyakarta memang jauh dari hiruk pikuk dalam beberapa tahun terakhir (kecuali kasus pelecehan primordial oleh seorang oknum pendatang). Tapi ini pula yang membuat mereka (pemerintah DI Yogyakarta) tidak terganggu dan tidak perlu pencitraan. Saya lebih menyoroti status DI Yogyakarta yang semakin diramaikan oleh pendatang dari luar provinsi. Dibandingkan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, DI Yogyakarta tergolong "sesak pendatang", mungkin hanya kalah dari DKI Jakarta dan Jawa Barat. Tapi prestasi dit ahun 2015 lalu menunjukkan bahwa pemerintah DI Yogyakarta mampu menangani keragaman tersebut.

Beralih ke empat provinsi lainnya di peringkat 2 s.d. 5: Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, dan Kalimantan Timur. Pertanyaan sederhana, "Ada yang hafal nama gubernur dan wakil gubernurnya?" agaknya hanya Jawa Timur yang lebih populer, sedangkan 3 provinsi lainnya minim pemberitaan. Bahkan jika lebih jujur, popularitas pemerintah Jawa Timur, khususnya sang gubernur dan wakil gubernurnya sangat kalah dibandingkan nama wali kota Surabaya. Eksistensi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur agaknya menjadi bukti bahwa profesionalisme provinsi di luar Pulau Jawa tidak perlu diragukan. Barangkali kedua provinsi ini plus Bali harus bisa lebih gencar membangun perguruan tinggi agar SDM-nya makin berkualitas dan mau menjaga prestasi yang telah ditorehkan ini di era mendatang. PR yang berat untuk mempertahankan prestasi ini bagi Pak Awang Faroek Ishak (Gubernur Kalimantan Timur), I Made Mangku Pastika (Gubernur Bali), dan H. Sahbirin Noor (Gubernur terpilih Kalimantan Selatan).

Lantas siapa saja di peringkat 6 s.d. 10: Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Kepulauan Riau. Sumatera Selatan betul-betul mendentum di satu dekade terakhir. Keberhasilan menjadi tuan rumah (bersama) di SEA Games 2011 plus tuan rumah (bersama) Asian Games 2018 membuat provinsi satu ini berpendar dengan hebatnya. Sentra peradaban di Pulau Sumatera yang sebelumnya Sumut-sentris, khususnya Medan, kini bergeser ke Sumsel-sentri, khususnya Palembang. Salah satu provinsi "muda" di Indonesia, yaitu Kepulauan Riau tanpa dinyana menyeruak ke ranking 10. Secara pribadi, ini adalah kejutan yang sangat saya apresiasi. Kepri merupakan provinsi yang satu-satunya menggunakan kata "Kepulauan", padahal Maluku, Maluku Utara, NTB, dan NTT tidak demikian. Dan wilayah mereka betul-betul sangat imut lembut di peta. Jika menyimak Google Maps, maka kita perlu scrol beberapa kali agar bisa melihat ada di mana saja pulau-pulau di Kepri. Transportasi laut jelas menjadi satu-satunya kabel koordinasi di provinsi satu ini. Tapi mereka bisa :)

Jika lakukan segmentasi, ada fakta unik tapi bisa juga menyesakkan. Pertama persebaran provinsi berotonomi khusus yang menempatkan DI Yogyakarta di ranking 1 nilai AA jauh meninggal 3 provinsi lainnya: DKI Jakarta (ranking 18 indeks CC), Aceh (20 CC), dan Papua (31 C). Apakah otonomi yang lebih kental tidak otomatis mengerek nilai akuntabilitas dan performansi ketiga provinsi lainnya. Kedua jika kita bagi berdasarkan zona waktu, maka WIT betul-betul masih jauh tertinggal dengan rincian Maluku (23 CC), Papua (31 C), Papua Barat (32 C), dan Maluku Utara (33 C).

Yang menarik dan juga menyebalkan adalah dampak yang beredar di masyarakat. Ada apa memang? Tentu ini berkaitan dengan mengasosiasikan hasilt ersebut pada sosok tunggal gubernur. Nantikan selengkapnya di artikel jilid [2] :)


First "blind" Shopping

Arsitektur Masjid Al Ukhuwah Bandung

Buku Isinya Orang-Orang Keren Berkirim Surat

Dapat pinjaman buku kece dari kawan di Himmpas UI yang sebetulnya sudah cukup lama terbitnya, yaitu tahun 2012 lalu. Isinya menarik karena menawarkan curhatan dari berbagai tokoh terkemuka di Indonesia. Curhatan para tokoh ini, yang notabene pejabat publik, atlet, seniman, wiraswasta, board of director, sastrawan, hingga tokoh agama, disajika dalam bentuk surat yang membuat kita merasakan "mendengar" pesan-pesan penuh makna mereka. Beberapa tokoh malah menyelipkan surat (dalam arti denotatif) berupa dokumen yang asli dibuat oleh mereka, baik ketikan maupun tulis tangan.

Sampulnya menyiratkan makna klasik yang sederhana namun memberi kesan sesuatu yang spesial. Pemilihan font yang menyerupai tulisan tangan seolah mengilustrasikan isi buku ini.

 Coach Rahmad Darmawan disajikan lukisannya beserta profil singkatnya

Sebuah surat tulis tangan dari tokoh terkemuka asal Papua

Secara pribadi ada beberapa nama saya rasa bisa memberikan kesan kuat agar buku ini makin lengkap ceritanya tentang "Menjadi Indonesia". Pertama adalah Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang kebetulan keduanya adalah mantan petinggi GAM. Tentu ada kisah menarik melirik status mereka yang kini merupakan orang yang "paling bertanggung jawab" atas keutuhan Indonesia di pucuk Pulau Sumatera ini. Kedua adalah Hasbullah Thabrani, salah seorang pakar kesehatan masyarakat yang punya andil besar sebagai "arsitek" BPJS, sebuah sistem informasi yang menjadi ekosistem untuk pemerataan ketahanan Bangsa Indonesia di bidang kesehatan. Ketiga adalah Nurdin, Bupati Bantaeng yang memilih hijrah dari kenikmatan sebagai akademisi untuk mengabdi pada masyarakat.

Tour de UI 2008

Salah satu foto jadul yang lumayan memberi kesan tersendiri. Saat itu saya (dan juga rekan-rekan di foto tersebut) baru saja mengakhiri semester 5 di SMA masing-masing. Artinya kami hampir menuntaskan jenjang SMA/SMK/MA dan akan memasuki jenjang pendidikan tinggi yang "ngenes"-nya masih bureng. Acara yang kami ikuti di foto ini, yaitu Tour de UI merupakan salah satu dari alternatif untuk membuka wawasan tentang perkuliahan, khususnya di kampus legendaris, yang masih terlalu waaah bagi masyarakat Tegal Raya, yaitu Universitas Indonesia (UI).




Secara pribadi saat itu sudah mulai membulatkan tekad untuk mengambil Teknik Informatika di IT Telkom. Namun partisipasi saya acara ini menggusung beberapa target inspirasi. Yang paling utama jelas, yaitu menyerap informasi dan juga menjalani simulasi kecil kehidupan di dalam kampus. UI, dengan asrama dan gedung perkuliahannya yang gedeeee banget, memiliki potensi untuk dijadikan "wisata edukasi" bagi siswa SMA/SMK/MA yang hanya tahu suasana perkulihan dari cerita senior ke senior. Tidak ada social media yang memberi "treaser" hal-hal menarik di dunia perkuliahan, apalagi fanpage macam Kartun Mahasiswa :v . Bocoran suasana perkuliahan pun jarang didapati dari film-film fiksi di televisi, mmmm, wabah SMA/SMK/MA sebagai latar belakang FTV saat itu mulai terjadi, setidaknya sedikit lebih baik daripada sekarang yang mulai memangsa SMP/MTs. Hanya saja, di balik tekad bulat yang sudah bundar di kampus yang berlogo globe, tetap saja saya menyimpan angan berkuliah di sini, termasuk melanjutkan S2.




Ternyata sekitar 6 tahun pasca-kunjungan itu, saya "kembali" ke UI. Bukan sebagai numpang lewat ikut acara apa gitu, melainkan registrasi maba S2. Registrasi yang mengawali petualangan 3 semester (lebih dikit) sebagai mahasiswa UI dengan berbagai kekhasannya.

Sudah Sepekan

Hari ini genap (eh ganjil dink) satu pekan pascainsiden Bom Sarinah. Insiden bom kali memang harus diakui sangat berbeda dibandingkan insiden terorisme maupun sabotase terhadap masyarakat sipil pada umumnya. Terlalu banyak "misteri" dan kejadian di luar pakem yang membuatnya mampu menelurkan berbagai imajinasi "di balik layar". Sebetulnya bukan pertama kali sebuah serangan terorisme terjadi di kawasan "jantung" ibu kota Indonesia Jakarta. Namun bagi saya pribadi, saya belum menemukan alasan "Mengapa Sarinah?". Rasa-rasanya Grand Indonesia, Monas, hingga kawasan kedubes negara-negara NATO sangat jauh lebih menggiurkan. Terlebih jika melihat barang bukti berupa granat yang (tanpa bermaksud meremehkan) efeknya kalah dahsyat dibanding bom TNT. Melihat agenda politik yang ada pun sebetulnya tidak ada momen yang betul-betul sakral, terutama menyangkut Indonesia dengan dunia internasional.

Bisa saja sudah terendus
Sejak mengambil mata kuliah SPPK di S1 plus mengamati peta kenegaraan Indonesia, saya merasa ada dua fakta yang berlangsung di Indonesia. Fakta yang pertama adalah fakta semi-opini,yaitu kejadian yang kita ketahui dan "dianggap" sebagai fakta berdasarkan pemberitaan media, termasuk press release dari lembaga negara, termasuk di dalamnya pernyataan Kepolisian RI. Fakta yang kedua adalah kejadian sebenarnya yang disembunyikan dari masyarakat dan juga media. Sebagai contoh, kita hanya tahu ada resuffle kabinet karena kinerja menteri yang tidak sesuai harapan, urusan alasan detail terkait lobi politik tentu itu disimpan jauh-jauh dari endusan masyarakat, ya seperti kenangan mantan gitu #eh . Terkait bom Sarinah, tentu yang kita tahu hanya seutas liputan media dan juga social media. Namun sudah barang pasti ada banyak behind of the scene-nya. Apakah kejadian kemarin benar-benar lolos dari perkiraan polisi dan juga intel Indonesia? Benarkah insiden yang terjadi sesuai rencana awal tim teroris? Ataukah yang terjadi kemarin adalah sintesis dari skenario tim teroris yang mampu diacak-acak oleh intel dan polisi, baik sebelum kejadian maupun setelah kejadian? Terus terang saya tidak percaya 100% bahwa beberapa aparat yang berafiliasi dengan Polri itu betul-betul kebetulan ada di TKP, walau memang ada yang beralasan sedang jaga sambil "ngopi"

Antara pragmatis dan sulit dimengertiSatu kejadian yang membuat saya sulit memahami cara berpikir pelaku adalah saat terjadinya penembakan brutal pascapeledakan bom di awal. Sulit membayangkan skenario peledakan bom yang memancing masyarakat Indonesia berkerumun lalu melancarkan penembakan membabi buta. Artinya penembakan yang terjadi bukanlah skenario awal, setidaknya lokasi penembakan dan momennya. Jika mengincar jumlah korban tembak, tentu lebih "efektif" dengan menembaki masyarakat tidak di sekitar TKP, tapi justru di tempat-tempat "pengungsian" seperti hotel dan perkantoran di dekat situ. Malah keberadaan polisi di TKP akan menjadi penghalang atas keleluasaan penembak. Jika fokus pada menyelamatkan diri, maka harusnya dia memanfaatkan keramaian untuk kabur dan membuang senjata entah kemana. Namun kenapa si pelaku tampak tidak berorientasi pada jumlah korban ataupun penyelamatan diri sendiri? Apakah memang sedari awal dia berencana untuk menamatkan riwayatnya di situ? Ataukah ada perintah mendadak dari "bos"-nya untuk "menuntaskan tugas" di situ?

Masyarakat kepo tingkat akutInsiden bom di Legian, Kuningan, Marriot, dll menghasilkan pergerakan massa yang hebat, tapi arahnya adalah menjauhi TKP. Terus terang kalau insiden kemarin itu sebuah scene film, maka saya akan sangat tidak percaya melihatnya. Kerumunan baru bubar setelah "unjuk senjata" oleh salah seorang pelaku. Jika tidak ada aksi tersebut, mungkin kerumunan ini tidak membubarkan diri. Malah ketika penembakan belum reda, masyarakat di sekitar kejadian masih kepo terhadap kelangsung baku tembak

"dia" dan "dia" bisa di sekitar kitaKebayang nggak sih berkerumun di sebuah lokasi peledakan dan ternyata diantara kita ada teman sekomplotan pemboman tersebut. Penampilan si pelaku penembakan memang sangat anak muda kasual Jakarta. Bahkan beberapa polisi yang ikut terlibat dalam baku tembak pun berpakaian sipil layaknya karyawan kantoran. Sempat saya bertanya ke rekan satu proyek saya saat menonton kejadian, "kalau jadi satpam kantor deket situ, terus ada orang nggak dikenal minta tolong masuk untuk mengaman diri, kira-kira dikasih masuk nggak?" bisa saja dia itu pelaku yang membawa senjata di dalam tasnya.

Antara Berani, Angkuh, dan Humoris
Era sosial media sangat mempengaruhi pemikiran manusia. Jika di Timur Tengah social media menjadi alat kampanye untuk menggalang dukungan menumbangkan rezim petahana, maka di sini social media mampu menyulap insiden 14 Januari menjadi "meme" di 15 Januarinya. Yang fenomenal tentu si tukang sate. Walau jujur, saya menyimpan secuil kecurigaan, apakah dia benar-benar tukang sate? Siapa tahu dia adalah intel, polisi, atau bahkan... supervisor para pelaku

Mungkin karena korban sedikit
Korban yang non-pelaku hanya dua orang membuat insiden Bom Sarinah mampu disikapi dengna "garang" plus sedikit "humor" oleh masyarakat. Tentu lain cerita jika korban yang berjatuhan banyak. Sulit tagar spesial #KamiTidakTakut menjadi populer, apalagi cerita si tukang sate.

Nulis paper lagi?

Alhamdulillah batas waktu pengumpulan paper di ICoICT diperpanjang menjadi 15 Februari 2016. Namun bisa juga bermakna innalillahi juga. Ya tentu perpanjangan itu memberi dampak berupa tamtangan dalam mengelola waktu. Singkatnya "Apakah waktu yang relatif lebih longgar ini bisa dimanfaatkan dengan baik?"

Proses pembuatan paper kali ini hampir mirip dengan proses sebelumnya, yaitu didominasi oleh penggunaan surel sebagai jalur komunikasi. Efisien memang, namun apakah efektif? Sulit menjawabnya karena proses yang berlangsung penuh dinamis. paper sifatnya detail dan tidak semua komunikasi tulisan (dan juga lisan) bisa dikomunikasikan dengan benar-benar mengakomodasi keingingan para personal yang terlibat di dalamnya.

"Kontribusi apa yang diharapkan?"
Pertanyaan (dengan redaksional kurang lebih seperti itu) yang dilontarkan Pak Nizar di tengah pembuatan paper ini (saat 'tengah', mungkin lebih tepat disebut 'awal'). Sederhana namun membuat saya lebih berintrospeksi diri tentang kebermanfaatan yang disimpan di dalam gagasan menulis ini. Tidak bisa memang kita egois membuat sesuatu yang manfaatnya tidak bisa dirasakan orang lain. Riset dan pengabdian masyarakat memang dimensi yang bersaudara dalam tri dharma perguruan tinggi. Keduanya beriringan dan akan saling mengevaluasi satu sama lain. Perlu kemampuan tersendiri untuk mengoneksikan keduanya. Kita perlu pengendalian diri agar kita tidak sekedar produktif dalam riset, namun menghubungkannya ke pengabdian masyarakat. Dalam konteks ini, tunjukkanlah apa manfaat yang bisa dikontribusikan dari penelitian kita. Lebih jauh lagi, apakah manfaat itu luas? Apakah manfaat itu hanya subjektif mengada-adanya kita saja? Bahasa tertulis yang menjadi penghubung otak kita dengan mata dan pikiran orang lain memegang peranan yang penting.

Museum Bank Mandiri

Saya tidak terlalu memahami seluk beluk perbankan Indonesia. Bahkan tidak pernah meniatkan diri menjadi karyawan IT di bank manapun, #atleastSejauhIni. Namun menyaksikan gedung tua yang berstatus museum tentu menarik perhatian saya untuk menjelajahinya. Ada banyak imajinasi tentang kondisi sosial ekonomi yang coba diceritakan oleh museum tersebut, termasuk di dalam seluk beluk dunia teknologi informasi dan komunikasi yang perlahan menempati "singgasana" di industri perbankan.


Beuuuh 10 tahun Raicab V

Nggak kerasa sudah satu dekade sejak Raimuna Cabang yang dihelat di Bumi Perkemahan Martoloyo, Desa Suniarsih. Kalau tidak salah dulu tanggal pelaksanaannya 16 s.d. 19 Januari 2006. Saat itu angkatan saya masih belia lantaran baru kelas X. Awalnya kuota kelas X yang akan diikutkan di Raicab V ini hanya 3 atau 4, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan kuota awal tersebut, sudah hampir dapat dipastikan saya nggak lolos, mungkin jika kuotanya 15 orang kelas X putra baru saya lolos. Namun seiring berjalannya waktu, kuota tersebut membengkak hingga akhirnya formasi laki-lakinya menjadi 3 orang kelas XI dan 5 orang kelas X, bahkan di penghujung registrasi akhirnya nama saya disodorkan sebagai "subplayer" alias pemain ke-6 dari kelas X putra. Komposisi 3 kelas XI dan 6 kelas X jelas terlalu konyol untuk acara yang sifatnya Giat Prestasi. Apalagi saat upacara pembukaan, barisan dari kontingen SMA/MA/SMK lain sudah mengenakan dek bantara dengan tali komando. Lha kami? #ahsudahlah

Wajah lugu (lucu nan belagu) yang bikin ketawa dari mas Esa, mas Arief, mas Bayu, dan mas Andri.

Mas Subeni, Salah seorang kelas XI yang menjadi pembimbing kami para kelas X di Raicab V, entah apakah musibah atau anugerah baginya

Mendaki Semeru Cinta

Berhubung jalanan menuju TKP-nya menanjak plus nama acaranya mirip dengan sebuah gunung di Jawa Timur, maka judul artikel ini saya labeli "Mendaki". Dari persepsi tentang gunung, kita tentu langsung membayangkan berbagai petualangan penuh tantangan yang menuntut kita memiliki modal berupa mental yang tangguh. Acara yang digalang oleh KAMIL ITB ini menghadirkan dua pembicara, namun karena paginya saya puskesmas (baca: pusing-keseleo-masuk angin) maka hanya berkesempatan menyimak sesi kedua tentang mengatasi kebiasaan marah pada anak. Sesi ini dipaparkan langsung oleh Pak Ustadz M. Fauzil Adhim. Sepintas wajahnay mengingatkan saya pada seorang entrepreneur asal Jogja yang pernah jadi bintang tamu di Kick Andy, tapi begitu melihat orangnya kok mirip seorang dosen di Fasilkom UI, #abaikan hehee.


Materi ini memang menarik bagi saya dan istri walau memang kami masih "harap-harap cemas" menuju HPL alias belum mengasuh seorang anak. Namun dengan pengalaman menjalani masa anak-anak (ya iyalah, mosok langsung gede ganteng begini :v), banyak inspirasi yang perlu kami gali acara parenting seperti ini. Bukan rahasia bahwa konflik orang tua dengan anak itu terjadi dari usia dini, bahkan hingga si anak beranjak dewasa. Alasannay beragam, mulai dari merengek manian, hingga merengek gegara mantan, dari bubur yang terlalu asin, hingga niat ingin kawin, dari pipis di celana hingga IPK yang merana. Ya banyaklah dinamisnya hidup berkeluarga itu. Namun bukan berarti konflik dibiarkan alami begitu saja. Ibarat nasi goreng yang (beberapa, tidak semua) mengandung mecin, maka bumbu-bumbu yang kurang sehat itu perlu diminimalkan. Salah satu bumbu yang perlu diminimalkan adalah marah.

Ya, dengan segala motifnya, marah memang menjadi investasi masa depan yang cukup mengancam. Lantaran kebiasaan marah ataupun marah yang dibiasakan sebagai solusi untuk mengontrol anak, tentu anak akan mendeskripsikan sosok orang tuanya sebagai pemarah. Begitu pula sebaliknya ketika si anak yang mudah marah, maka orang tua perlu cara mengurus yang lebih spesifik. Marah di satu sisi merupakan indikasi yang sangat manusiawi, tapi di lain pihak menjadi sekat yang mengusik romantisme antara anak dan orang tua, termasuk suami dengan istri. Yang perlu diperhatikan adalah mengelola marah agar tetap di jalur yang mendidik. Sedapat mungkin menekankan alasan dalam mengarahkan anak, bukan berpikir pragmatis "yang penting anak nurut". 

Banyak pelajaran lain yang perlu dikejar dan memang harus dikejar setelah "sedikit" tergugah dalam pendakian hari Minggu (17/1) lalu. Bismillah

1st Runaway as Survivor

Kurang lebih 6 tahun lalu alias di Januari 2007, sebuah gagasan tentang survival yang minggat dari bumi perkemahan pertama kali dicetuskan, khususnya oleh kepanitiaan PAB angkatan saya.

Peserta dari kelas X menjalani prosesi yang melelahkan, yaitu mendirikan bivak bermodalkan kekompakan (yang masih dalam proses pembentukan) serta bekal seadanya yang tersedia di alam. Someday, this as memoreable asset for them to consolidate their generation.

Pulang ke buper setelah minggat satu malam. Dari kiri: Heru Kurniawan, Tatan Setiawan, saya, Aditya Setiaji, Bangkit Budiman.

(cmmiw) di tahun-tahun sebelumnya kegiatan survival hanya dilakukan dengan pemblokiran akses makan yang sebelumnya dibawa saat awal perkemahan. Selama 24 jam, seluruh peserta wajib mencari makan dengan cara masing-masing sesuai etika (termasuk kehalalannya donk hehee). Namun dengan lokasi yang sama dengan malam-malam sebelumnya, maka tidak terlalu terasa perbedaannya selain mengubah sumber makanan. Mulai di PAB tahun 2007 tersebut, konsep survival diubah menjadi camping menggunakan bivak di tempat yang jauh dari Buper (buper, bukan baper). Tempat bermukim menjadi menciut dan sangat ala kadarnya. Lebih jauh lagi, sumber air, hingga tempat sholat perlu "mandiri". Hal inilah yang kemudian tahun demi tahun dimodifikasi sesuai kebutuhan tiap angkatan.

Asyik bukan?

Memang masih jauh dari konsep survival-nya Wanadri, Pasma, hingga Ubaloka. Namun kami mengadaptasikannya sesuai kultur lalu mengembangkannya sesuai dinamisnya jaman.

17 Januari 2013

Foto ini diambil persis di tanggal 17 Januari 2013. Hari yang menjadi superbigmatch sebagai mahasiswa S1 IF. Sesuai jadwal pagi itu, saya berkesempatan untuk "talkshow" dengan panelis yang kece-kece, yaitu Pak Erda Guslinar (stuntman dari Bu Sri Widowati), Bu Hetti Hidayati, dan Bu Veronika Effendi. Supervisor saya? Beuh, tak kalah yoiii-nya, yaitu Bu Kusuma Ayu Laksitowening dan Bu Angelina Prima Kurniati.

Bagi yang hafal keseharian saya berbusana, tentu sangat langka momen saya mengenakan kostum rapi sebagaimana di foto. Hanya di momen PDKT 2009 dan PDKT 2012 saya berdandan seperti itu. Namun karena ini hanya yang spesial, saya mencoba untuk "mendobrak" tradisi berpakaian saya. Apalagi, saya yakin bahwa interface mempengaruhi performance. Dan alhamdulillah bisa memantik hasil optimal sesuai target.

Nuhun Ibu-Ibu pembimbing yang sabar
Nuhun Bapak-Ibu penguji yang teliti
Nuhun para penonton yang mau menyempatkan waktu hadir ke talkshow saya, especially Tari yang ternyata dalam hitungan 2,5 tahun kemudian menjadi istri saya dan juga menghadiri sidang karya akhir/tesis saya di MTI UI serta Alfi yang udah memotretkan momen tersebut :)

Mantan pun Reuni #eh

Menarik untuk menyimak sepak terjang keempat eks-pemain Persib yang bereuni ke klub lamanya, Sriwijaya FC

Masjid Raya Baiturrahman

Masih tentang Aceh, provinsi paling Barat NKRI, provinsi yang menjadi daerah terakhir yang baru bisa ditaklukan Belanda saat era pra-kemerdakaan, serta (#helanafas) provinsi yang tidak pernah kusangka akan menjadi titik penting dalam takdir hidup (#uhukkk). Membicarakan Provinsi Aceh, hal yang pertama terbayang adalah Masjid Raya Baiturrahman yang pernah menjadi cover modul mata pelajaran Pendidikan Agama Islam saat SD. Tidak terbayang sama sekali bahwa sekian tahun kemudian, saya berkesempatan menghampiri masjid ini sebuah rangkaian prosesi sakral.

 Dimana-mana masjid memang adem, bahkan dari panorama siang harinya pun sudah menentramkan hati. Menatap masjid ini tentu mengingatkan kita pada bencana tsunami 2004 yang memorak-porandakan Serambi Mekkah dan masjid ini langsung menjadi pusat pengungsian karena kekokohannya.



Who's d'Next? o_O



Surprising Ngumpul Keluarga :)

Sebetulnya saya dan istri kaget dengan informasi kedatangan keluarga dari Tegal yang hanya H-1. Tapi sepanik apapun (maklum rumah perlu banyak berbenah), tidak sedikit pun mereduksi rasa syukur atas kehadiran mereka. Entah sudah berapa kali saya dan istri tidak bisa berkunjung ke Tegal mengingat keterbatasan tenaga dan waktu. Mungkin karena adik saya juga di Bandung, maka sekalian saja keluarga Tegal touring ke Bandung.

TransformeReunion

Museum PLTD Apung Aceh (plus Pantai Ulee Lheue)

Objek wisata ini saya kunjungi (juga) persis setahun yang lalu dan sangat nggak terbayang proses "pembangunan" objek wisata ini yang sangat kental "campur tangan" oleh Allah SWT. Sebuah kapal laut yang seharus berada di dermaga  terdampar di tengah kota Banda Aceh saat tsunami membasahi bumi Serambi Mekkah ini. Memang benar bahwa Allah itu Maha Menghendaki, bahkan apa yang saya saksikan ini hanyalah segelintir dari bukti kekuasaan-Nya.

Jika Museum Aceh merupakan objek wisata buatan (artifisial), maka objek wisata PLTD ini merupakan monumen yang bisa dikatakan sepertiga religi, sepertiga hostori, dan sepertiga alami.

Cheeeersss :)

Begronnya bagus ya? Tatkala seorang sanak family menunjuk arah seberang jauh yang diujarkannya sebagai lokasi dermaga "seharusnya" kapal ini berada, saya berpikir bahwa betapa dahsyatnya megabencana satu dekade lebih itu. Dari lokasi tempat PLTD ini kita akan menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menghantarkan pesan kedamaian dengan panorama yang aduhai... *jangan bandingkan dengan kota megapolitan "itu" ya *



Museum Tsunami

Setahun lalu, ya pada 11 Januari 2015 saya berkesempatan mengunjungi Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Provinsi paling Barat Laut NKRI. Salah satu titik dikunjungi oleh saya beserta rombongan keluarga adalah Museum Tsunami. Lokasi tidak terlalu menyempil di belantara pojok, namun tidak pula menonjol di tengah kota. Namun jangan khawatir tidak bisa menemukannya, kenapa? Bangunan ini spesial dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Aceh walau bukan dirancang oleh masyarakat Aceh sendiri.


Sekedar nama? Menurut saya tidak. Sekilas penayangan nama tidak se-waah dibandingkan foto-foto kejadian, namun nama-nama itu justru membuat kita termenung betapa kecilnya kita. Seolah-olah nama-nama berujar setelah ajal yang akan kita sisakan hanya nama, bukan harta duniawi. Tidak ada yang menyandang gelar akademik dan profesi di sini, tampak "kode" bahwa jangan menyombongkan gelar apapun. 

Bagian yang (setidaknya bagi saya pribadi) menjadi simbol jauhnya kita dari Allah. Sebuah representasi lain betapa "kerdil"-nya diri kita ini atas kuasanya. Diorama yang menerpurukkan kesombongan :)

 Setelah menyusuri jembatan penuh "nuansa nostalgia" kita akan disambut jembatan yang mengekspesikan harapan dan uluran tangan dari berbagai bangsa di dunia. Di sini kita diajak berpikir bahwa jangan terkungkum dalam tempurung kesendirian, apalagi di tengah prahara sekian dekade antara pemerintah pusat vs GAM. Ketika semua dihempas bencana alam, masyarakat Aceh berstatus sama, yaitu sama-sama membutuhkan uluran bantuan, tak hanya dari Indonesia, namun juga dunia.

:) #nocaptionneeded

Nu 7: Arda Turan

Akhirnya si "kartu (apakah truf)" musim ini diluncurkan, yaitu Arda Turan dan Aleix Vidal. Kedunya muncul setelah musim ini Barca meraup 2 trofi, yaitu Piala Super Eropa dan Kejuaraan Dunia Antarklub 2015. Tapi mereka punya memegang peranan penting mendobrak kelabilan Barca yang kerap tersandung di laga-laga melawan klub semenjana.


Transfer Arda Turan (dan juga Aleix Vidal) terhitung unik karena walau resmi berkostum Blaugrana, tepatnya saat rilis skuad 2015/2016, mereka belum bernomor punggung. Sempat beredar rumor bahwa nomor 6 akan dipakai oleh Arda Turan mengingat dirinya seorang gelandang yang kreatif dan disebut-sebut layak mewarisi nomor milik Xavi Hernandez. Namun ternyata nomor itu digaet oleh Daniel Alves yang sebelumnya bernomor 22. Nomor resmi Arda Turan ternyata mengarah ke nomor 7 yang di penghujung bursa transfer musim panas lalu dilowongkan pasca hengkangnya Pedro Rodriguez. Nomor 7 yang diperoleh Arda Turan ini ternyata menyimpan sejarah tersendiri karena kerap diisi oleh pemain-pemain yang cenderung bukan sorotan utama, bahkan cenderung menjadi super-sub, sebut saja Javier Saviola, Eidur Gudjohnsen, David Villa, dan Pedro Rodriguez itu sendiri. Namun mengingat mereka masing-masing striker sayap dan striker dimana di era masing-masing sudah ada nama yang lebih besar, maka wajar mereka redup. Barangkali kita perlu mengungkit Luis Figo yang menjadi maestro lini tengah Barcelona di penghujung era 1990-an. 

Arda Turan menjadi alternatif yang memperkaya opsi Luis Enrique menyusun propaganda serangan Barcelona. Bayangkan saja, di rooster klub ini sudah bersanding sebelumnya nama Andres Iniesta, Ivan Rakitic, Sergio Busquest, Rafinha Alcantara, Sergio Roberto. Sistem rotasi jelas menjadi win-win solution bagi Barcelona jika tidak ingin ada sakit hati lantaran nama-nama tersebut tersisih dengan sakit hati.

Dan khusus bagi individu Arda Turan, jika berhasil membawa Barcelona menjuarai La Liga, maka dia akan menorehkan catatan khusus berubah pemain yang mampu meraih gelar juara La Liga di dua klub berbeda. Sebuah torehan yang sangat langka. Mengapa demikian? Karena La Liga terlalu didominasi oleh Barcelona dan Real Madrid, dan kita tahu rivalitas kedua membuat sangat jarang ada pemain menyeberang. Sosok Bernt Schuster, Luis Figo dan Javier Saviola agaknya patut diacungi jempol karena bisa menduetkan gelar La Liga dari kedua klub tersebut. Tapi sosok fenomenal tentu David Villa yang berhasil meraih gelar juara La Liga bersama Barcelona (2010/2011, 2012/2013) serta Atletico Madrid (2013/2014). Ya torehan David Villa yang juara dengan klub di luar "duopoli" sangat mungkin disusul oleh Arda Turan.

Hanyalah ....

Besi (Al-Ĥadīd):20 -
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Lelucon Awal tahun yang #AhKeterlaluan

Sebuah berita yang beredar di berbagai media (dan sudah dikonfirmasi validitasnya) di awal tahun ini, salah satunya yang disiarkan oleh Kompas

JAKARTA, KOMPAS.com — Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang yang menolak gugatan perdata senilai Rp 7,9 triliun dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) terus menuai kritik.

Berita tersebut juga telah dilansir oleh Makamah Agung melalui direktori putusan pengadilan yang berbunyi, "MENGADILI: Dalam Provisi: - Menolak tuntutan provisi Penggugat; Dalam eksepsi: - Menolak eksepsi Tergugat; Dalam Pokok Perkara: - Menolak gugatan Penggugat seluruhnya; - Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang sampai hari ini ditetapkan sejumlah Rp10.251.000,00 (sepuluh juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah); " (Sumber: http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/0eefbd16fb31db1936f732586efd2047). Inti permasalahan yang dibahas sangat mendalam ada pada proses penanaman pohon akasia yang "dianggap" mudah ditanam kembali.

Secara objektif, saya belum menelusuri bagaimana penyederhanaan kesimpulan "bakar hutan tidak apa-apa, karena bisa ditanami lagi". Yang pasti apabila kita hanya membaca kesimpulan itu ya tentu secara alami kita akan marah, itu manusiawi. Bencana asap kemarin adalah salah satu bencana "nasional" terpanjang yang pernah melanda Indonesia (saya beri tanda kutip karena pemerintah, dalam hal ini Kabinet Kerja, tidak pernah menyematkan status resmi), korban jiwa ada, peradaban pun mengalami mati suri, termasuk pendidikan dan perekonomian, dampaknya sudah jelas jangka pendek dan jangka panjang. Tentu pernyataan hakim, yang dibuat kesimpulannya seperti itu jelas menyakiti perasaan masyarakat. Saking sakitnya, masyarakat langsung berbuat "keras" dengan meretas website Pengadilan Negeri Palembang, bahkan "penghakiman social media" menjatuhkan vonis berupa meme-meme menyakitkan hati yang terarah hanya kepada sang hakim.

Berpikir ilmiah terhadap kajian
Saya terus terang tepar membaca berita lengkap putusan tersebut. Total 116 halaman dengan berserakannya istilah hukum membuat saya agak sempoyongan. Secara garis besar, pengacara tergugat memang memberikan argumentasi berupa jenis akasia yang konon diklaim mudah ditanami kembali. Di sini memang sudah terasa aroma yang agak sadis. Masyarakat tentu tidak mau bertele-tele jenis pohonnya apa serta detail berapa tahun bisa tumbuhnya. Alhasil, fakta "akasia" sudah pasti menguap. Kemudian terdapat pula kronologis keberadaan akasia serta luas wilayah. Bicara luas wilayah tentu terjadi generalisasi terhadap kasus yang disidangkan dengan bencana nasional yang terjadi. Kita (termasuk saya) masih belum mengerti ruang lingkup geografis yang jadi persidangan itu berapa. Apakah wilayah yang disidangkan ini memang sangat kecil (dibandingkan area bencana nasional kemarin) serta apakah di wilayah ini situasinya separah wilayah lain. Barangkali dua hal ini juga menguap. Alhasil kita perlu lebih bersikap kritis tidak hanya ke sang hakim, namun juga ke berita yang ada dimana harus kita telusuri lebih mendalam kronologis pemberian vonis tersebut.

Tapi secara subjektif...
Saya tidak membela sang hakim. Kenal, apalagi dibayar pun nggak. Yang diutarakan di atas adalah fokus kepada kebiasaan kita yang membaca berita setengah-setengah (malah nggak ada setengah alias 50%). Secara subjektif saya turut prihatin dengan hasil akhir putusan hakim tersebut. Apakah bukti yang disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup masih kurang kuat? Apakah pihak tergugat beserta pengacaranya terlalu piawai dalam berargumen? Ataukah ada kesengajaan dalam mengambil keputusan? Semua hanya bisa bertanya-tanya, atau malah menjawabnya dengan su'udzon.

Sedih karena ada ketimpangan yang akan berpengaruh ke masa depan, khususnya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap penegakan hukum Indonesia. Semoga tidak ada main "amplop" di sini.
#AhSudahlah
Tidak lucu lelucon awal tahun ini yang #AhKeterlaluan

Ekspedisi Ternate: Jalan K.A.K.I.












#ArfiveMalukuUtara

Berorganisasi di Lingkungan S2

S2 alias jenjang magister merupakan salah satu tahap di pendidikan tinggi yang relatif "pendek". Masa studi S2 dirancang untuk ditempuh selama 4 semester. Tentu hampir dua kali lipat lebih singkat dibandingkan sarjana (8 semester) ataupun doktor (8 semester). Maka tidak heran bahwa lingkungan S2 sangat gersang berorganisasi. Memang sepintas kredit atau SKS yang harus ditunaikan berkisar pada 12 SKS per semester alias 4-6 mata kuliah yang artinya ada 12 x 50 s.d. 60 menit alias 600 s.d. 720 menit (dibulatkan menjadi 10 s.d. 12 jam) tiap pekannya. Di atas kertas, jenjang S2 jelas lebih luang waktu kuliahnya dibandingkan S1 yang rata-rata menghabiskan 20 SKS tiap semesternya. Namun ada banyak faktor yang mendorong kegersangan iklim berorganisasi di lingkungan S2.
- Masa studi pendek
- Kenyang berorganisasi
- Fokus di dunia kerja
- Sudah berkeluarga
- Target studi lebih tinggi
- Biaya kuliah yang lebih mahal
- Penugasan di luar jam perkuliahan sangat banyak
- Sangat jarang organisasi kemahasiswaan yang "akrab" dengan S2

Sebenarnya ada banyak kesempatan bagi mahasiswa S2 untuk bergabung membaktikan waktunya di berbagai organisasi dengan berbagai tujuan yang tentunya menjadi kewajaran sebagai manusia. Mungkin motifnya untuk melebarkan koneksi, mengeksplorasi minat dan bakat, mengisi waktu luang, hingga kebutuhan administrasi borang tertentu, dll. Semua itu pada akhirnya patut untuk tetap dinyalakan nuansa ibadah kepada Allah SWT. Secara umum, afiliasi organisasi bagi mahasiswa S2 dapat dibagi menjadi dua, yaitu organisasi non-kemahasiswaan serta organisasi kemahasiswaan. Contoh organisasi non-kemahasiswaan misalnya ikut bergabung di dalam PMI Chapter Indonesia (Project Management Institute), partai XYZ, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Indonesia Berkebun, LSM, dll, dimana identitas keanggotannya tidak dibatasi oleh kesamaan sebagai mahasiswa. Contoh organisasi kemahasiswaan yang dimaksud di sini dapat diambil contoh misalnya HIMMPAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana) Universitas Indonesia, KAMIL ITB, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana FKM UI, atau bisa pula organisasi kemahasiswaan lainnya yang membuka keanggotaannya kepada seluruh strata, baik diploma/vokasi, sarjana, hingga magister. Di sini sedikit berbagai mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan apabila hendak bergabung dengan organisasi dalam menjalankan kewajiban perkuliahan di S2.

Profil apa yang diharapkan setelah bergabung di organisasi tersebut?
Tentu mahasiswa S2 (dengan rentang usia 21 tahun ke atas) memiliki pemikiran yang berbeda kematangannya dengan mahasiswa diploma/vokasi dengan sarjana. Bergabung di sebuah organisasi harus memperhatikan orientasi berupa output pada diri ini apa yang diharapkan setelah bergabung. Apakah mampu memperoleh koneksi yang lebih luas? Apakah memiliki kemampuan hardskill dan softskill yang lebih mumpuni? Apakah hobi tersalurkan?

Pengaturan prioritas
Bagi yang multi-asking alias memiliki amanat di berbagai tempat, misalnya kuliah tentu, kerja juga, berkeluarga alhamdulillah, maka patut disusun skala prioritas. Perhatikan manajemen risiko yang sangat mungkin terjadi apabila menjalankan multi-asking, apalagi terkait konflik kepentingan yang mungkin terjadi.

Ketersediaan waktu
Tentu bergabungnya kita tidak diharapkan sekedar menambah tuple dalam database keanggotaan. Maka, coba cari tahu ketersediaan waktu yang realistis. Apakah memang harus bergabung di organisasi tersebut? Ataukah masih ada kemungkinan berkembang di tempat lain yang lebih memungkinkan penyediaan waktunya.

Hap Hap Hap Farmhouse

Bingung mencari deskripsi yang tepat untuk menggambarkan betapa heroiknya perjuangan menuju TKP. Ya, Farmhouse memang sedang naik daun, sementara itu kami harus naik motor mengitari jalanan terjal dari Buah Batu, Kota Bandung, hingga mencapai Lembang, Bandung Barat. Situasi macet sudah menertawakan kami sejak kami mencapai belokan Ledeng vs Cihampelas. Di situ mobil dengan plat B sudah melampaui jumlah yang lazim. Boleh dikata, kami beruntung menggunakan motor sehingga dapat menembus eblantara macetnya mobil. Bytheway, terima kasih kepada Pemkot Bandung yang sudah merehab pinggir jalanan dengan coran sehingga memudahkan motor menerobos jalanan tanpa ikut merecoki keasyikan mobil-mobil. 

Di sana, suasana lebih mirip pasar kaget karena sangat ramai. Logat Sunda yang jarang terdengar menandakan bahwa memang banyak orang dari luar Jawa Barat, khususnya Bandung, yang menjadi pengunjung di sini. Hampir semua bermodalkan gawai dan kamera digital untuk mendokumentasikan "kesuksesan" mereka mencapai lokasi ini. Dan harus diakui, Farmhouse memiliki pemandangan yang unik dimana beberapa bangunan bercorak ala Belanda dengan aksesori bunga tentu menjadi magnet bagi siapapun untuk memotretnya.

 Sejak dirilis awal Desember 2015 lalu, Farmhouse memang terhitung memiliki kekurangan dari sisi daya tampung parkir serta masih tampak beberapa perkakas bangunan yang terselip di pinggir arena. Wajar bagi saya, mengingat momen libur panjang akhir tahun 2015 terlalu sayang untuk dilewatkan. Gembar-gembor di social media juga turut menyugesti orang-orang untuk berjuang ke sini. Dengan banyaknya bunga yang belum "panen" terus terang Farmhouse belum "mekar" dengan total. Barangkali medio tahun depan Farmhouse baru bisa memamerkan warna-warni bunganya dengan lebih memesona.

Ekspedisi Ternate: Potret Pesisir Ternate

Senyum menyambut jepretan foto di tengah keramaian para penghuni peradaban ala pelabuhan


Sebuah kapal feri dengan nama Marin Teratai bersiap untuk menyeberangi lautan Halmahera. Tebak, dermaga mana tujuan mereka?

Termpat ini merupakan titik yang mengawali bergulirnya industri kuliner khas laut di Ternate. Tempat dimana beraneka ragam fauna laut memulai tahapan menjadi hidangan mentah untuk memenuhi nutrisi penduduk. Tempat dimana bermacam profesi ikut andil dalam ekosistem industri kuliner khas laut.

Apakah mereka terlunta kaena menunggu jadwal? Apakah mereka jengah dengan kusamnya fasilitas yang seadanya? Apakah mereka ... Hmmm, entahlah Kawan 

Selain menjadi nama bandar udara di Kota Semarang, ternyata beliau juga menjadi nama pelabuhan di Pulau Ternate. Penasaran ada keterkaitan apa antara Sang Jenderal dengan pulau ini


Rombongan (tidak resmi) kami mulai menatap eloknya Pulau Tidore dari jarak jauh. Tiap orang punya alasan bermigrasi dari Ternate ke Tidore di hari itu. Itulah dinamisnya roda kehidupan yang mewarnai segala beragamnya aktivitas manusia menjalani petualangannya
Pertama kali foto dengan latar belakang Pulau Ternate yang legendaris. Tampak awan berarak semakin menyelimuti, pemandangan yang jamak terjadi namun langka bagi saya hehee :)

#ArfiveMalukuUtara